Minggu, 07 Juni 2015

Perumpamaan Lemahnya "Tuhan-tuhan Sembahan" Selain Allah Swt. & Kesempurnaan "Makrifat Ilahi" Nabi Besar Muhammad Saw.




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 70

  Perumpamaan Lemahnya “Tuhan-tuhan Sembahan” Selain Allah Swt. & Kesempurnaan Makrifat Ilahi Nabi Besar Muhammad Saw.
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai makna Surah Al-Falaq, firman-Nya:
 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  قُلۡ اَعُوۡذُ  بِرَبِّ الۡفَلَقِ ۙ﴿﴾  مِنۡ  شَرِّ مَا خَلَقَ ۙ﴿﴾  وَ مِنۡ  شَرِّ غَاسِقٍ  اِذَا وَقَبَ ۙ﴿﴾  وَ مِنۡ  شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ ۙ﴿﴾  وَ مِنۡ  شَرِّ حَاسِدٍ  اِذَا حَسَدَ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.   Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (Tuhan) Yang Memiliki fajar,   dari keburukan makhluk yang Dia ciptakan,   dan dari keburukan kegelapan malam apabila meliputi,   dan dari keburukan orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul,    dan dari keburukan orang yang  dengki apabila ia mendengki” (Al-Falaq [113]:1-6).
      Falaq berarti: fajar; neraka; seluruh makhluk (Lexicon Lane). Maka seorang Muslim diperintahkan agar berdoa:
   (1) bila malam kegelapan yang meliputi Islam telah lewat (QS.32:6) dan fajar hari depan yang gemilang telah menyingsing, hendaklah mataharinya bersinar terus hingga mencapai puncaknya pada tengah hari;
   (2) semoga  melindunginya dari kejahatan yang ditimbulkan oleh segala sesuatu yang telah dicipatakan-Nya, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, termasuk pengaruh buruk turun-temurun, lingkungan jahat, pendidikan tidak sempurna, dan sebagainya, dan
   (3) supaya Allah Swt. menyelamatkannya dari siksaan neraka di dunia ini maupun di akhirat.
     Ayat ini mungkin mengisyaratkan kepada keburukan-keburukan masa, ketika cahaya kebenaran padam, serta kegelapan dosa dan keburukan tersebar di seluruh permukaan bumi (QS.30:42). Atau, boleh jadi ayat ini menunjuk kepada keburukan-keburukan saat ketika orang sedang dirundung derita dan kemalangan, maka hanya kegelapan belaka yang nampak di sekitarnya serta sinar harapan terakhir pun menghilang.
                              
 Makna  Orang-orang yang  Meniup-niup Buhul

   Isyarat dalam ayat  وَ مِنۡ  شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ ۙ    -- “dan dari keburukan orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul” ini rupanya ditujukan kepada mereka yang membisik-bisikkan kisikan-kisikan jahat dan menyebabkan ikatan-ikatan serta persahabatan-persahabatan yang tulus jadi berantakan dan menimbulkan pikiran pada orang-orang semangat melawan kekuasaan yang sah atau melanggar sumpah kesetiakawanan, lalu dengan demikian berusaha menimbulkan keresahan dan perpecahan di kalangan umat Islam dan menimbulkan di antara mereka kecenderungan-kecenderungan pecah belah.
   Surah Al-Falaq  membahas segi duniawi kehidupan manusia, sedang surah berikutnya (An-Nās) membahas segi ruhaninya. Manusia dihadapkan kepada macam-macam bahaya dan kesulitan dalam kehidupan ini. Ketika ia di tengah kesibukan melaksanakan sesuatu yang sungguh penting   --  terutama ketika ia mewajibkan atas dirinya menyebarkan cahaya kebenaran   --  maka kekuatan-kekuatan kegelapan mengerubutinya dari segala penjuru; dan ketika ia rupa-rupanya akan berhasil, orang-orang yang mempunyai rencana-rencana jahat menghalangi jalannya dan menimbulkan segala macam rintangan dan kesulitan baginya.
      Tetapi bila ia pada akhirnya berada di mahkota keberhasilan, maka orang-orang berwatak dengki berusaha meluputkan dia dari meraih buah usahanya: وَ مِنۡ  شَرِّ حَاسِدٍ  اِذَا حَسَدَ  -- “dan dari keburukan orang yang  dengki apabila ia mendengki.     Sebagai penjagaan terhadap segala macam rintangan, kesulitan dan bahaya dalam menempuh jalan hidupnya, orang-orang beriman diperintahkan agar memohon pertolongan dan bantuan dari Rabbul-Falaq supaya Dia memberinya nur ketika kegelapan mengepung dari semua jurusan, dan supaya melindunginya dari rencana-rencana jahat tukang-tukang fitnah dan dari persekongkolan jahat para pendengki, sebagaimana dijanjikan iblis kepada Allah Swt. ketika ia diusir dari “surga keridhaan-Nya” karena menolak “sujud” (patuh-taat) kepada Adam (Khalifah Allah) bersama para malaikat  ketika Allah Swt. memerintahkannya (QS.7:12-18). 

Hakikat Surah An-Nās  & Makna Bayyinah (Bukti yang Nyata)

        Kemudian Allah Swt. berfirman dalam Surah An-Nās  mengenai pentingnya mewaspadai serangan-serangan musuh kebenaran dari segi ruhani, sebagaimana yang telah dilakukan syaitan terhadap Adam dan “istrinya” yakni  “jamaahnya” dengan “tipu-dayanya” yang sangat menarik  keinginan hawa nafsu (QS.7:20-26), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قُلۡ  اَعُوۡذُ  بِرَبِّ النَّاسِ ۙ﴿﴾  مَلِکِ النَّاسِ ۙ﴿﴾  اِلٰہِ  النَّاسِ ۙ﴿﴾  مِنۡ  شَرِّ الۡوَسۡوَاسِ ۬ۙ  الۡخَنَّاسِ ۪ۙ﴿﴾  الَّذِیۡ یُوَسۡوِسُ فِیۡ صُدُوۡرِ النَّاسِ ۙ﴿﴾  مِنَ الۡجِنَّۃِ وَ النَّاسِ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (Tuhan) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari keburukan bisikan-bisikan syaitan yang tersembunyi  yang membisikkan ke dalam hati manusia,    dari jin dan manusia.” (An-Nās [114]:1-7). 
  Hubungan kedua Surah ini (Al-Falaq dan An-Nās) dengan Surah Al-Ikhlas – yang menerangkan Tauhid  Ilahi   -- terletak pada kenyataan, bahwa dalam  Surah Al-Ikhlas orang-orang beriman diperintahkan agar menyatakan kepada dunia  bahwa Allah Swt. itu Maha Esa dan Tiada Bertara, kedudukan-Nya jauh di atas segala sesuatu dan jauh di atas siapa pun yang dijadikan sekutu dalam ketuhanan-Nya.
Dengan demikian penjelasan  Tauhid Ilahi hakiki yang dikemukakan dalam Surah Al-Ikhlas  sangat erat hubungannya dengan tugas utama kenabian, sebab hanya  kepada para Rasul Allah   sajalah   -- sebagaimana Allah Swt.  telah mengajari Adam hakikat baru  dari Al-Asmā-Nya     QS.2:31-35)   -- Allah Swt. mengajarkan Tauhid Ilahi  yang  kepadanya menyeru kaum  mereka  yang telah terjerumus ke dalam berbagai bentuk  kemusyrikan   -- baik syirik yang nyata mau pun syirik yang tersembunyi  (QS.16:36-37) --  terutama menjadi tugas utama  Nabi Besar Muhammad saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾  لَمۡ  یَکُنِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا  مِنۡ  اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ مُنۡفَکِّیۡنَ حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ۙ﴿﴾  رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً  ۙ﴿﴾  فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ ؕ﴿﴾  وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ  اِلَّا مِنۡۢ  بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾  وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.  Orang-orang kafir dari Ahli-kitab dan orang-orang musyrik- tidak akan berhenti dari kekafiran   حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ   --  hingga datang kepada mereka bukti yang nyata,  yaitu رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً    --  seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran suci, yakni Al-Quran فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ --  yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi.  وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ  اِلَّا مِنۡۢ  بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ ؕ  --   Dan  orang-orang yang diberi Kitab  tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.  وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ  --   Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan  kepada-Nya  حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ --   dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ  --  dan itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah [98]:1-6).

Dua Golongan “Orang Kafir” &  Tak  Berdaya Menghadapi “Seeokor Lalat” pun

         Al-Quran telah membagi semua orang kafir dalam dua golongan – Ahlikitab dan orang-orang musyrik (mereka yang tidak percaya kepada sesuatu Kitab Suci). Itulah makna ayat: لَمۡ  یَکُنِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا  مِنۡ  اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ مُنۡفَکِّیۡنَ    --  “Orang-orang kafir dari Ahli-kitab dan orang-orang musyrik- tidak akan berhenti dari kekafiran
   Makna ayat  حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ  الۡبَیِّنَۃُ   --  hingga datang kepada mereka bukti yang nyata,  yaitu رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً    --  seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran suci, yakni Al-Quran فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ --  yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi    --  Al-Quran berisikan secara ikhtisar segala sesuatu yang baik, kekal, dan tidak termusnahkan, yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Kitab-kitab Suci terdahulu, dengan imbuhan banyak ajaran yang tidak terdapat pada Kitab-kitab itu tetapi sangat diperlukan manusia guna perkembangan akhlak dan ruhaninya.
    Semua cita-cita, asas-asas luhur, peraturan-peraturan, dan perintah-perintah yang mengandung kemanfaatan abadi bagi manusia telah dimasukkan ke dalam Al-Quran, seolah-olah Al-Quran berperan sebagai penjaga atas kitab-kitab lama dan bebas dari semua cacat dan noda yang terdapat pada kitab-kitab itu, sehingga Al-Quran pun dapat dikatakan sebagai  “kitab catatan amal” alam semesta karena keduanya memiliki keselarasan dalam hukum-hukumnya (QS.4:83; QS.13:3;QS.18:50; QS.21:23; QS.47:25; QS.67:1-5).
  Hal tersebut membuktikan bahwa antara firman Allah Swt. dengan perbuatan-Nya  senantiasa selaras, itulah sebabnya Allah Swt. berulang-ulang dalam Al-Quran menyatakan  bahwa di alam semesta ini penuh dengan Tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah Swt. yang sempurna (QS.2:165; QS.3:28 &191; QS.10:7;  QS.30:21-28; QS.45:1-7), sehingga orang-orang yang menjadikan “sembahan-sembahan” selain Allah Swt. pada hakikatnya mereka itu menyembah “benda-benda mati” belaka, sebab mereka itu tidak memiliki andil apa pun dalam penciptaan seluruh alam semesta -- termasuk alam akhirat  --  firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ  فَاسۡتَمِعُوۡا لَہٗ  ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ تَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ لَنۡ یَّخۡلُقُوۡا ذُبَابًا وَّ لَوِ اجۡتَمَعُوۡا  لَہٗ ؕ وَ اِنۡ یَّسۡلُبۡہُمُ الذُّبَابُ شَیۡئًا لَّا یَسۡتَنۡقِذُوۡہُ  مِنۡہُ ؕ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَ الۡمَطۡلُوۡبُ ﴿﴾  مَا قَدَرُوا اللّٰہَ حَقَّ قَدۡرِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿﴾
Hai manusia, suatu tamsil (perumpamaan) telah dikemukakan maka dengarlah tamsil itu.  Sesungguhnya mereka yang kamu seru selain Allah, mereka itu tidak dapat menjadikan seekor lalat, walau pun mereka itu bergabung untuk itu. Dan seandainya  lalat itu menyambar sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu.  ضَعُفَ الطَّالِبُ وَ الۡمَطۡلُوۡبُ  -- Sangat lemah yang meminta dan yang diminta. مَا قَدَرُوا اللّٰہَ حَقَّ قَدۡرِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ  --    Mereka sekali-kali tidak dapat menilai kekuasaan Allah dengan sebenar-benarnya, sesungguhnya Allah Mahakuat, Maha Perkasa (Al-Hajj [22]:74-75).
         Ayat 74  menerangkan kepada orang-orang kafir, bahwa tuhan-tuhan mereka sama sekali tidak mempunyai kekuasaan dan tidak berdaya, dan betapa bodohnya mereka untuk menyembah tuhan-tuhan yang sangat  lemah seperti itu.
     Ayat selanjutnya menjelaskan  kenyataan, bahwa orang-orang musyrik menjatuhkan derajat mereka sendiri ke tingkat yang sangat  rendah, hingga mereka menyembah patung-patungberhala-berhala yang terbuat dari kayu dan batu — menunjukkan, bahwa mereka mempunyai anggapan yang sangat keliru mengenai kekuatan-kekuatan dan Sifat-sifat Tuhan   Yang Maha Kuasa, Al-Khāliq  (Maha Pencipta) Yang Agung.
       Pada hakikatnya, semua kepercayaan yang mengakui adanya banyak tuhan dan semua anggapan-anggapan musyrik adalah timbul dari pandangan yang lemah dan keliru, bahwa kekuatan-kekuatan dan Sifat-sifat Tuhan  itu terbatas dan mempunyai kekurangan seperti halnya manusia, padahal tidak sama antara  Al-Khāliq (Maha Pencita) dengan makhluq-Nya (ciptaan-Nya).

Segala Sesuatu di Alam Semesta “Bersujud” Kepada Allah Swt.

        Mengenai lemahnya akal orang-orang musyrik  yang menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah Swt. tersebut, dalam Surah lainnya Allah Swt. berfirman:
لَہٗ  دَعۡوَۃُ   الۡحَقِّ ؕ وَ الَّذِیۡنَ  یَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِہٖ لَا یَسۡتَجِیۡبُوۡنَ لَہُمۡ بِشَیۡءٍ  اِلَّا کَبَاسِطِ کَفَّیۡہِ  اِلَی الۡمَآءِ لِیَبۡلُغَ فَاہُ وَ مَا ہُوَ بِبَالِغِہٖ ؕ وَ مَا دُعَآءُ الۡکٰفِرِیۡنَ  اِلَّا  فِیۡ  ضَلٰلٍ ﴿﴾  وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ بِالۡغُدُوِّ  وَ الۡاٰصَالِ  ﴿ٛ
Hanya bagi Dia-lah seruan  yang haq (benar),  dan mereka  yang diseru oleh orang-orang itu selain Dia, mereka tidak menjawabnya sedikit pun, melainkan seperti orang yang mengulurkan kedua tangannya ke air  supaya sampai ke mulutnya, tetapi itu tidak akan sampai kepadanya,  dan tidaklah doa orang-orang kafir itu melainkan  sia-sia belaka.  وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ بِالۡغُدُوِّ  وَ الۡاٰصَالِ   --  Dan kepada Allah-lah bersujud siapa pun yang ada di seluruh langit dan bumi dengan rela  atau tidak rela  dan demikian juga bayangan-bayangan mereka pada setiap pagi dan petang hari. (Ar-Rā’d [13]:15-16).
     Jalan yang benar untuk mendapat sukses dalam kehidupan ialah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat - memberikan kedudukan kepada Allah Swt.  kedudukan yang mustahak bagi-Nya dan memberi kepada makhluk-makhluk-Nya kedudukan yang mereka berhak memilikinya. Hanya itu saja satu-satunya jalan untuk mencapai sukses dan kebahagiaan yang sejati, karena itu siapa pun yang menjadikan  makhluk Allah Swt. sebagai sembahan (tuhan) doa-doa mereka itu sia-sia.
      Kalau pun orang-orang musyrik tersebut meraih kemajuan juga dalam bidang duniawi, hal itu bukan karena  doa-doa mereka dikabulkan  sembahan” mereka, melainkan karena  mereka – sampai batas tertentu --  mentaati hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah Swt. di alam semesta ini, tetapi di akhirat mereka  pasti akan menjadi orang-orang yang sangat  rugi karena telah mempersekutukan sesuatu dengan Allah Swt. (QS.3:20 & 86).
          Kenyataan tersebut dijelaskan dalam ayat selanjutnya:  وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ بِالۡغُدُوِّ  وَ الۡاٰصَالِ   --  Dan kepada Allah-lah bersujud siapa pun yang ada di seluruh langit dan bumi dengan rela  atau tidak rela  dan demikian juga bayangan-bayangan mereka pada setiap pagi dan petang hari”.
          Ayat ini mengandung satu kebenaran yang agung, yaitu bahwa segala sesuatu yang dijadikan (diciptakan) Allah Swt.   mau tidak mau harus tunduk kepada hukum-hukum alam yang diadakan (ditetapkan)  oleh-Nya. Lidah harus melaksanakan tugas mencicip dan telinga tidak berdaya selain mendengar.
         Tunduknya kepada hukum-hukum alam itu dapat disebut sebagai “dipaksakan” (karhan/karihan), tetapi manusia diberi juga kebebasan tertentu untuk berbuat, di mana ia dapat mempergunakan kemauannya dan pertimbangan akalnya. Tetapi bahkan dalam perbuatan-perbuatan   --  yang untuk melakukannya ia nampaknya dianugerahi kebebasan   --  ia sedikit-banyak harus tunduk kepada paksaan, dan ia harus menaati hukum-hukum  Allah Swt.   dalam berbuat apa pun, biar suka atau tidak.
        Contohnya, baik orang bertakwa kepada Allah Swt. mau pun orang kafir jika dengan sengaja menyantap  racun  maka pasti akan mengalami akibat buruk, bahkan mengalami kematian. Dengan demikian orang-orang kafir pun terpaksa harus menghindari makan/minum racun jika tidak ingin mengalami akibat buruk atau kematian.
      Kata-kata طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا -- “dengan senang atau tidak senang” dapat juga mengisyaratkan kepada dua golongan manusia, ialah, orang-orang beriman yang secara ikhlas tunduk kepada  Allah Swt.,    dan orang-orang kafir yang menaati hukum-hukum  Allah Swt.  dengan menggerutu (terpaksa).

Kesempurnaan Makrifat Ilahi Nabi Besar Muhammad Saw.

       Ayat selanjutnya mempertegas kenyataan  yang dikemukakan   ayat sebelumnya mengenai Tuhan sembahan Yang Hakiki  yaitu Allah Swt., berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw., manusia (rasul Allah) yang memiliki  makrifat Ilahi paling sempurna:
 قُلۡ مَنۡ رَّبُّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ قُلِ اللّٰہُ ؕ قُلۡ  اَفَاتَّخَذۡتُمۡ  مِّنۡ  دُوۡنِہٖۤ  اَوۡلِیَآءَ  لَا یَمۡلِکُوۡنَ لِاَنۡفُسِہِمۡ نَفۡعًا وَّ لَا ضَرًّا ؕ قُلۡ ہَلۡ یَسۡتَوِی الۡاَعۡمٰی وَ الۡبَصِیۡرُ ۬ۙ اَمۡ ہَلۡ تَسۡتَوِی الظُّلُمٰتُ وَ النُّوۡرُ ۬ۚ اَمۡ  جَعَلُوۡا لِلّٰہِ  شُرَکَآءَ  خَلَقُوۡا کَخَلۡقِہٖ فَتَشَابَہَ الۡخَلۡقُ عَلَیۡہِمۡ ؕ قُلِ اللّٰہُ خَالِقُ کُلِّ شَیۡءٍ وَّ ہُوَ الۡوَاحِدُ الۡقَہَّارُ ﴿﴾
Katakanlah: “Siapakah Rabb (Tuhan) seluruh langit dan bumi?” Katakanlah: “Allah!” Katakanlah: “Apakah kamu mengambil selain Dia pelindung-pelindung   yang tidak memiliki  kekuasaan untuk kemanfaatan ataupun kemudaratan, meskipun bagi dirinya sendiri?” Katakanlah:  Apakah sama keadaan orang-orang buta dan    orang-orang yang melihat? Atau samakah gelap dan terang? Atau  apakah mereka itu menjadikan bagi Allah sekutu yang telah menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua jenis ciptaan itu nampak serupa saja bagi mereka?” Katakanlah: “Hanya Allah yang telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa, Maha Perkasa.” (Ar-Rā’d [13]:15-16).
        Al-Quran memakai dua kata yang berlainan untuk menyatakan ke-Esa-an Allah Swt.:  (1) Ahad dan (2) Wāhid. Di mana ahad menunjuk kepada ke-Esa-an Tuhan yang mutlak, tanpa pertalian dengan wujud lain, sedangkan   wāhid hanya berarti “yang pertama” atau “titik tolak”; dan menghendaki yang kedua dan yang ketiga sebagai lanjutannya.
        Sifat wahid (satu) memperlihatkan, bahwa Allah Swt.    itu “Sumber” sejati, tempat terbit segala penciptaan, dan segala sesuatu menunjuk kepada Allah Swt.  sebagaimana seharusnya benda yang kedua atau ketiga menunjuk kepada yang pertama. Tetapi di mana Al-Quran menolak paham keputraan wujud-wujud yang dengan tidak sah diberikan kedudukan itu   -- seperti itikad sesat “Trinitas” --  maka dipakainya kata ahad yakni, Dia itu Esa dan senantiasa Esa serta Tunggal dan Yang tidak beranak, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ قُلۡ ہُوَ  اللّٰہُ  اَحَدٌ  ۚ﴿﴾ اَللّٰہُ  الصَّمَدُ ۚ﴿﴾  لَمۡ  یَلِدۡ ۬ۙ  وَ  لَمۡ  یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾  وَ  لَمۡ  یَکُنۡ  لَّہٗ   کُفُوًا  اَحَدٌ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Katakanlah: Dia-lah  Allah Yang Maha Esa.   Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya.   Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara  dengan-Nya.” (Al-Ikhlas [112]:1-15).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  6  Juni    2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar