بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 70
Perumpamaan
Lemahnya “Tuhan-tuhan Sembahan”
Selain Allah Swt. & Kesempurnaan Makrifat
Ilahi Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai makna Surah Al-Falaq,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ ۙ﴿﴾ مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَ ۙ﴿﴾ وَ مِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ
اِذَا وَقَبَ ۙ﴿﴾ وَ مِنۡ شَرِّ
النَّفّٰثٰتِ فِی الۡعُقَدِ ۙ﴿﴾ وَ مِنۡ شَرِّ
حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama
Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (Tuhan)
Yang Memiliki fajar, dari keburukan makhluk yang Dia ciptakan, dan dari keburukan
kegelapan malam apabila meliputi,
dan dari keburukan orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul, dan dari
keburukan orang yang dengki apabila ia mendengki” (Al-Falaq [113]:1-6).
Falaq
berarti: fajar; neraka; seluruh makhluk (Lexicon Lane). Maka seorang Muslim diperintahkan agar
berdoa:
(1) bila malam kegelapan yang meliputi Islam
telah lewat (QS.32:6) dan fajar hari
depan yang gemilang telah menyingsing, hendaklah mataharinya bersinar terus hingga mencapai puncaknya pada tengah
hari;
(2) semoga
melindunginya dari kejahatan
yang ditimbulkan oleh segala sesuatu
yang telah dicipatakan-Nya, baik yang
nyata maupun yang tersembunyi, termasuk pengaruh buruk turun-temurun, lingkungan
jahat, pendidikan tidak sempurna, dan sebagainya, dan
(3) supaya Allah
Swt. menyelamatkannya dari siksaan neraka
di dunia ini maupun di akhirat.
Ayat
ini mungkin mengisyaratkan kepada keburukan-keburukan
masa, ketika cahaya kebenaran
padam, serta kegelapan dosa dan keburukan tersebar di seluruh permukaan
bumi (QS.30:42). Atau, boleh jadi ayat ini menunjuk kepada keburukan-keburukan saat ketika orang sedang dirundung derita dan kemalangan,
maka hanya kegelapan belaka yang
nampak di sekitarnya serta sinar harapan
terakhir pun menghilang.
Makna
Orang-orang yang “Meniup-niup Buhul”
Isyarat
dalam ayat وَ مِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِی
الۡعُقَدِ ۙ -- “dan dari keburukan orang-orang yang meniupkan ke dalam buhul” ini rupanya
ditujukan kepada mereka yang membisik-bisikkan kisikan-kisikan jahat dan menyebabkan ikatan-ikatan serta persahabatan-persahabatan
yang tulus jadi berantakan dan menimbulkan pikiran
pada orang-orang semangat melawan kekuasaan yang sah atau melanggar sumpah kesetiakawanan, lalu
dengan demikian berusaha menimbulkan keresahan
dan perpecahan di kalangan umat Islam dan menimbulkan di antara
mereka kecenderungan-kecenderungan
pecah belah.
Surah Al-Falaq membahas segi
duniawi kehidupan manusia, sedang surah berikutnya (An-Nās) membahas segi
ruhaninya. Manusia dihadapkan kepada macam-macam bahaya dan kesulitan
dalam kehidupan ini. Ketika ia di tengah kesibukan melaksanakan sesuatu yang
sungguh penting -- terutama ketika ia mewajibkan atas dirinya menyebarkan cahaya kebenaran -- maka kekuatan-kekuatan
kegelapan mengerubutinya dari segala penjuru; dan ketika ia rupa-rupanya
akan berhasil, orang-orang yang
mempunyai rencana-rencana jahat
menghalangi jalannya dan menimbulkan
segala macam rintangan dan kesulitan baginya.
Tetapi bila ia pada akhirnya berada di mahkota keberhasilan, maka orang-orang berwatak dengki berusaha meluputkan dia dari meraih buah usahanya: وَ مِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ -- “dan
dari keburukan orang yang dengki apabila ia mendengki.” Sebagai penjagaan terhadap segala macam rintangan, kesulitan dan bahaya
dalam menempuh jalan hidupnya,
orang-orang beriman diperintahkan
agar memohon pertolongan dan bantuan dari Rabbul-Falaq supaya Dia memberinya nur ketika kegelapan mengepung dari semua jurusan, dan supaya melindunginya dari rencana-rencana jahat
tukang-tukang fitnah dan dari persekongkolan jahat para pendengki,
sebagaimana dijanjikan iblis kepada
Allah Swt. ketika ia diusir dari “surga keridhaan-Nya” karena menolak “sujud” (patuh-taat) kepada Adam (Khalifah Allah) bersama para malaikat
ketika Allah Swt. memerintahkannya (QS.7:12-18).
Hakikat Surah An-Nās
& Makna Bayyinah (Bukti yang Nyata)
Kemudian Allah Swt. berfirman dalam
Surah An-Nās mengenai pentingnya mewaspadai
serangan-serangan musuh kebenaran
dari segi ruhani, sebagaimana yang
telah dilakukan syaitan terhadap Adam dan “istrinya” yakni “jamaahnya” dengan “tipu-dayanya” yang sangat menarik
keinginan hawa nafsu (QS.7:20-26), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ النَّاسِ ۙ﴿﴾ مَلِکِ النَّاسِ ۙ﴿﴾ اِلٰہِ النَّاسِ ۙ﴿﴾ مِنۡ شَرِّ الۡوَسۡوَاسِ ۬ۙ الۡخَنَّاسِ ۪ۙ﴿﴾ الَّذِیۡ یُوَسۡوِسُ
فِیۡ صُدُوۡرِ النَّاسِ ۙ﴿﴾ مِنَ الۡجِنَّۃِ وَ النَّاسِ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama
Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (Tuhan) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari keburukan bisikan-bisikan syaitan yang tersembunyi yang membisikkan
ke dalam hati manusia, dari jin
dan manusia.” (An-Nās
[114]:1-7).
Hubungan kedua Surah ini (Al-Falaq dan An-Nās) dengan Surah Al-Ikhlas
– yang menerangkan Tauhid Ilahi -- terletak pada kenyataan, bahwa dalam Surah Al-Ikhlas
orang-orang beriman diperintahkan
agar menyatakan kepada dunia bahwa Allah Swt. itu Maha Esa dan Tiada Bertara,
kedudukan-Nya jauh di atas segala sesuatu dan jauh di atas siapa pun yang dijadikan sekutu dalam ketuhanan-Nya.
Dengan demikian penjelasan Tauhid Ilahi hakiki yang dikemukakan
dalam Surah Al-Ikhlas sangat erat hubungannya dengan tugas utama kenabian, sebab hanya kepada para Rasul Allah sajalah -- sebagaimana Allah Swt. telah mengajari
Adam hakikat baru dari Al-Asmā-Nya QS.2:31-35) -- Allah Swt. mengajarkan Tauhid Ilahi yang kepadanya menyeru
kaum mereka yang telah terjerumus ke dalam berbagai
bentuk kemusyrikan -- baik syirik yang nyata mau pun syirik yang tersembunyi (QS.16:36-37) -- terutama menjadi tugas utama Nabi Besar
Muhammad saw.:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ
الرَّحِیۡمِ﴿﴾ لَمۡ یَکُنِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ
اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ مُنۡفَکِّیۡنَ حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ الۡبَیِّنَۃُ ۙ﴿﴾ رَسُوۡلٌ مِّنَ
اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً
ۙ﴿﴾ فِیۡہَا کُتُبٌ
قَیِّمَۃٌ ؕ﴿﴾ وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ اِلَّا مِنۡۢ
بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ
الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا
اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا
الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ
ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Aku
baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Orang-orang kafir dari Ahli-kitab dan orang-orang
musyrik- tidak akan berhenti
dari kekafiran حَتّٰی
تَاۡتِیَہُمُ الۡبَیِّنَۃُ -- hingga
datang kepada mereka bukti yang nyata,
yaitu
رَسُوۡلٌ
مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً
-- seorang
rasul dari Allah yang membacakan
lembaran-lembaran suci, yakni
Al-Quran فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ -- yang di
dalamnya ada perintah-perintah abadi.
وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ اِلَّا مِنۡۢ
بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ
الۡبَیِّنَۃُ ؕ -- Dan orang-orang
yang diberi Kitab tidak
berpecah-belah kecuali setelah
datang kepada mereka bukti yang nyata. وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا
اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ -- Padahal mereka
tidak diperintahkan melainkan supaya
beribadah kepada Allah dengan tulus
ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ -- dan dengan lurus, serta mendirikan
shalat dan membayar zakat, وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ
الۡقَیِّمَۃِ -- dan
itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah
[98]:1-6).
Dua Golongan “Orang
Kafir” & Tak Berdaya Menghadapi “Seeokor Lalat” pun
Al-Quran telah membagi semua orang kafir dalam dua golongan – Ahlikitab dan orang-orang musyrik (mereka yang tidak percaya kepada sesuatu Kitab
Suci). Itulah makna ayat: لَمۡ یَکُنِ
الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ
مُنۡفَکِّیۡنَ -- “Orang-orang kafir dari Ahli-kitab
dan orang-orang musyrik-
tidak akan berhenti dari kekafiran”
Makna ayat
حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ الۡبَیِّنَۃُ --
hingga datang kepada mereka bukti
yang nyata, yaitu رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً -- seorang
rasul dari Allah yang membacakan
lembaran-lembaran suci, yakni
Al-Quran فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ -- yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi” -- Al-Quran
berisikan secara ikhtisar segala sesuatu yang baik, kekal, dan tidak termusnahkan, yang terkandung di
dalam ajaran-ajaran Kitab-kitab Suci
terdahulu, dengan imbuhan banyak ajaran
yang tidak terdapat pada Kitab-kitab
itu tetapi sangat diperlukan manusia guna perkembangan
akhlak dan ruhaninya.
Semua cita-cita,
asas-asas luhur, peraturan-peraturan, dan perintah-perintah
yang mengandung kemanfaatan abadi
bagi manusia telah dimasukkan ke dalam Al-Quran,
seolah-olah Al-Quran berperan sebagai penjaga
atas kitab-kitab lama dan bebas dari
semua cacat dan noda yang terdapat pada kitab-kitab
itu, sehingga Al-Quran pun dapat
dikatakan sebagai “kitab catatan amal” alam semesta karena keduanya memiliki keselarasan dalam hukum-hukumnya (QS.4:83; QS.13:3;QS.18:50; QS.21:23; QS.47:25; QS.67:1-5).
Hal
tersebut membuktikan bahwa antara firman
Allah Swt. dengan perbuatan-Nya senantiasa selaras,
itulah sebabnya Allah Swt. berulang-ulang dalam Al-Quran menyatakan bahwa di alam
semesta ini penuh dengan Tanda-tanda
keberadaan dan kekuasaan Allah
Swt. yang sempurna (QS.2:165; QS.3:28 &191; QS.10:7; QS.30:21-28; QS.45:1-7), sehingga orang-orang
yang menjadikan “sembahan-sembahan”
selain Allah Swt. pada hakikatnya mereka itu menyembah “benda-benda mati” belaka, sebab mereka itu tidak memiliki andil apa pun dalam penciptaan seluruh alam
semesta -- termasuk alam akhirat -- firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسۡتَمِعُوۡا
لَہٗ ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ تَدۡعُوۡنَ مِنۡ
دُوۡنِ اللّٰہِ لَنۡ یَّخۡلُقُوۡا ذُبَابًا وَّ لَوِ اجۡتَمَعُوۡا لَہٗ ؕ وَ اِنۡ یَّسۡلُبۡہُمُ الذُّبَابُ
شَیۡئًا لَّا یَسۡتَنۡقِذُوۡہُ مِنۡہُ ؕ
ضَعُفَ الطَّالِبُ وَ الۡمَطۡلُوۡبُ ﴿﴾ مَا قَدَرُوا اللّٰہَ حَقَّ قَدۡرِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿﴾
Hai manusia, suatu tamsil (perumpamaan) telah
dikemukakan maka dengarlah tamsil
itu. Sesungguhnya mereka yang kamu seru selain Allah, mereka itu tidak dapat
menjadikan seekor lalat, walau pun mereka
itu bergabung untuk itu. Dan seandainya lalat
itu menyambar sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. ضَعُفَ الطَّالِبُ وَ الۡمَطۡلُوۡبُ -- Sangat
lemah yang meminta dan yang diminta.
مَا
قَدَرُوا اللّٰہَ حَقَّ قَدۡرِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ -- Mereka sekali-kali tidak dapat menilai kekuasaan Allah
dengan sebenar-benarnya, sesungguhnya
Allah Mahakuat, Maha Perkasa (Al-Hajj [22]:74-75).
Ayat 74 menerangkan kepada orang-orang kafir, bahwa tuhan-tuhan
mereka sama sekali tidak mempunyai kekuasaan dan tidak berdaya, dan betapa bodohnya
mereka untuk menyembah tuhan-tuhan yang
sangat lemah seperti itu.
Ayat selanjutnya menjelaskan kenyataan, bahwa orang-orang musyrik menjatuhkan derajat
mereka sendiri ke tingkat yang sangat rendah, hingga mereka menyembah patung-patung — berhala-berhala yang terbuat dari kayu dan batu — menunjukkan, bahwa mereka mempunyai anggapan yang sangat keliru
mengenai kekuatan-kekuatan dan Sifat-sifat Tuhan Yang Maha
Kuasa, Al-Khāliq (Maha Pencipta) Yang Agung.
Pada hakikatnya, semua kepercayaan
yang mengakui adanya banyak tuhan dan
semua anggapan-anggapan musyrik
adalah timbul dari pandangan yang lemah
dan keliru, bahwa kekuatan-kekuatan dan Sifat-sifat Tuhan itu terbatas
dan mempunyai kekurangan seperti
halnya manusia, padahal tidak sama
antara Al-Khāliq (Maha Pencita) dengan makhluq-Nya
(ciptaan-Nya).
Segala Sesuatu di Alam Semesta “Bersujud” Kepada Allah Swt.
Mengenai lemahnya akal orang-orang musyrik yang menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah Swt. tersebut,
dalam Surah lainnya Allah Swt. berfirman:
لَہٗ دَعۡوَۃُ
الۡحَقِّ ؕ وَ الَّذِیۡنَ
یَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِہٖ لَا یَسۡتَجِیۡبُوۡنَ لَہُمۡ بِشَیۡءٍ اِلَّا کَبَاسِطِ کَفَّیۡہِ اِلَی الۡمَآءِ لِیَبۡلُغَ فَاہُ وَ مَا ہُوَ
بِبَالِغِہٖ ؕ وَ مَا دُعَآءُ الۡکٰفِرِیۡنَ
اِلَّا فِیۡ ضَلٰلٍ ﴿﴾ وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ
مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ
بِالۡغُدُوِّ وَ الۡاٰصَالِ ﴿ٛ﴾
Hanya bagi Dia-lah seruan yang haq (benar), dan mereka yang diseru oleh
orang-orang itu selain Dia, mereka tidak menjawabnya sedikit pun,
melainkan seperti orang yang mengulurkan
kedua tangannya ke air supaya sampai
ke mulutnya, tetapi itu tidak akan
sampai kepadanya, dan tidaklah doa orang-orang kafir itu melainkan sia-sia
belaka. وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ
مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ
بِالۡغُدُوِّ وَ الۡاٰصَالِ -- Dan kepada
Allah-lah bersujud siapa pun yang ada di seluruh langit dan bumi dengan rela
atau tidak rela dan demikian juga bayangan-bayangan mereka pada setiap pagi dan petang hari. (Ar-Rā’d [13]:15-16).
Jalan
yang benar untuk mendapat sukses
dalam kehidupan ialah menempatkan
segala sesuatu pada tempatnya yang
tepat - memberikan kedudukan kepada Allah Swt. kedudukan yang mustahak bagi-Nya dan memberi kepada makhluk-makhluk-Nya kedudukan yang mereka berhak memilikinya. Hanya
itu saja satu-satunya jalan untuk
mencapai sukses dan kebahagiaan yang sejati, karena itu
siapa pun yang menjadikan makhluk Allah Swt. sebagai sembahan (tuhan) doa-doa mereka itu sia-sia.
Kalau pun orang-orang musyrik tersebut meraih kemajuan juga dalam bidang
duniawi, hal itu bukan karena doa-doa mereka dikabulkan “sembahan”
mereka, melainkan karena mereka – sampai batas tertentu -- mentaati
hukum-hukum yang telah ditetapkan
Allah Swt. di alam semesta ini,
tetapi di akhirat mereka pasti
akan menjadi orang-orang yang sangat rugi karena telah mempersekutukan sesuatu dengan Allah
Swt. (QS.3:20 & 86).
Kenyataan tersebut dijelaskan
dalam ayat selanjutnya: وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ
مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ
بِالۡغُدُوِّ وَ الۡاٰصَالِ -- Dan kepada
Allah-lah bersujud siapa pun yang ada di seluruh langit dan bumi dengan rela
atau tidak rela dan demikian juga bayangan-bayangan mereka pada setiap pagi dan petang hari”.
Ayat ini mengandung satu kebenaran
yang agung, yaitu bahwa segala
sesuatu yang dijadikan (diciptakan) Allah
Swt. mau tidak mau harus tunduk
kepada hukum-hukum alam yang diadakan
(ditetapkan) oleh-Nya. Lidah harus melaksanakan tugas mencicip dan telinga tidak berdaya selain mendengar.
Tunduknya kepada hukum-hukum alam
itu dapat disebut sebagai “dipaksakan”
(karhan/karihan), tetapi manusia diberi juga kebebasan tertentu untuk berbuat,
di mana ia dapat mempergunakan kemauannya
dan pertimbangan akalnya. Tetapi
bahkan dalam perbuatan-perbuatan -- yang untuk melakukannya ia nampaknya dianugerahi
kebebasan -- ia
sedikit-banyak harus tunduk kepada paksaan, dan ia harus menaati hukum-hukum Allah Swt. dalam berbuat apa pun, biar suka atau
tidak.
Contohnya, baik orang bertakwa kepada Allah Swt. mau pun orang kafir jika dengan sengaja menyantap racun maka pasti
akan mengalami akibat buruk, bahkan
mengalami kematian. Dengan demikian orang-orang kafir pun terpaksa harus menghindari makan/minum racun jika tidak ingin mengalami akibat buruk atau kematian.
Kata-kata طَوۡعًا وَّ
کَرۡہًا -- “dengan
senang atau tidak senang” dapat juga mengisyaratkan kepada dua golongan
manusia, ialah, orang-orang beriman
yang secara ikhlas tunduk kepada Allah Swt., dan orang-orang
kafir yang menaati hukum-hukum Allah Swt. dengan menggerutu (terpaksa).
Kesempurnaan Makrifat Ilahi
Nabi Besar Muhammad Saw.
Ayat selanjutnya mempertegas
kenyataan yang dikemukakan ayat
sebelumnya mengenai Tuhan sembahan
Yang Hakiki yaitu Allah Swt.,
berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw., manusia (rasul Allah) yang
memiliki makrifat Ilahi paling sempurna:
قُلۡ مَنۡ رَّبُّ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ قُلِ اللّٰہُ ؕ قُلۡ
اَفَاتَّخَذۡتُمۡ مِّنۡ دُوۡنِہٖۤ
اَوۡلِیَآءَ لَا یَمۡلِکُوۡنَ
لِاَنۡفُسِہِمۡ نَفۡعًا وَّ لَا ضَرًّا ؕ قُلۡ ہَلۡ یَسۡتَوِی الۡاَعۡمٰی وَ
الۡبَصِیۡرُ ۬ۙ اَمۡ ہَلۡ تَسۡتَوِی الظُّلُمٰتُ وَ النُّوۡرُ ۬ۚ اَمۡ جَعَلُوۡا لِلّٰہِ شُرَکَآءَ
خَلَقُوۡا کَخَلۡقِہٖ فَتَشَابَہَ الۡخَلۡقُ عَلَیۡہِمۡ ؕ قُلِ اللّٰہُ
خَالِقُ کُلِّ شَیۡءٍ وَّ ہُوَ الۡوَاحِدُ الۡقَہَّارُ ﴿﴾
Katakanlah:
“Siapakah Rabb (Tuhan) seluruh langit dan bumi?” Katakanlah: “Allah!”
Katakanlah: “Apakah kamu mengambil
selain Dia pelindung-pelindung yang tidak memiliki kekuasaan
untuk kemanfaatan ataupun kemudaratan, meskipun bagi dirinya sendiri?” Katakanlah: ”Apakah sama keadaan
orang-orang buta dan orang-orang yang melihat? Atau samakah gelap dan terang? Atau apakah mereka itu menjadikan bagi Allah sekutu
yang telah menciptakan seperti
ciptaan-Nya sehingga kedua
jenis ciptaan itu nampak serupa saja
bagi mereka?” Katakanlah: “Hanya Allah yang telah menciptakan
segala sesuatu, dan Dia-lah Yang
Maha Esa, Maha Perkasa.”
(Ar-Rā’d
[13]:15-16).
Al-Quran memakai dua kata yang berlainan untuk menyatakan ke-Esa-an Allah Swt.: (1) Ahad dan (2) Wāhid. Di mana ahad
menunjuk kepada ke-Esa-an Tuhan yang mutlak, tanpa pertalian
dengan wujud lain, sedangkan wāhid hanya berarti “yang pertama” atau
“titik tolak”; dan menghendaki yang kedua dan yang ketiga sebagai lanjutannya.
Sifat wahid (satu) memperlihatkan, bahwa Allah Swt. itu
“Sumber” sejati, tempat terbit segala penciptaan, dan segala sesuatu menunjuk kepada Allah Swt. sebagaimana seharusnya benda yang kedua atau ketiga menunjuk kepada yang pertama. Tetapi di mana Al-Quran menolak
paham keputraan wujud-wujud yang
dengan tidak sah diberikan kedudukan
itu -- seperti itikad sesat “Trinitas” -- maka dipakainya kata ahad yakni, Dia
itu Esa dan senantiasa Esa serta Tunggal dan Yang tidak beranak, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ اَحَدٌ ۚ﴿﴾ اَللّٰہُ الصَّمَدُ ۚ﴿﴾ لَمۡ یَلِدۡ ۬ۙ
وَ لَمۡ یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾ وَ لَمۡ
یَکُنۡ لَّہٗ کُفُوًا
اَحَدٌ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama
Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Dia-lah Allah
Yang Maha Esa. Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya.
Dia
tidak beranak dan tidak diperanakkan,
dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan-Nya.” (Al-Ikhlas [112]:1-15).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar