بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 87
Neraka
Jahannam Bagaikan “Rahim
Ibu” Bagi Ruh-ruh yang Cacat Ketika Manusia Mengalami Kematian
& Manusia Menjadi Penghuni Neraka
Jahannam Merupakan Akibat Menzalimi
Dirinya Sendiri
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai Sunnatullah bangkit dan jatuhnya bangsa-bangsa Allah Swt. berfirman: ذٰلِکَ بِاَنَّ اللّٰہَ لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ -- Yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya Allah
tidak pernah mengubah suatu nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada suatu kaum hingga mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri, firman-Nya:
ذٰلِکَ بِاَنَّ اللّٰہَ لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ
حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ۙ وَ اَنَّ اللّٰہَ
سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah tidak pernah
mengubah suatu nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada suatu kaum hingga mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri, dan bahwa sesungguhnya
Allāh Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
(Al-Anfāl
[8]:54) lihat pula QS.13:12).
Ayat
ini mengemukakan satu Sunnatullāh (Hukum Allah yang lazim), bahwa Allah Swt. tidak akan mengambil kembali suatu nikmat
yang telah dianugerahkan oleh-Nya kepada suatu kaum, selama belum ada perubahan
memburuk dalam keadaan mereka sendiri.
Allah Swt. Mālik (Pemilik) Hari
Pembalasan
Makna ayat ذٰلِکَ یَوۡمٌ مَّجۡمُوۡعٌ ۙ لَّہُ النَّاسُ وَ
ذٰلِکَ یَوۡمٌ مَّشۡہُوۡدٌ -- Itulah
suatu hari ketika semua manusia akan
dikumpulkan dan itulah hari yang akan disaksikan” (QS.11:104), bahwa manusia tidak bebas sepenuhnya, ia dipengaruhi
oleh lingkungannya, didikannya serta paham-paham
yang diterima sebagai warisannya,
karena itu untuk menilai dengan tepat
perbuatannya yang tertentu
sangat perlu mempertimbangkan segala syarat
dan keadaan yang membawa kepada perbuatan itu dan yang mempengaruhinya.
Oleh karena itu untuk memahami sepenuhnya hakikat perbuatan manusia
dan untuk menunjukkan bahwa ketetapan
Allah Swt. -- yang nampaknya tidak adil dan tidak masuk
akal dalam memberikan siksaan dan
ganjaran kepada berbagai orang -- tidak dilakukan sewenang-wenang atau serampangan
saja, bahkan sepenuhnya dilaksanakan dengan adil
dan tepat atas dasar pertimbangan sampai sejauh mana
seseorang bebas atau terikat dalam melakukan perbuatannya, karena itu menjadi sangat
perlu menetapkan suatu hari tertentu, yang pada ketika (saat) itu semua manusia dikumpulkan dengan disertai segala kondisi dan keadaannya, yang di bawah pengaruh
itu mereka telah beramal, begitu pula
disertakan berbagai sebab dan alasan yang membawa kepada terjadinya
perbuatan mereka itu, sehingga keadaan-keadaan
dan sebab-sebab itu dapat
bersama-sama dipertimbangkan dalam menetapkan sifat ganjaran dan siksaan yang akan menimpa mereka.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah Allah Swt. dalam surah Al-Fatihah ayat 4 tidak menyebut Sifat Penghakiman-Nya para “hari
pembalasan” tersebut dengan Al-Hakim
melainkan dengan sebutan Al-Mālik (Pemilik), yakni: مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ -- “Pemilik Hari Pembalasan.”
Mālik
berarti majikan atau orang yang memiliki hak atas sesuatu
serta memiliki kekuasaan untuk memperlakukannya
dengan sekehendaknya (Al-Aqrab-ul-Mawarid). Yaum berarti: waktu mutlak, hari mulai
matahari terbit hingga terbenamnya; masa sekarang (Al-Aqrab-ul-Mawarid).
Dīn berarti: pembalasan atau ganjaran; peradilan atau
perhitungan; kekuasaan atau pemerintahan; kepatuhan; agama, dan sebagainya. (Lexicon Lane).
Makna ayat مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ -- “Pemilik Hari Pembalasan” bahwa di hadapan Allah Swt. pada Hari Pembalasan manusia harus mempertanggungjawabkan amal perbuatannya dan Allah Swt,
akan menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak akan berlaku terhadap
makhluk-Nya semata-mata sebagai hakim, melainkan sebagai Majikannya Yang melunakkan
hukuman dengan kasih-sayang, dan
Yang sangat cenderung mengampuni,
kapan saja pengampunan akan membawa
hasil yang baik, karena Allah Swt. bukanlah Tuhan
yang bersifat pendendam seperti
umumnya manusia, sehingga untuk
memperoleh Pengampunan-Nya sama
sekali tidak diperlukan “penebusan
dosa” melalui kematian terkutuk
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. di tiang salib.
Dua Macam Ajal (Jangka
Waktu) & Penderitan Dalam Neraka
Kemudian
makna ajal dalam ayat
selanjutnya: وَ مَا
نُؤَخِّرُہٗۤ اِلَّا لِاَجَلٍ مَّعۡدُوۡدٍ -- Dan Kami
sama sekali tidak mengundurkannya melainkan untuk suatu jangka waktu yang telah ditentukan” (QS.11:105),ajal
yang berarti suatu jangka waktu dan
juga akhir suatu jangka waktu, ada dua macam: (a) yang dapat ditarik kembali
atau dibatalkan, dan (b) yang tidak dapat ditarik kembali atau
dibatalkan.
Ajal (jangka waktu) yang dapat ditarik kembali itu bergerak dalam
lingkungan tertentu, yang dapat berubah
menurut keadaan. Umpamanya umur
manusia mempunyai batas tertentu;
usia itu dapat berkurang atau bertambah dalam batas (yang ditentukan)
itu. Tetapi “jangka waktu” (ajal)
yang tidak dapat dibatalkan dan tidak
dapat ditarik kembali ialah yang bertalian dengan kematian manusia
atau kebinasaan suatu kaum secara menyeluruh (QS.21:35-36;
QS.7:35-37).Ada pun makna kata zafīr dalam ayat selanjutnya, firman-Nya:
یَوۡمَ یَاۡتِ لَا تَکَلَّمُ
نَفۡسٌ اِلَّا بِاِذۡنِہٖ ۚ فَمِنۡہُمۡ شَقِیٌّ
وَّ سَعِیۡدٌ ﴿﴾ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ شَقُوۡا فَفِی
النَّارِ لَہُمۡ فِیۡہَا زَفِیۡرٌ وَّ شَہِیۡقٌ ﴿﴾ۙ
Ketika hari itu datang, tidak ada seorang
pun yang berbicara kecuali dengan izin-Nya,
maka di antara mereka akan ada yang
bernasib buruk dan ada yang bernasib
baik. Maka adapun orang yang nasibnya buruk, mereka itu akan ada dalam Api, di dalamnya mereka akan menarik nafas panjang dan tersendat-sendat. (Hūd [11]:106-107).
Zafir
berarti, permulaan teriakan keledai,
dan syahiq penghabisan teriakan
itu (Lexicon Lane). Orang-orang
kafir yang mendustakan dan menentang
para Rasul Allah dalam ayat ini telah
diumpamakan dengan keledai, ialah seekor binatang penakut dan bodoh, dengan arti bahwa mereka itu tidak berani berbuat menurut keyakinan
mereka, dan tidak mengambil faedah
dari ilmu, sehingga Allah Swt.
memisalkan mereka sebagai “keledai
yang di punggungnya terdapat buku-buku tebal” (QS.62:6; QS.74:50-57),
namun demikian binatang yang bodoh dan
penakut tersebut mereka bersuara sangat buruk (QS.31:20).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai orang-orang kafir yang mendustakan
Tanda-tanda Allah Swt. tersebut:
خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا مَا
دَامَتِ السَّمٰوٰتُ وَ الۡاَرۡضُ اِلَّا مَا شَآءَ رَبُّکَ ؕ اِنَّ رَبَّکَ
فَعَّالٌ لِّمَا یُرِیۡدُ﴿﴾
Mereka akan kekal di dalamnya selama langit dan bumi ada, kecuali apa
yang Rabb (Tuhan) engkau kehendaki,
sesungguhnya Rabb (Tuhan) engkau melakukan apa yang Dia kehendaki. Hūd
[11]: 108).
Makna
kalimat “Mereka akan kekal di dalamnya selama
langit dan bumi ada,” ungkapan Al-Quran ini merupakan peribahasa, yang berarti masa
yang sangat panjang. Al-Quran mengajarkan bahwa siksaan di neraka itu tidak
kekal. Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai ahli surga:
وَ اَمَّا
الَّذِیۡنَ سُعِدُوۡا فَفِی
الۡجَنَّۃِ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا مَا
دَامَتِ السَّمٰوٰتُ وَ الۡاَرۡضُ اِلَّا مَا شَآءَ رَبُّکَ ؕ عَطَآءً غَیۡرَ مَجۡذُوۡذٍ ﴿﴾
Tetapi
mengenai orang yang bernasib baik,
mereka ada dalam surga, mereka kekal
di dalamnya selama langit dan bumi ada, kecuali apa yang Rabb (Tuhan) engkau
kehendaki, pemberian yang tidak ada
putus-putus-nya. (Hūd [11]: 109).
Berbagai Pendapat Tentang Surga dan Neraka
Menurut
agama Hindu surga dan neraka kedua-duanya (ialah ganjaran dan
siksaan) masanya terbatas, dan orang sesudah mengalami siksaan atau memetik hasil perbuatannya akan dikembalikan ke dunia, yakni
mengalami proses “tumibal” atau reinkarnasi.
Dari agama-agama Semit, agama Yahudi menolak
surga bagi bukan-Yahudi, sedang orang-orang Yahudi dipandangnya sebagai
hampir-hampir bebas sama sekali dari siksaan
neraka (QS.2:112). Menurut orang-orang Kristen, surga dan neraka
kedua-duanya kekal-abadi, meskipun beberapa dari sektenya (mazhabnya) berpegang
kepada kepercayaan bahwa surga akan
berakhir pula (Tafsir Kabir).
Islam pada dasarnya berbeda dari semua agama tersebut dalam
hal ini. Menurut Islam surga itu kekal dan abadi, sedang neraka itu berlangsung untuk sementara dan jangka waktunya terbatas (QS.101:9-10). Imam Ahmad
bin Hanbal menyebut sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang
diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash demikian: “Akan
tiba suatu hari untuk neraka, ketika pintu-pintunya akan melambai-lambai dan
tak seorang pun akan tersisa di sana. Hal itu akan terjadi bila penghuni neraka
telah tinggal di sana berabad-abad lamanya” (Musnad Ahmad).
Menurut riwayat itu kata khālidīn
(kekal) yang dipakai sehubungan dengan neraka hanya berarti “tinggal untuk beberapa abad”. ‘Abdullah
bin ‘Umar dan Jabir sepakat dengan Imam Hanbal. Abu Said al-Khudri pun menyebut
suatu hadits yang serupa (Bukhari). Tetapi beberapa ahli keagamaan kenamaan, di
antaranya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, berpendapat bahwa meskipun orang-orang kafir yang durjana itu layak ditahan dalam neraka untuk selama-lamanya, neraka itu sendiri pada suatu hari akan lenyap berkat rahmat Ilahi dan neraka
itu sudah tidak ada, dengan sendirinya neraka itu tidak mempunyai penghuni (Fath-ul-Bayan).
Al-Quran telah mempergunakan
kata-kata ganjaran yang tiada putus-putusnya (QS.41:9; QS.84:26;
QS.95:7) mengenai surga, tetapi tidak
ada ungkapan demikian telah dipergunakan sehubungan dengan neraka. Tambahan pula, dalam ayat-ayat QS.101:10-12 neraka diibaratkan seorang ibu, dan kita mengetahui bahwa mudighah
tetap tinggal dalam rahim ibu hingga tubuh bayi itu telah terbentuk (QS.23:13-15), dan berbagai-bagai anggota tubuhnya telah menjadi lengkap.
Demikian pula orang-orang malang yang dilemparkan ke dalam neraka itu akan tetap tinggal di sana, hingga kemampuan-kemampuan mereka telah berkembang sepenuhnya, sehingga memberi kesanggupan kepada mereka untuk melihat Wajah cemerlang Allah Swt. yakni dapat beradaptasi dengan kehidupan dalam surga.
Manusia Menzalimi
Dirinya Sendiri & Pentingnya Shalat Tahajjud
Pendek kata, tidak ada kezaliman pada “Hari Penghakiman” di alam akhirat tersebut, walau pun para penghuni neraka jahannam
tidak akan mengalami kematian lagi
bagaimana pun hebatnya penderitaan
yang dialaminya dalam neraka jahannam
(QS.14:18; QS,20:75; QS.87:10-14), sebab
sebelumnya Allah Swt. telah memperingatkan
mereka di dunia ini melalui para Rasul Allah (QS.7”35-37) -- terutama Nabi Besar Muhammad saw. dengan
perantaraan Al-Quran telah memberikan informasi
yang paling lengkap mengenai
keadaan di alam alam akhirat -- firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ
اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ
اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ
الۡقِیٰمَۃِ اِنَّا کُنَّا
عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا
اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ
یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil kesaksian dari bani
Adam yakni dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil berfirman: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ -- ”Bukankah
Aku Rabb (Tuhan) kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا -- Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal itu supaya
kamu tidak berkata pada Hari Kiamat: اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ -- “Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari
hal ini.” Atau kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ -- ”Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat
syirik, sedangkan kami hanyalah
keturunan sesudah mereka. اَفَتُہۡلِکُنَا
بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan
oleh orang-orang yang berbuat batil itu?”
وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ -- Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu dan supa-ya mereka kembali kepada yang haq (Al-A’rāf [7]:173-175).
Ayat 173 menunjukkan kepada kesaksian yang tertanam dalam fitrat atau ruh (jiwa) manusia sendiri mengenai adanya Dzat Mahatinggi Yang
telah menciptakan seluruh alam serta mengendalikannya (QS.30:31). Atau ayat itu dapat merujuk
kepada kemunculan para nabi Allah yang menunjuki jalan menuju Allah Swt. (QS.7:35-37);
dan ungkapan “dari sulbi bani Adam”
maksudnya umat dari setiap zaman yang kepada mereka rasul Allah diutus. Pada hakikatnya
keadaan tiap-tiap rasul baru itulah
yang mendorong timbulnya pertanyaan
Ilahi: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ -- “Bukankah Aku Rabb
(Tuhan) kamu?” Lihat pula QS.31-33.
Pertanyaan itu berarti bahwa jika Allah Swt. telah menyediakan perbekalan untuk
keperluan jasmani manusia dan
demikian pula untuk kemajuan akhlak dan keruhanian
betapa ia dapat mengingkari Ketuhanan-Nya.
Sesungguhnya karena menolak nabi
mereka maka manusia menjadi saksi terhadap diri mereka sendiri, sebab jika demikian mereka
tidak dapat berlindung di balik dalih bahwa mereka tidak
mengetahui Allah Swt. atau syariat-Nya
atau Hari Pembalasan.
Kemunculan seorang nabi Allah juga menghambat (merintangi) kaumnya dari mengemukakan dalih
seperti dalam ayat 173 di atas, sebab pada saat itulah haq (kebenaran) dibuat nyata berbeda dari kepalsuan,
dan kemusyrikan dengan terang benderang dicela, sebagaimana
firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai pentingnya shalat tahajjud:
اَقِمِ الصَّلٰوۃَ لِدُلُوۡکِ الشَّمۡسِ اِلٰی غَسَقِ الَّیۡلِ وَ
قُرۡاٰنَ الۡفَجۡرِ ؕ اِنَّ قُرۡاٰنَ الۡفَجۡرِ کَانَ
مَشۡہُوۡدًا ﴿﴾ وَ مِنَ الَّیۡلِ
فَتَہَجَّدۡ بِہٖ نَافِلَۃً لَّکَ ٭ۖ
عَسٰۤی اَنۡ یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا
مَّحۡمُوۡدًا﴿﴾ وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ صِدۡقٍ وَّ
اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ سُلۡطٰنًا
نَّصِیۡرًا ﴿﴾ وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ
الۡبَاطِلَ کَانَ زَہُوۡقًا ﴿﴾ وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ
رَحۡمَۃٌ لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا
یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ اِلَّا خَسَارًا﴿﴾ وَ
اِذَاۤ اَنۡعَمۡنَا عَلَی الۡاِنۡسَانِ اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ
وَ اِذَا مَسَّہُ الشَّرُّ کَانَ
یَــُٔوۡسًا ﴿﴾ قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ
اَعۡلَمُ بِمَنۡ ہُوَ
اَہۡدٰی سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dirikanlah shalat sejak matahari
condong hingga kegelapan malam
dan bacalah Al-Quran pada waktu subuh, sesungguhnya pembacaan Al-Quran pada waktu subuh
disaksikan secara istimewa oleh Allah.” وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ
نَافِلَۃً لَّکَ
-- bDan pada sebagian
malam maka tahajudlah engkau dengan membacanya, suatu ibadah tambahan bagi engkau, عَسٰۤی اَنۡ یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا -- boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau ke martabat yang sangat
terpuji. وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ
صِدۡقٍ وَّ اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ
سُلۡطٰنًا نَّصِیۡرًا -- Dan katakanlah: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), masukkanlah
daku dengan cara masuk yang
baik serta keluarkanlah aku dengan cara keluar yang baik, dan jadikanlah
bagiku dari hadirat Engkau kekuatan yang menolong.” وَ قُلۡ جَآءَ
الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ کَانَ
زَہُوۡقًا -- Dan katakanlah: ”Haq yakni kebenaran telah
datang dan kebatilan telah lenyap, sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.”
وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ
شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ
ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ
اِلَّا خَسَارًا -- Dan Kami
menurunkan dari Al-Quran
suatu penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman,
tetapi tidak menambah kepada orang-orang
yang zalim melainkan kerugian. Dan apabila Kami membe-rikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya ia berputus asa. قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ
فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ہُوَ
اَہۡدٰی سَبِیۡلًا -- Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya
sendiri, dan Rabb (Tuhan) kamu
lebih mengetahui siapa yang lebih
terpimpin pada jalan-Nya.”
(Bani Israil [17]:79-85). Lihat pula QS.21:19; QS.34:50.
Shalat Wajib 5 Waktu & Khasiat Shalat Tahjjud
Dalakat asy-syamsu berarti: (1)
matahari condong sesudah mencapai titik puncaknya pada tengah hari; (2)
matahari menjadi kekuning-kuningan; (3) matahari terbenam. Ghasaq
berarti, kegelapan malam, atau ketika warna merah di kaki langit lenyap sesudah
matahari terbenam (Lexicon Lane).
Nampaknya ayat ini menunjuk kepada saat-saat
untuk mendirikan shalat 5 waktu sehari. Tiga arti dulūk menunjukkan saat
untuk shalat Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Untuk ghasaqil-lail meliputi saat untuk shalat Maghrib, tetapi khususnya menunjuk
kepada shalat Isya, dan kata-kata qur’an
al-fajr menunjuk kepada saat shalat Shubuh.
Sebagai
arti tambahan kata nāfilah pada yang
diberikan dalam terjemahan teks --
yaitu ibadah tambahan -- teks, nāfilah
berarti juga karunia yang khas, dan mengandung arti bahwa shalat-shalat itu
bukan suatu beban yang hanya meletihkan tubuh, melainkan suatu kesempatan istimewa dan karunia khas dari Allah Swt..
Makna مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا -- “martabat yang terpuji,” barangkali tiada orang yang pernah begitu dibenci
dan dimaki seperti Nabi Besar
Muhammad saw., dan kemudian sungguh
tidak ada wujud lain yang menerima
begitu banyak pujian Allah Swt. dan
menjadi penadah begitu banyak rahmat dan berkat Ilahi seperti beliau saw..
Shalat Tahajjud
paling cocok untuk orang beriman guna
mencapai kemajuan ruhaninya, karena dalam kesunyian malam dalam
keadaan menyendiri di hadapan Sang Khaliq-nya ia menikmati perhubungan khas dengan Allah
Swt. عَسٰۤی
اَنۡ یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا
مَّحۡمُوۡدًا -- “boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau ke martabat yang sangat
terpuji.“
Sebagai
kemakbulan doa-doa dan
permohonan-permohonan beliau saw., Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini
diberi kabar gembira bahwa untuk
menggenapi nubuatan dalam kata-kata سُبۡحٰنَ الَّذِیۡۤ اَسۡرٰی
بِعَبۡدِہٖ لَیۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ اِلَی
الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِیۡ بٰرَکۡنَا حَوۡلَہٗ لِنُرِیَہٗ مِنۡ اٰیٰتِنَا -- “Maha Suci Dia
Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam hari dari Masjid Haram ke
Masjid Aqsa, supaya Kami memperlihatkan
kepadanya Tanda-tanda Kami ” (QS.17:2), beliau saw. akan dibawa ke Medinah. Untuk mendahului dan menyambut
penyempurnaan nubuatan ini beliau
diperintahkan mendoa supaya masuk
beliau saw. ke Medinah dan begitu
pula keberangkatan beliau saw. dari
kota Mekkah, di mana beliau saw. tinggal
pada saat itu, akan dianugerahi keberkatan
yang berlimpah-limpah.
Ayat وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ
الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ کَانَ زَہُوۡقًا -- Dan
katakanlah: ”Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,
sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” Inilah
salah satu mukjizat gaya bahasa
Al-Quran bahwa untuk ini mengemukakan salah satu contoh semacam
itu. Sesudah takluknya kota Mekkah, ketika Nabi Besar Muhammad saw. selagi membersihkan
Ka’bah dari berhala-berhala yang
telah mengotorinya, beliau saw. berulang-ulang mengucapkan ayat tersebut
sementara beliau saw. memukuli
berhala-berhala dengan tongkat (Bukhari).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar