Selasa, 09 Juni 2015

Hubungan Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas dengan Pengulangan Kisah Monumental "Adam, Malaikat dan Iblis" & Hubungan Al-Khannaas dengan Fitnah Dajjal


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 71

Hubungan  Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nās dengan Pengulangan Kisah Monumental “Adam, Malaikat dan Iblis”  & Hubungan Al-Khannās dengan Fitnah Dajjal


 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai   ayat:  وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ بِالۡغُدُوِّ  وَ الۡاٰصَالِ   --  Dan kepada Allah-lah bersujud siapa pun yang ada di seluruh langit dan bumi dengan rela  atau tidak rela  dan demikian juga bayangan-bayangan mereka pada setiap pagi dan petang hari”  (Ar-Rā’d [13]:16).
       Ayat ini mengandung satu kebenaran yang agung, yaitu bahwa segala sesuatu yang dijadikan (diciptakan) Allah Swt.   mau tidak mau harus tunduk kepada hukum-hukum alam yang diadakan (ditetapkan)  oleh-Nya. Lidah harus melaksanakan tugas mencicip dan telinga tidak berdaya selain mendengar.
       Tunduknya kepada hukum-hukum alam itu dapat disebut sebagai “dipaksakan” (karhan/karihan), tetapi manusia diberi juga kebebasan tertentu untuk berbuat, di mana ia dapat mempergunakan kemauannya dan pertimbangan akalnya. Tetapi bahkan dalam perbuatan-perbuatan   --  yang untuk melakukannya ia nampaknya dianugerahi kebebasan   --  ia sedikit-banyak harus tunduk kepada paksaan, dan ia harus menaati hukum-hukum  Allah Swt.   dalam berbuat apa pun, biar suka atau tidak.
      Contohnya, baik orang bertakwa kepada Allah Swt. mau pun orang kafir jika dengan sengaja menyantap  racun  maka pasti akan mengalami akibat buruk, bahkan mengalami kematian. Dengan demikian orang-orang kafir pun terpaksa harus menghindari makan/minum racun jika tidak ingin mengalami akibat buruk atau kematian.
  Kata-kata طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا -- “dengan senang atau tidak senang” dapat juga mengisyaratkan kepada dua golongan manusia, ialah, orang-orang beriman yang secara ikhlas tunduk kepada  Allah Swt., dan orang-orang kafir yang menaati hukum-hukum  Allah Swt.  dengan menggerutu (terpaksa).

Kesempurnaan Makrifat Ilahi Nabi Besar Muhammad Saw.

       Ayat selanjutnya mempertegas kenyataan  yang dikemukakan ayat sebelumnya mengenai Tuhan sembahan Yang Hakiki, yaitu Allah Swt., berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw., manusia (rasul Allah) yang paling sempurna makrifat Ilahi-nya:
 قُلۡ مَنۡ رَّبُّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ قُلِ اللّٰہُ ؕ قُلۡ  اَفَاتَّخَذۡتُمۡ  مِّنۡ  دُوۡنِہٖۤ  اَوۡلِیَآءَ  لَا یَمۡلِکُوۡنَ لِاَنۡفُسِہِمۡ نَفۡعًا وَّ لَا ضَرًّا ؕ قُلۡ ہَلۡ یَسۡتَوِی الۡاَعۡمٰی وَ الۡبَصِیۡرُ ۬ۙ اَمۡ ہَلۡ تَسۡتَوِی الظُّلُمٰتُ وَ النُّوۡرُ ۬ۚ اَمۡ  جَعَلُوۡا لِلّٰہِ  شُرَکَآءَ  خَلَقُوۡا کَخَلۡقِہٖ فَتَشَابَہَ الۡخَلۡقُ عَلَیۡہِمۡ ؕ قُلِ اللّٰہُ خَالِقُ کُلِّ شَیۡءٍ وَّ ہُوَ الۡوَاحِدُ الۡقَہَّارُ ﴿﴾
Katakanlah: “Siapakah Rabb (Tuhan) seluruh langit dan bumi?” Katakanlah: “Allah!” Katakanlah: “Apakah kamu mengambil selain Dia pelindung-pelindung   yang tidak memiliki  kekuasaan untuk kemanfaatan ataupun kemudaratan, meskipun bagi dirinya sendiri?” Katakanlah:  Apakah sama keadaan orang-orang buta dan    orang-orang yang melihat? Atau samakah gelap dan terang? Atau  apakah mereka itu menjadikan bagi Allah sekutu yang telah menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua jenis ciptaan itu nampak serupa saja bagi mereka?” Katakanlah: “Hanya Allah yang telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa, Maha Perkasa.” (Ar-Rā’d [13]:15-16).
        Sehubungan dengan Surah Al-Ikhlas [112]:1-5, Al-Quran memakai dua kata yang berlainan untuk menyatakan ke-Esa-an Allah Swt.: (1) Ahad dan (2) Wāhid. Di mana ahad menunjuk kepada ke-Esa-an Tuhan yang mutlak, tanpa pertalian dengan wujud lain, sedangkan   wāhid hanya berarti “yang pertama” atau “titik tolak”; dan menghendaki yang kedua dan yang ketiga sebagai lanjutannya.
        Sifat wahid (satu) memperlihatkan, bahwa Allah Swt.    itu “Sumber” sejati, tempat terbit segala penciptaan, dan segala sesuatu menunjuk kepada Allah Swt. sebagaimana seharusnya benda yang kedua atau ketiga menunjuk kepada yang pertama. Tetapi di mana Al-Quran menolak paham keputraan wujud-wujud yang dengan tidak sah diberikan kedudukan itu   -- seperti itikad sesat “Trinitas” --  maka dipakainya kata ahad yakni, Dia itu Esa dan senantiasa Esa serta Tunggal dan Yang tidak beranak, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ قُلۡ ہُوَ  اللّٰہُ  اَحَدٌ  ۚ﴿﴾ اَللّٰہُ  الصَّمَدُ ۚ﴿﴾  لَمۡ  یَلِدۡ ۬ۙ  وَ  لَمۡ  یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾  وَ  لَمۡ  یَکُنۡ  لَّہٗ   کُفُوًا  اَحَدٌ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Katakanlah: Dia-lah  Allah Yang Maha Esa.   Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya.   Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara  dengan-Nya.” (Al-Ikhlas [112]:1-5).

Hikmah Surah Al-Ikhlas:  Makna Al-Ahad  dan Al-Wahid

  Kata qul (katakan) dalam ayat   قُلۡ ہُوَ  اللّٰہُ  اَحَدٌ    --  “Katakanlah: Dia-lah  Allah Yang Maha Esa”   mengandung perintah kekal kepada orang-orang Islam untuk tetap menyatakan bahwa “Tuhan itu Maha Esa.”
  Kata Huwa (Dia) yang dipakai sebagai dhamir asy-sya’n (kata pengganti nama yang menunjukkan keadaan, Pent.) dan berarti  “Yang benar adalah ini,” dan menunjukkan bahwa kebenaran telah tertanam di dalam fitrat manusia adanya Tuhan dan Dia itu Esa dan Mandiri, firman-Nya:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil  kesaksian dari  bani Adam yakni   dari sulbi  keturun-an  mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri  sambil berfirman:  ”Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?” Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal  itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamat:  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.”  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ   --  Atau kamu mengatakan:  ”Se-sungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka.  اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ  -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah  dikerja-kan oleh orang-orang yang  berbuat batil itu?”  (Al-A’rāf [7]:173-174). Lihat pula QS.30:31-33.

Allah adalah Nama Wujud Tuhan yang Hakiki &  Makna Sifat Ash-Shamad

  Allah adalah nama khas, dipergunakan dalam Al-Quran untuk Dzat Yang Maha Kuasa. Dalam bahasa Arab kata itu sama sekali tidak dipakai untuk sesuatu benda atau wujud lain. Ini merupakan nama mutlak untuk Tuhan, bukan nama sifat dan bukan pula keterangan.  
    Ahad adalah sebutan yang dikenakan hanya kepada Tuhan dan berarti: Yang Tunggal, Yang Esa; Dia Yang semenjak azali dan selamanya Esa dan Tunggal; Yang tiada wujud lainnya sebagai mitra dalam ketuhanan-Nya dan tidak pula dalam wujud-Nya (Lexicon Lane).
   Sementara Ahad berarti ke-Esa-an Tuhan dalam Wujud-Nya – gagasan adanya wujud kedua tidak dapat diterima – maka Wahid berarti kemandirian Tuhan dalam Sifat-sifat-Nya. Dengan demikian ungkapan, Allāhu Wahidun akan berarti, bahwa Tuhan itu Wujud Tertinggi dan merupakan Cikal-bakal serta Sumber Yang dari-Nya telah lahir segala jenis makhIuk; dan Allāhu Ahadun berarti bahwa Allah itu Dzat Yang Esa dan Tunggal,  dalam arti  bahwa bila kita memikirkan Dia, hilanglah dari pikiran kita gagasan adanya suatu wujud atau benda lain selain Dia, Dia itu Esa dan Tunggal dalam segala arti. Dia bukan mata rantai pertama suatu rangkaian mata rantai, dan bukan pula mata rantai terakhir. Tidak ada sesuatu seperti Dia dan Dia pun tidak seperti benda apa pun (QS.42:12). Inilah hakikat Allah menurut paham yang dikemukakan oleh Al-Quran.
   Shamad  dalam ayat اَللّٰہُ  الصَّمَدُ -- “Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya,” berarti: seorang yang menjadi tumpuan memenuhi segala keperluan; atau yang kepadanya ditujukan ketaatan; yang tanpa dia, tidak ada perkara dapat diselesaikan; orang atau tempat yang tiada seorang atau sesuatu pun ada di atasnya.
   Karena Ash-Shamad  merupakan salah satu sifat Tuhan, berarti:  Wujud tertinggi, Yang menjadi tempat memenuhi segala keperluan; Yang tidak bergantung pada apapun dan Yang kepada-Nya segala sesuatu mempunyai ketergantungan dalam kebutuhan dan keperluannya; Yang akan terus berwujud untuk selama-lamanya meski seluruh makhluk sudah tidak berwujud lagi; Yang tiada wujud lain di atas Dia (Lexicon Lane).
    Dalam ayat yang mendahuluinya telah dinyatakan bahwa Tuhan itu Esa (Ahad), Tunggal, dan Mandiri. Ayat sekarang ini (Ash-Shamad) mendukung pernyataan itu. Ayat ini mengatakan bahwa semua benda dan wujud mempunyai ketergantungan dari Tuhan, tetapi Dia Sendiri Mandiri dan segala sesuatu bergantung pada-Nya (QS.14:35; QS.16:19; QS.55:30).
   Semua memerlukan Dia, tetapi Dia tidak memerlukan siapapun. Dia tidak memerlukan wujud atau zat apapun guna menciptakan alam raya; pada hakikatnya, tiada sesuatu di alam raya ini sempurna dalam dirinya sendiri (berdiri sendiri); tiap sesuatu bergantung pada sesuatu yang lain untuk kehidupannya. Tuhan-lah satu-satunya  As-Shamad   -- Wujud  Yang tidak bergantung pada wujud mana pun dan benda apapun; Dia jauh dari jangkauan daya khayal dan terkaan. Sifat-sifat-Nya tidak mengenal batas.
  Sifat Ilahi Ash-Shamad (Mandiri dan tempat semua makhluk memohon) telah disebut dalam ayat yang mendahuluinya untuk mengukuhkan peryataan, bahwa Allah itu Ahad (Mahaesa, Tunggal dan tiada tara bandingan-Nya) dan kini, dalam ayat  لَمۡ  یَلِدۡ ۬ۙ  وَ  لَمۡ  یُوۡلَدۡ     Sifat “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan” disebut guna menunjukkan bahwa Dia itu Ash-Shamad (Dia berada di atas segala keperluan), sebab anggapan adanya keperluan pada-Nya itu timbul dari pikiran bahwa Dia memerlukan bantuan dari seorang orang lain, yang tanpa orang itu Dia tidak dapat menjalankan pekerjaan-Nya, dan yang harus melanjutkan pekerjaan-Nya sesudah Dia mati    -- na’udzubilLāhi min dzālik    --  sebab semua wujud yang menjadi pengganti atau yang digantikan wujud lain pasti  tunduk kepada hukum kematian. Allah Swt. tidak menggantikan siapapun dan tidak akan diganti oleh siapapun. Dia sempurna dalam semua Sifat-Nya dan Dia itu azali, abadi, dan mutlak (QS.57:4).

Tidak Ada yang Menyerupai Tuhan Yang Maha Esa

    Ayat وَ  لَمۡ  یَکُنۡ  لَّہٗ   کُفُوًا  اَحَدٌ  -- “dan tidak ada sesuatu pun yang setara  dengan-Nya”    menghilangkan suatu keraguan yang mungkin timbul dan boleh jadi ditimbulkan karena ayat yang mendahuluinya. Taruhlah bahwa Allah itu Maha Esa, Tunggal, dan Mulia lagi Mandiri tanpa bergantung pada wujud lain (Ash-Shamad), dan taruhIah bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, tetapi boleh jadi ada wujud lain seperti Dia yang mungkin memiliki semua sifat yang dimiliki oleh-Nya.
      Ayat ini menghapus kesalah-pahaman itu. Ayat ini mengatakan bahwa tidak ada wujud lain seperti Allah Swt.. Akal manusia pun menuntut bahwa harus ada hanya satu Pencipta dan Pengawas seluruh alam raya. Tata kerja sempurna yang melingkupi dan meliputi alam raya pun menuntun kepada kesimpulan yang tidak dapat dielakkan, bahwa satu hukum yang seragam harus tegak dan kesatuan serta keseragaman hukum dan polanya membuktikan serta menyatakan ke-Esa-an Sang Pencipta, sebab jika ada tuhan pencipta selain Allah Swt., maka tatanan alam semesta ini akan kacau-balau, firman-Nya:
لَوۡ  کَانَ فِیۡہِمَاۤ  اٰلِہَۃٌ  اِلَّا اللّٰہُ  لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبۡحٰنَ اللّٰہِ  رَبِّ الۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُوۡنَ ﴿ ﴾
Seandainya di dalam keduanya yakni langit dan bumi   ada tuhan-tuhan selain Allah pasti binasalah kedua-duanya,  maka Maha Suci Allah  Tuhan ‘Arasy itu, jauh di atas segala yang mereka sifatkan   (Al-Anbiya [21]:23).
       Ayat ini merupakan dalil yang jitu dan pasti untuk menolak kemusyrikan. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun tidak dapat menolak, bahwa suatu tertib yang sempurna melingkupi dan meliputi seluruh alam raya. Tertib ini menunjukkan bahwa ada hukum yang seragam mengaturnya, dan keseragaman hukum-hukum membuktikan ke-Esa-an Pencipta dan Pengatur alam raya.
       Seandainya ada Tuhan lebih dari satu tentu lebih dari satu hukum akan mengatur alam — sebab adalah perlu bagi suatu wujud tuhan  lain untuk menciptakan alam-semesta dengan peraturan-peraturannya yang khusus pula — dan dengan demikian sebagai akibatnya kekalutan dan kekacauan niscaya akan terjadi yang tidak dapat dielakkan, serta seluruh alam akan menjadi hancur berantakan. Karena itu sungguh janggal  ajaran “Trinitas” yang mengatakan bahwa tiga tuhan yang sama-sama sempurna dalam segala segi, bersama-sama merupakan pencipta dan pengawas bagi alam raya.

Allah Swt. Menyebut Fitnah Dajjal   “Bisikan-bisikan Khannās

  Dengan demikian Surah Al-Ikhlas  mencabut akar-akar semua itikad kemusyrikan yang terdapat dalam suatu bentuk atau lain pada agama lain – kepercayaan kepada Tuhan, dua atau tiga atau lebih banyak, dan bahwa ruh dan benda itu azali seperti Tuhan, sebagaimana yang dipercayai kalangan agama Hindu.
  Inilah penjelasan definisi agung mengenai Dzat Yang Maha Tinggi seperti dijelaskan dalam Al-Quran, dan tidak ada definisi dalam Kitab-kitab Suci lain yang dapat sekelumit saja menyamai keindahan, keluhuran, dan keagungan definisi yang diberikan oleh Al-Quran mengenai Tuhan yang Hakiki, yakni Allah Swt..
 Kembali kepada Surah Al-Balad mengenai tugas utama para Rasul Allah – terutama Nabi Besar Muhammad saw. –  yakni memurnikan dan menegakkan kembali Tauhid Ilahi,  selanjutnya Allah Swt. berfirman:      وَ مَاۤ  اُمِرُوۡۤا  اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ  الدِّیۡنَ  --   Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan  kepada-Nya  حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ  وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ --   dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ  --  dan itulah agama yang lurus,”  dīn  dalam ayat tersebut berarti: ketaatan; penguasaan; perintah; rencana; ketakwaan; kebiasaan atau adat; perilaku atau tindak-tanduk (Lexicon Lane).
  Demikianlah penjelasan mengenai  hubungan Surah Al-Ikhlas  dengan misi utama kenabian  -- terutama Nabi Besar Muhammad saw.   – dalam hal penegakkan dan  pemurnian kembali  Tauhid Ilahi,    yang senantiasa “dikotori” lagi oleh  berbagai  jenis kemusyrikan yang semakin halus, sejalan dengan semakin jauhnya umat beragama dari  masa kenabian yang penuh berkah (QS.57:17-18)    -- terutama di Akhir Zaman ini -- dengan tersebarnya fitnah Dajjal  yang diisyaratkan dalam Surah An-Nās dengan sebutan  khannās,   yang menimbulkan berbagai bentuk kewaswasan di kalangan umat manusia termasuk umat beragama, baik berkenaan dengan Tauhid Ilahi, kenabian, kitab suci, akhirat dan lain-lain, firman-Nya:  
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ قُلۡ  اَعُوۡذُ  بِرَبِّ النَّاسِ ۙ﴿﴾  مَلِکِ النَّاسِ ۙ﴿﴾  اِلٰہِ  النَّاسِ ۙ﴿﴾  مِنۡ  شَرِّ الۡوَسۡوَاسِ ۬ۙ  الۡخَنَّاسِ ۪ۙ﴿﴾  الَّذِیۡ یُوَسۡوِسُ فِیۡ صُدُوۡرِ النَّاسِ ۙ﴿﴾  مِنَ الۡجِنَّۃِ وَ النَّاسِ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (Tuhan) manusia,   Raja manusia,    Sembahan manusia, dari keburukan bisikan-bisikan syaitan yang tersembunyi  yang membisikkan ke dalam hati manusia,    dari jin dan manusia.” (An-Nās [114]:1-7). 

Dua Macam Hadangan Syaitan:  Dengan    Kekerasan dan Dengan Tipu-daya

  Hubungan kedua Surah ini (Al-Falaq dan An-Nūs) dengan Surah Al-Ikhlas – yang menerangkan Tauhid  Ilahi   -- terletak pada kenyataan, bahwa dalam  Surah Al-Ikhlas orang-orang beriman diperintahkan agar menyatakan kepada dunia  bahwa Allah Swt. itu Maha Esa dan Tiada Bertara, kedudukan-Nya jauh di atas segala sesuatu dan jauh di atas siapapun yang dijadikan sekutu dalam ketuhanan-Nya.
Dalam kedua Surah ini dikatakan kepada orang-orang beriman bahwa dalam menjalankan tugas suci mereka, hendaknya jangan takut kepada si zalim, diktator, atau penguasa, dan harus berpegang kepada keyakinan yang kuat ini, bahwa Tuhan itu Penyelenggara dan Pengawas Tunggal terhadap seluruh alam raya ini, dan Dia mempunyai kekuasaan melindungi hamba-hamba-Nya dari kerugian atau kemudaratan apapun yang mungkin didatangkan kepada mereka oleh kekuatan-kekuatan kegelapan.
  Dalam Surah An-Nās,  tiga sifat Ilahi – Rabb (Tuhan manusia), Malik (Raja manusia), dan Ilah (Sembahan manusia), telah diseru sebagai penanding satu sifat Allah Swt. dalam Surah Al-Falaq yakni Rabb al-Falaq (Tuhan Yang Memiliki fajar),   sebab sifat yang satu ini meliputi ketiga sifat tersebut di atas.
  Sementara satu sifat Ilahi, “Tuhan Yang Memiliki fajar” (Rabb-al-Falaq) telah diseru menandingi empat macam kejahatan dalam Surah sebelumnya, maka dalam Surah ini tiga sifat Ilahi telah diseru menandingi satu kejahatan saja, yaitu  bisikan Si Jahat yakni khanas. Hal itu disebabkan ajakan-ajakan atau bisikan-bisikan syaitan meliputi segala kejahatan.
     Ketiga-tiga sifat Ilahi --  Rabb, Mālik, Ilāh   -- itu mempunyai perhubungan yang halus sekali (latif) dengan keadaan tabiat alami, akhlak, dan ruhani manusia. Perkembangan jasmani dan akhlak manusia terjadi di bawah sifat Rabb; pikiran, perkataan, serta perbuatan disiksa atau diganjar oleh sifat Mālik; dan sifat Ilāh berarti  Tuhan adalah obyek cinta dan pujaannya; Dia adalah tujuan dan cita-citanya.
     Sebutan ketiga Sifat Ilahi dalam Surah An-Nās  ini mengandung arti, bahwa semua dosa bersumber pada tiga sebab, yaitu   jika seseorang memandang orang lain sebagai majikannya, rajanya, atau tuhan-nya, yakni  bila ia menganggap dia penopang dan pendukung utama hidupnya, atau menghambakan diri kepada kekuasaan yang bukan haknya, atau menjadikan dia tujuan cinta dan pujaannya.

Al-khannās Sebutan Lain Fitnah Dajjal, Si Pendusta yang Matanya Buta Sebelah

 Orang beriman  diperintahkan di sini agar hanya menghadapkan wajah kepada Tuhan   (Allah Swt.) semata-mata sebagai Penjamin (Rabb) hidupnya yang hakiki, agar hanya kepada-Nya belaka memperlihatkan ketaatan sejati dan tanpa bersyarat dan agar hanya Dia-lah Yang dijadikan tujuan sebenarnya bagi cinta dan pemujaannya.
  Atau, ia diperintahkan dalam ayat ini supaya senantiasa memohon perlindungan terhadap tindak perampasan hak oleh kaum kapitalis, penguasa-penguasa zalim dan golongan pemimpin agama yang licik, yang sambil mengambil keuntungan secara tidak wajar dari rakyat jelata yang polos dan berpikiran sederhana dengan memeras mereka tanpa belas kasihan.
  Si Jahat al-khannās    -- yakni Dajjal  dengan fitnah-fitnahnya yang berbahaya    -- membisikkan pikiran-pikiran jahat ke dalam hati golongan jin (orang-orang besar) maupun golongan nās (orang-orang awam), tanpa seorang pun terkecuali. Atau, ayat ini dapat juga berarti bahwa si pembisik pikiran jahat itu terdapat di antara golongan jin (orang-orang besar) dan orang-orang awam, sebagaimana  firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّکُمۡ  وَ اخۡشَوۡا یَوۡمًا  لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ  ہُوَ  جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا ؕ اِنَّ وَعۡدَ اللّٰہِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَا ٝ وَ لَا یَغُرَّنَّکُمۡ  بِاللّٰہِ الۡغَرُوۡرُ ﴿﴾  اِنَّ اللّٰہَ عِنۡدَہٗ  عِلۡمُ  السَّاعَۃِ ۚ وَ  یُنَزِّلُ الۡغَیۡثَ ۚ وَ یَعۡلَمُ مَا فِی الۡاَرۡحَامِ ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌ مَّاذَا تَکۡسِبُ غَدًا ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌۢ بِاَیِّ  اَرۡضٍ تَمُوۡتُ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿٪﴾
Hai  manusia, bertakwalah kepada  Rabb (Tuhan) kamu وَ اخۡشَوۡا یَوۡمًا  لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ  ہُوَ  جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا   -- dan takutlah akan  Hari  ketika seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan tidak pula seorang anak dapat menolong ayahnya sedikitpun.  اِنَّ وَعۡدَ اللّٰہِ حَقٌّ  -- Sesungguhnya janji Allah itu benar,  فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَا  -- maka janganlah sampai kehidupan dunia memperdayakan kamu, وَ لَا یَغُرَّنَّکُمۡ  بِاللّٰہِ الۡغَرُوۡرُ   -- dan jangan pula si penipu itu  menipu kamu mengenai Allah.   (Luqman [31]:34).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  7  Juni    2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar