Minggu, 28 Juni 2015

"Neraka Jahannam" Bagaikan "Rahim Ibu" Bagi Ruh-ruh yang Cacat Ketika Manusia Mati & Manusia Menjadi Penghuni "Neraka Jahannam" Akibat Menzalimi Dirinya Sendiri




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 87

Neraka Jahannam Bagaikan “Rahim Ibu” Bagi Ruh-ruh yang Cacat Ketika Manusia Mengalami Kematian & Manusia Menjadi Penghuni Neraka Jahannam Merupakan Akibat Menzalimi Dirinya Sendiri
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai  Sunnatullah bangkit dan jatuhnya bangsa-bangsa  Allah Swt. berfirman:  ذٰلِکَ بِاَنَّ  اللّٰہَ  لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا  نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ     --  Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah tidak   pernah  mengubah suatu nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada suatu kaum  hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri, firman-Nya:
ذٰلِکَ بِاَنَّ  اللّٰہَ  لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا  نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ۙ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  سَمِیۡعٌ  عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya  Allah tidak   pernah  mengubah suatu nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada suatu kaum  hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,  dan bahwa sesungguhnya Allāh Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Anfāl [8]:54) lihat pula QS.13:12).
        Ayat ini mengemukakan satu Sunnatullāh (Hukum Allah  yang lazim), bahwa Allah Swt.  tidak akan mengambil kembali suatu nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya kepada suatu kaum, selama belum ada perubahan memburuk dalam keadaan mereka sendiri.

Allah Swt. Mālik (Pemilik) Hari Pembalasan

         Makna ayat  ذٰلِکَ  یَوۡمٌ  مَّجۡمُوۡعٌ ۙ لَّہُ النَّاسُ  وَ ذٰلِکَ  یَوۡمٌ  مَّشۡہُوۡدٌ  -- Itulah suatu hari ketika semua manusia akan dikumpulkan  dan itulah hari yang akan disaksikan” (QS.11:104), bahwa manusia tidak bebas sepenuhnya, ia dipengaruhi oleh lingkungannya, didikannya serta  paham-paham yang diterima sebagai warisannya, karena itu untuk menilai dengan tepat perbuatannya yang tertentu sangat  perlu mempertimbangkan segala syarat dan keadaan yang membawa kepada perbuatan itu dan yang mempengaruhinya.
         Oleh karena itu  untuk memahami sepenuhnya hakikat perbuatan manusia dan untuk menunjukkan bahwa ketetapan Allah Swt.   --    yang nampaknya tidak adil dan tidak masuk akal dalam memberikan siksaan dan ganjaran kepada berbagai orang   --   tidak dilakukan sewenang-wenang atau serampangan saja, bahkan sepenuhnya dilaksanakan dengan adil dan tepat atas dasar pertimbangan sampai sejauh mana seseorang bebas atau terikat dalam melakukan perbuatannya, karena itu menjadi sangat perlu menetapkan suatu hari tertentu, yang pada ketika (saat) itu semua manusia dikumpulkan dengan disertai segala kondisi dan keadaannya, yang di bawah pengaruh itu mereka telah beramal, begitu pula disertakan berbagai sebab dan alasan yang membawa kepada terjadinya perbuatan mereka itu, sehingga keadaan-keadaan dan sebab-sebab itu dapat bersama-sama dipertimbangkan dalam menetapkan sifat ganjaran dan siksaan yang akan menimpa mereka.
         Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah Allah Swt. dalam surah Al-Fatihah ayat 4   tidak menyebut  Sifat Penghakiman-Nya  para “hari pembalasan” tersebut  dengan Al-Hakim  melainkan dengan sebutan  Al-Mālik (Pemilik), yakni:  مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ --  Pemilik Hari Pembalasan.”
        Mālik berarti majikan  atau orang yang memiliki hak atas sesuatu serta memiliki kekuasaan  untuk memperlakukannya dengan sekehendaknya (Al-Aqrab-ul-Mawarid).  Yaum berarti: waktu mutlak, hari mulai matahari terbit hingga terbenamnya; masa sekarang (Al-Aqrab-ul-Mawarid).   Dīn berarti: pembalasan atau ganjaran; peradilan atau perhitungan; kekuasaan atau pemerintahan; kepatuhan; agama, dan sebagainya. (Lexicon Lane).
          Makna ayat مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ --  Pemilik Hari Pembalasan”  bahwa  di hadapan Allah Swt. pada Hari Pembalasan  manusia harus mempertanggungjawabkan amal perbuatannya dan Allah Swt, akan  menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak akan berlaku terhadap makhluk-Nya semata-mata sebagai hakim, melainkan sebagai Majikannya  Yang melunakkan hukuman dengan kasih-sayang, dan Yang sangat cenderung mengampuni, kapan saja pengampunan akan membawa hasil yang baik, karena Allah Swt. bukanlah Tuhan yang bersifat pendendam seperti umumnya manusia, sehingga  untuk memperoleh Pengampunan-Nya  sama sekali tidak diperlukan “penebusan dosa” melalui kematian terkutuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. di tiang salib.

Dua Macam Ajal (Jangka Waktu) & Penderitan Dalam Neraka

        Kemudian  makna ajal dalam ayat selanjutnya:     وَ مَا نُؤَخِّرُہٗۤ   اِلَّا  لِاَجَلٍ  مَّعۡدُوۡدٍ   -- Dan Kami sama sekali tidak mengundurkannya melainkan untuk suatu jangka waktu yang telah ditentukan” (QS.11:105),ajal yang berarti suatu jangka waktu dan juga akhir suatu jangka waktu, ada dua macam: (a) yang dapat ditarik kembali atau dibatalkan, dan (b) yang tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan.
          Ajal (jangka waktu) yang dapat ditarik kembali itu bergerak dalam lingkungan tertentu, yang dapat berubah menurut keadaan. Umpamanya umur manusia mempunyai batas tertentu; usia itu dapat berkurang atau bertambah dalam batas (yang ditentukan) itu. Tetapi “jangka waktu” (ajal) yang tidak dapat dibatalkan dan tidak dapat ditarik kembali  ialah yang bertalian dengan  kematian  manusia  atau kebinasaan suatu kaum secara menyeluruh (QS.21:35-36; QS.7:35-37).Ada pun makna  kata  zafīr  dalam ayat selanjutnya, firman-Nya: 
یَوۡمَ یَاۡتِ لَا تَکَلَّمُ نَفۡسٌ اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ۚ فَمِنۡہُمۡ  شَقِیٌّ  وَّ سَعِیۡدٌ ﴿﴾  فَاَمَّا الَّذِیۡنَ شَقُوۡا فَفِی النَّارِ لَہُمۡ فِیۡہَا زَفِیۡرٌ  وَّ شَہِیۡقٌ ﴿﴾ۙ
Ketika hari itu datang, tidak ada seorang pun yang berbicara kecuali dengan izin-Nya, maka di antara mereka akan ada yang bernasib buruk dan ada yang bernasib baik.   Maka adapun orang yang nasibnya buruk,  mereka itu akan ada dalam Api, di dalamnya mereka akan menarik nafas panjang dan tersendat-sendat. (Hūd [11]:106-107).
          Zafir berarti, permulaan teriakan keledai, dan syahiq penghabisan teriakan itu (Lexicon Lane). Orang-orang kafir yang mendustakan dan  menentang para Rasul Allah dalam ayat ini telah diumpamakan dengan keledai, ialah seekor binatang penakut dan bodoh, dengan arti  bahwa mereka itu tidak berani berbuat menurut keyakinan mereka, dan tidak mengambil faedah dari ilmu, sehingga Allah Swt. memisalkan mereka sebagai “keledai yang  di punggungnya terdapat buku-buku tebal” (QS.62:6; QS.74:50-57), namun  demikian binatang yang bodoh dan penakut tersebut  mereka bersuara sangat buruk  (QS.31:20).
      Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai orang-orang kafir yang mendustakan Tanda-tanda Allah Swt. tersebut:
خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا مَا دَامَتِ السَّمٰوٰتُ وَ الۡاَرۡضُ اِلَّا مَا شَآءَ رَبُّکَ ؕ اِنَّ رَبَّکَ فَعَّالٌ  لِّمَا یُرِیۡدُ﴿﴾
Mereka  akan kekal di dalamnya selama langit dan bumi ada,  kecuali apa yang Rabb (Tuhan) engkau kehendaki, sesungguhnya Rabb (Tuhan) engkau melakukan apa yang Dia kehendaki. Hūd [11]: 108).
         Makna  kalimat  Mereka  akan kekal di dalamnya selama langit dan bumi ada,” ungkapan Al-Quran ini merupakan peribahasa, yang berarti masa yang sangat panjang. Al-Quran mengajarkan bahwa siksaan di neraka itu tidak kekal. Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai ahli surga:
وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ سُعِدُوۡا فَفِی الۡجَنَّۃِ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا مَا دَامَتِ السَّمٰوٰتُ وَ الۡاَرۡضُ  اِلَّا  مَا شَآءَ رَبُّکَ ؕ عَطَآءً غَیۡرَ  مَجۡذُوۡذٍ ﴿﴾
Tetapi mengenai orang yang bernasib baik, mereka ada dalam surga, mereka   kekal di dalamnya selama langit dan bumi ada, kecuali apa yang Rabb (Tuhan) engkau kehendaki, pemberian yang tidak ada putus-putus-nya. (Hūd [11]: 109).  

Berbagai Pendapat Tentang Surga dan Neraka

         Menurut agama Hindu surga dan neraka kedua-duanya (ialah ganjaran dan siksaan) masanya terbatas,  dan orang sesudah mengalami siksaan atau memetik hasil perbuatannya akan dikembalikan ke dunia, yakni mengalami  proses “tumibal” atau reinkarnasi.
         Dari agama-agama Semit, agama Yahudi menolak surga bagi bukan-Yahudi, sedang orang-orang Yahudi dipandangnya sebagai hampir-hampir bebas sama sekali dari siksaan neraka (QS.2:112). Menurut orang-orang Kristen, surga dan neraka kedua-duanya kekal-abadi, meskipun beberapa dari sektenya (mazhabnya) berpegang kepada kepercayaan bahwa surga akan berakhir pula (Tafsir Kabir).
        Islam pada dasarnya berbeda dari semua agama tersebut dalam hal ini. Menurut Islam surga itu kekal dan abadi, sedang neraka itu berlangsung untuk sementara dan jangka waktunya terbatas (QS.101:9-10). Imam Ahmad bin Hanbal menyebut sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash demikian:  Akan tiba suatu hari untuk neraka, ketika pintu-pintunya akan melambai-lambai dan tak seorang pun akan tersisa di sana. Hal itu akan terjadi bila penghuni neraka telah tinggal di sana berabad-abad lamanya” (Musnad Ahmad).
        Menurut riwayat itu kata khālidīn (kekal)  yang dipakai sehubungan dengan neraka hanya berarti “tinggal untuk beberapa abad”. ‘Abdullah bin ‘Umar dan Jabir sepakat dengan Imam Hanbal. Abu Said al-Khudri pun menyebut suatu hadits yang serupa (Bukhari).  Tetapi beberapa ahli keagamaan kenamaan, di antaranya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, berpendapat bahwa meskipun orang-orang kafir yang durjana itu layak ditahan dalam neraka untuk selama-lamanya, neraka itu sendiri pada suatu hari akan lenyap berkat rahmat Ilahi dan neraka itu sudah tidak ada, dengan sendirinya neraka itu tidak mempunyai penghuni (Fath-ul-Bayan).
        Al-Quran telah mempergunakan kata-kata ganjaran yang tiada putus-putusnya (QS.41:9; QS.84:26; QS.95:7) mengenai surga, tetapi tidak ada ungkapan demikian telah dipergunakan sehubungan dengan neraka. Tambahan pula, dalam ayat-ayat QS.101:10-12 neraka diibaratkan seorang ibu, dan kita mengetahui bahwa mudighah tetap tinggal dalam rahim ibu hingga tubuh  bayi itu telah terbentuk (QS.23:13-15), dan berbagai-bagai anggota tubuhnya telah menjadi lengkap.
          Demikian pula orang-orang malang  yang dilemparkan ke dalam neraka itu akan tetap tinggal di sana, hingga kemampuan-kemampuan mereka telah berkembang sepenuhnya, sehingga memberi kesanggupan kepada mereka untuk melihat Wajah cemerlang  Allah Swt. yakni dapat beradaptasi dengan kehidupan dalam surga.
 
Manusia Menzalimi Dirinya Sendiri &  Pentingnya Shalat Tahajjud

    Pendek kata, tidak ada kezaliman  pada “Hari Penghakiman” di alam akhirat tersebut,   walau pun para penghuni neraka jahannam tidak akan mengalami kematian lagi bagaimana pun hebatnya penderitaan yang dialaminya dalam neraka jahannam (QS.14:18;  QS,20:75; QS.87:10-14), sebab sebelumnya Allah Swt. telah memperingatkan mereka  di dunia ini  melalui para Rasul Allah  (QS.7”35-37) -- terutama   Nabi Besar Muhammad saw.   dengan perantaraan  Al-Quran telah memberikan informasi yang paling lengkap  mengenai keadaan   di alam alam akhirat    -- firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika  Rabb (Tuhan) engkau mengambil  kesaksian dari  bani Adam  yakni   dari sulbi  keturunan  mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri  sambil berfirman:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ  --   ”Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  --  Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal  itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamat:  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.”   Atau kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ  --  ”Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka.  اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ  -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah  dikerjakan oleh orang-orang yang  berbuat batil itu?” وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ   --   Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu  dan supa-ya mereka kembali kepada yang haq  (Al-A’rāf [7]:173-175).
   Ayat 173 menunjukkan kepada kesaksian yang tertanam dalam fitrat atau ruh (jiwa) manusia sendiri mengenai adanya Dzat Mahatinggi Yang telah menciptakan seluruh alam  serta mengendalikannya  (QS.30:31). Atau ayat itu dapat merujuk kepada kemunculan para nabi Allah yang menunjuki jalan menuju Allah Swt. (QS.7:35-37); dan ungkapan “dari sulbi  bani Adam” maksudnya umat dari setiap zaman yang kepada mereka rasul Allah diutus. Pada hakikatnya keadaan tiap-tiap rasul baru itulah yang mendorong timbulnya  pertanyaan  Ilahi:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ -- “Bukankah  Aku Rabb (Tuhan) kamu?” Lihat pula QS.31-33.
    Pertanyaan itu berarti bahwa jika Allah Swt.    telah menyediakan perbekalan untuk keperluan jasmani manusia dan demikian  pula untuk kemajuan akhlak dan keruhanian betapa ia dapat mengingkari Ketuhanan-Nya. Sesungguhnya karena menolak nabi mereka  maka manusia menjadi saksi terhadap diri  mereka sendiri, sebab jika demikian mereka tidak dapat berlindung di balik dalih bahwa  mereka tidak mengetahui Allah Swt. atau syariat-Nya atau Hari Pembalasan.
  Kemunculan seorang nabi Allah juga menghambat (merintangi) kaumnya dari mengemukakan dalih seperti dalam ayat 173 di atas, sebab pada saat itulah  haq   (kebenaran) dibuat nyata berbeda dari kepalsuan, dan kemusyrikan dengan  terang benderang dicela, sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai pentingnya shalat tahajjud:
 اَقِمِ الصَّلٰوۃَ  لِدُلُوۡکِ الشَّمۡسِ اِلٰی غَسَقِ  الَّیۡلِ وَ  قُرۡاٰنَ  الۡفَجۡرِ ؕ اِنَّ  قُرۡاٰنَ الۡفَجۡرِ  کَانَ  مَشۡہُوۡدًا ﴿﴾  وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ نَافِلَۃً  لَّکَ ٭ۖ عَسٰۤی اَنۡ  یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا﴿﴾  وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ صِدۡقٍ وَّ اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ سُلۡطٰنًا نَّصِیۡرًا ﴿﴾  وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا ﴿﴾  وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ  لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ   اِلَّا  خَسَارًا﴿﴾  وَ  اِذَاۤ   اَنۡعَمۡنَا عَلَی  الۡاِنۡسَانِ اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ وَ اِذَا مَسَّہُ  الشَّرُّ کَانَ یَــُٔوۡسًا ﴿﴾  قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dirikanlah shalat sejak matahari condong hingga kegelapan malam dan bacalah Al-Quran pada waktu subuh, sesungguhnya pembacaan Al-Quran pada waktu subuh disaksikan secara istimewa oleh Allah.”  وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ نَافِلَۃً  لَّکَ  --  bDan pada sebagian malam  maka tahajudlah engkau dengan membacanya, suatu ibadah tambahan  bagi engkau, عَسٰۤی اَنۡ  یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا  -- boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau ke martabat yang sangat terpuji.   وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ صِدۡقٍ وَّ اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ سُلۡطٰنًا نَّصِیۡرًا  --  Dan katakanlah: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), masukkanlah daku dengan cara masuk yang baik serta keluarkanlah  aku dengan cara keluar yang baik,  dan jadikanlah bagiku dari hadirat Engkau kekuatan yang menolong.”   وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا  --  Dan katakanlah:  Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,  sesungguhnya kebatilan itu pasti  lenyap.”    وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ  لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ   اِلَّا  خَسَارًا  -- Dan  Kami  menurunkan dari Al-Quran suatu  penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, tetapi tidak menambah kepada orang-orang yang zalim melainkan kerugian.     Dan apabila Kami membe-rikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya  ia berputus asa.  قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا --  Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri, dan Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.”  (Bani Israil [17]:79-85). Lihat pula  QS.21:19;  QS.34:50. 

Shalat Wajib  5 Waktu & Khasiat Shalat Tahjjud

   Dalakat asy-syamsu berarti: (1) matahari condong sesudah mencapai titik puncaknya pada tengah hari; (2) matahari menjadi kekuning-kuningan; (3) matahari terbenam. Ghasaq berarti, kegelapan malam, atau ketika warna merah di kaki langit lenyap sesudah matahari terbenam (Lexicon Lane).
   Nampaknya ayat ini menunjuk kepada saat-saat untuk mendirikan shalat 5 waktu sehari. Tiga arti dulūk menunjukkan saat untuk shalat Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Untuk ghasaqil-lail meliputi saat untuk shalat Maghrib, tetapi khususnya menunjuk kepada shalat Isya, dan kata-kata qur’an al-fajr menunjuk kepada saat shalat Shubuh.
  Sebagai arti tambahan kata nāfilah pada yang diberikan dalam terjemahan teks    -- yaitu ibadah tambahan -- teks, nāfilah berarti juga  karunia yang khas, dan mengandung arti bahwa shalat-shalat itu bukan suatu beban yang hanya meletihkan tubuh, melainkan suatu kesempatan istimewa dan karunia khas dari Allah  Swt..  
 Makna   مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا  -- “martabat yang terpuji,”  barangkali tiada orang yang pernah begitu dibenci dan dimaki seperti Nabi Besar Muhammad saw.,  dan kemudian sungguh tidak ada wujud lain yang menerima begitu banyak pujian Allah Swt. dan menjadi penadah begitu banyak rahmat dan berkat Ilahi seperti beliau saw..
   Shalat Tahajjud paling cocok untuk orang beriman guna mencapai kemajuan ruhaninya,  karena dalam kesunyian malam  dalam keadaan menyendiri di hadapan Sang Khaliq-nya  ia menikmati perhubungan khas dengan  Allah Swt.  عَسٰۤی اَنۡ  یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا  --   boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau ke martabat yang sangat terpuji.
  Sebagai kemakbulan doa-doa dan permohonan-permohonan beliau saw., Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini diberi kabar gembira bahwa untuk menggenapi nubuatan dalam kata-kata  سُبۡحٰنَ الَّذِیۡۤ  اَسۡرٰی بِعَبۡدِہٖ لَیۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ  اِلَی الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِیۡ بٰرَکۡنَا حَوۡلَہٗ  لِنُرِیَہٗ مِنۡ اٰیٰتِنَا  -- “Maha Suci Dia Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam hari dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, supaya Kami  memperlihatkan kepadanya Tanda-tanda Kami ” (QS.17:2), beliau saw. akan dibawa ke Medinah. Untuk mendahului dan menyambut penyempurnaan nubuatan ini beliau diperintahkan mendoa supaya masuk beliau saw. ke Medinah dan begitu pula keberangkatan beliau saw. dari kota Mekkah, di mana beliau saw. tinggal pada saat itu, akan dianugerahi keberkatan yang berlimpah-limpah.
 Ayat وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا  --  Dan katakanlah:  Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,  sesungguhnya kebatilan itu pasti  lenyap.”     Inilah salah satu mukjizat gaya bahasa Al-Quran  bahwa untuk  ini mengemukakan salah satu contoh semacam itu. Sesudah takluknya kota Mekkah, ketika Nabi Besar Muhammad saw.    selagi membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala yang telah mengotorinya, beliau saw. berulang-ulang mengucapkan ayat tersebut sementara beliau saw. memukuli berhala-berhala  dengan tongkat (Bukhari).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Juni  2015      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar