بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 71
Hubungan
Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nās dengan Pengulangan
Kisah Monumental “Adam, Malaikat dan Iblis” & Hubungan Al-Khannās dengan Fitnah Dajjal
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai ayat: وَ لِلّٰہِ یَسۡجُدُ مَنۡ فِی السَّمٰوٰتِ
وَ الۡاَرۡضِ طَوۡعًا وَّ کَرۡہًا وَّ ظِلٰلُہُمۡ بِالۡغُدُوِّ وَ الۡاٰصَالِ -- Dan kepada
Allah-lah bersujud siapa pun yang ada di seluruh langit dan bumi dengan rela
atau tidak rela dan demikian juga bayangan-bayangan mereka pada setiap pagi dan petang hari” (Ar-Rā’d
[13]:16).
Ayat ini mengandung satu kebenaran
yang agung, yaitu bahwa segala
sesuatu yang dijadikan (diciptakan) Allah
Swt. mau tidak mau harus tunduk
kepada hukum-hukum alam yang diadakan
(ditetapkan) oleh-Nya. Lidah harus melaksanakan tugas mencicip dan telinga tidak berdaya selain mendengar.
Tunduknya kepada hukum-hukum alam
itu dapat disebut sebagai “dipaksakan”
(karhan/karihan), tetapi manusia diberi juga kebebasan tertentu untuk berbuat,
di mana ia dapat mempergunakan kemauannya
dan pertimbangan akalnya. Tetapi
bahkan dalam perbuatan-perbuatan -- yang untuk melakukannya ia nampaknya
dianugerahi kebebasan -- ia
sedikit-banyak harus tunduk kepada paksaan, dan ia harus menaati hukum-hukum Allah Swt. dalam berbuat apa pun, biar suka atau
tidak.
Contohnya, baik orang bertakwa kepada Allah Swt. mau pun orang kafir jika dengan sengaja
menyantap racun maka pasti akan mengalami akibat buruk, bahkan mengalami kematian. Dengan demikian orang-orang kafir pun terpaksa harus menghindari makan/minum racun jika tidak ingin mengalami akibat buruk atau kematian.
Kata-kata طَوۡعًا وَّ
کَرۡہًا -- “dengan senang atau tidak senang” dapat juga
mengisyaratkan kepada dua golongan manusia, ialah, orang-orang beriman yang secara ikhlas
tunduk kepada Allah Swt., dan
orang-orang kafir yang menaati hukum-hukum Allah Swt. dengan menggerutu (terpaksa).
Kesempurnaan Makrifat Ilahi
Nabi Besar Muhammad Saw.
Ayat selanjutnya mempertegas
kenyataan yang dikemukakan ayat
sebelumnya mengenai Tuhan sembahan
Yang Hakiki, yaitu Allah Swt.,
berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw., manusia (rasul Allah) yang
paling sempurna makrifat Ilahi-nya:
قُلۡ مَنۡ رَّبُّ
السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ قُلِ اللّٰہُ ؕ قُلۡ
اَفَاتَّخَذۡتُمۡ مِّنۡ دُوۡنِہٖۤ
اَوۡلِیَآءَ لَا یَمۡلِکُوۡنَ
لِاَنۡفُسِہِمۡ نَفۡعًا وَّ لَا ضَرًّا ؕ قُلۡ ہَلۡ یَسۡتَوِی الۡاَعۡمٰی وَ
الۡبَصِیۡرُ ۬ۙ اَمۡ ہَلۡ تَسۡتَوِی الظُّلُمٰتُ وَ النُّوۡرُ ۬ۚ اَمۡ جَعَلُوۡا لِلّٰہِ شُرَکَآءَ
خَلَقُوۡا کَخَلۡقِہٖ فَتَشَابَہَ الۡخَلۡقُ عَلَیۡہِمۡ ؕ قُلِ اللّٰہُ
خَالِقُ کُلِّ شَیۡءٍ وَّ ہُوَ الۡوَاحِدُ الۡقَہَّارُ ﴿﴾
Katakanlah:
“Siapakah Rabb (Tuhan) seluruh langit dan bumi?” Katakanlah: “Allah!”
Katakanlah: “Apakah kamu mengambil
selain Dia pelindung-pelindung yang tidak memiliki kekuasaan
untuk kemanfaatan ataupun kemudaratan, meskipun bagi dirinya sendiri?” Katakanlah: ”Apakah sama keadaan
orang-orang buta dan orang-orang yang melihat? Atau samakah gelap dan terang? Atau apakah mereka itu menjadikan bagi Allah sekutu
yang telah menciptakan seperti
ciptaan-Nya sehingga kedua
jenis ciptaan itu nampak serupa saja
bagi mereka?” Katakanlah: “Hanya Allah yang telah menciptakan
segala sesuatu, dan Dia-lah Yang
Maha Esa, Maha Perkasa.”
(Ar-Rā’d
[13]:15-16).
Sehubungan dengan Surah Al-Ikhlas [112]:1-5, Al-Quran memakai dua kata yang berlainan untuk menyatakan ke-Esa-an Allah Swt.: (1) Ahad dan (2) Wāhid. Di mana ahad
menunjuk kepada ke-Esa-an Tuhan yang mutlak, tanpa pertalian
dengan wujud lain, sedangkan wāhid hanya berarti “yang pertama” atau
“titik tolak”; dan menghendaki yang kedua dan yang ketiga sebagai lanjutannya.
Sifat wahid (satu) memperlihatkan, bahwa Allah Swt. itu
“Sumber” sejati, tempat terbit segala penciptaan, dan segala sesuatu menunjuk kepada Allah Swt. sebagaimana seharusnya benda yang kedua atau ketiga menunjuk kepada yang pertama. Tetapi di mana Al-Quran menolak
paham keputraan wujud-wujud yang
dengan tidak sah diberikan kedudukan
itu -- seperti itikad sesat “Trinitas” -- maka dipakainya kata ahad yakni, Dia
itu Esa dan senantiasa Esa serta Tunggal dan Yang tidak beranak, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ اَحَدٌ ۚ﴿﴾ اَللّٰہُ الصَّمَدُ ۚ﴿﴾ لَمۡ یَلِدۡ
۬ۙ وَ
لَمۡ یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾ وَ لَمۡ یَکُنۡ
لَّہٗ کُفُوًا اَحَدٌ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama
Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Dia-lah Allah
Yang Maha Esa. Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya.
Dia
tidak beranak dan tidak diperanakkan,
dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan-Nya.” (Al-Ikhlas [112]:1-5).
Hikmah Surah Al-Ikhlas: Makna Al-Ahad
dan Al-Wahid
Kata qul
(katakan) dalam ayat قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ اَحَدٌ -- “Katakanlah: “Dia-lah Allah
Yang Maha Esa” mengandung perintah
kekal kepada orang-orang Islam
untuk tetap menyatakan bahwa “Tuhan itu Maha Esa.”
Kata Huwa
(Dia) yang dipakai sebagai dhamir asy-sya’n (kata pengganti nama
yang menunjukkan keadaan, Pent.) dan berarti
“Yang benar adalah ini,” dan menunjukkan bahwa kebenaran telah tertanam
di dalam fitrat manusia adanya Tuhan dan Dia itu Esa dan Mandiri,
firman-Nya:
وَ اِذۡ
اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ
اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ
الۡقِیٰمَۃِ اِنَّا کُنَّا
عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا
اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil
kesaksian dari bani
Adam yakni dari sulbi keturun-an mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil berfirman: ”Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?”
Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi
saksi.” Hal itu supaya kamu
tidak berkata pada Hari Kiamat: اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ -- “Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari
hal ini.” اَوۡ
تَقُوۡلُوۡۤا اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ -- Atau kamu mengatakan: ”Se-sungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat
syirik, sedangkan kami hanyalah
keturunan sesudah mereka. اَفَتُہۡلِکُنَا
بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerja-kan oleh
orang-orang yang berbuat batil itu?” (Al-A’rāf [7]:173-174). Lihat pula
QS.30:31-33.
Allah adalah Nama Wujud Tuhan yang Hakiki &
Makna Sifat Ash-Shamad
Allah
adalah nama khas, dipergunakan dalam Al-Quran untuk Dzat Yang Maha Kuasa. Dalam bahasa Arab kata itu sama sekali tidak
dipakai untuk sesuatu benda atau wujud lain. Ini merupakan nama mutlak untuk Tuhan,
bukan nama sifat dan bukan pula
keterangan.
Ahad
adalah sebutan yang dikenakan hanya kepada Tuhan dan berarti: Yang Tunggal, Yang Esa; Dia Yang semenjak azali
dan selamanya Esa dan Tunggal; Yang tiada wujud lainnya sebagai mitra dalam
ketuhanan-Nya dan tidak pula dalam wujud-Nya (Lexicon Lane).
Sementara Ahad berarti ke-Esa-an Tuhan dalam Wujud-Nya – gagasan adanya wujud kedua
tidak dapat diterima – maka Wahid berarti kemandirian Tuhan dalam Sifat-sifat-Nya.
Dengan demikian ungkapan, Allāhu Wahidun akan berarti, bahwa Tuhan itu Wujud Tertinggi dan merupakan Cikal-bakal
serta Sumber Yang dari-Nya telah lahir segala jenis makhIuk; dan Allāhu Ahadun berarti bahwa Allah itu Dzat Yang Esa dan Tunggal, dalam arti bahwa bila kita memikirkan Dia, hilanglah dari
pikiran kita gagasan adanya suatu wujud atau benda lain selain Dia, Dia itu Esa
dan Tunggal dalam segala arti. Dia
bukan mata rantai pertama suatu
rangkaian mata rantai, dan bukan pula mata
rantai terakhir. Tidak ada sesuatu seperti
Dia dan Dia pun tidak seperti
benda apa pun (QS.42:12). Inilah hakikat Allah
menurut paham yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Shamad
dalam ayat اَللّٰہُ الصَّمَدُ -- “Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya,” berarti: seorang yang menjadi tumpuan memenuhi segala keperluan; atau
yang kepadanya ditujukan ketaatan; yang tanpa dia, tidak ada perkara dapat
diselesaikan; orang atau tempat yang tiada seorang atau sesuatu pun ada di
atasnya.
Karena Ash-Shamad
merupakan salah satu sifat Tuhan, berarti: Wujud tertinggi, Yang menjadi tempat memenuhi
segala keperluan; Yang tidak bergantung pada apapun dan Yang kepada-Nya segala
sesuatu mempunyai ketergantungan dalam kebutuhan dan keperluannya; Yang akan
terus berwujud untuk selama-lamanya meski seluruh makhluk sudah tidak berwujud
lagi; Yang tiada wujud lain di atas Dia (Lexicon
Lane).
Dalam ayat yang mendahuluinya telah dinyatakan
bahwa Tuhan itu Esa (Ahad), Tunggal, dan Mandiri. Ayat sekarang ini (Ash-Shamad) mendukung pernyataan
itu. Ayat ini mengatakan bahwa semua benda dan wujud mempunyai ketergantungan dari Tuhan, tetapi Dia Sendiri Mandiri
dan segala sesuatu bergantung
pada-Nya (QS.14:35; QS.16:19; QS.55:30).
Semua memerlukan
Dia, tetapi Dia tidak memerlukan
siapapun. Dia tidak memerlukan wujud
atau zat apapun guna menciptakan alam
raya; pada hakikatnya, tiada sesuatu di alam raya ini sempurna dalam dirinya
sendiri (berdiri sendiri); tiap sesuatu bergantung pada sesuatu yang lain untuk
kehidupannya. Tuhan-lah satu-satunya As-Shamad -- Wujud
Yang tidak bergantung pada
wujud mana pun dan benda apapun; Dia jauh dari jangkauan daya khayal dan terkaan. Sifat-sifat-Nya tidak mengenal batas.
Sifat
Ilahi Ash-Shamad (Mandiri dan tempat semua makhluk memohon) telah
disebut dalam ayat yang mendahuluinya untuk mengukuhkan peryataan, bahwa Allah itu Ahad (Mahaesa, Tunggal
dan tiada tara bandingan-Nya) dan kini, dalam ayat لَمۡ یَلِدۡ ۬ۙ
وَ لَمۡ یُوۡلَدۡ Sifat
“Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan” disebut guna menunjukkan
bahwa Dia itu Ash-Shamad (Dia berada di atas segala keperluan), sebab
anggapan adanya keperluan pada-Nya
itu timbul dari pikiran bahwa Dia memerlukan bantuan dari seorang
orang lain, yang tanpa orang itu Dia tidak dapat menjalankan pekerjaan-Nya, dan
yang harus melanjutkan pekerjaan-Nya sesudah Dia mati -- na’udzubilLāhi
min dzālik -- sebab semua wujud yang menjadi pengganti
atau yang digantikan wujud lain pasti
tunduk
kepada hukum kematian. Allah Swt. tidak
menggantikan siapapun dan tidak akan diganti oleh siapapun. Dia sempurna dalam semua Sifat-Nya dan Dia itu azali, abadi, dan mutlak
(QS.57:4).
Tidak Ada yang Menyerupai Tuhan Yang Maha Esa
Ayat وَ لَمۡ یَکُنۡ
لَّہٗ کُفُوًا اَحَدٌ -- “dan tidak
ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya” menghilangkan suatu keraguan yang mungkin timbul dan boleh jadi ditimbulkan karena ayat
yang mendahuluinya. Taruhlah bahwa Allah itu Maha Esa, Tunggal, dan Mulia lagi Mandiri tanpa bergantung pada wujud lain (Ash-Shamad), dan taruhIah bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, tetapi boleh jadi ada wujud lain seperti Dia yang mungkin memiliki
semua sifat yang dimiliki oleh-Nya.
Ayat ini menghapus kesalah-pahaman itu. Ayat ini mengatakan bahwa tidak ada wujud lain seperti
Allah Swt.. Akal manusia pun menuntut bahwa harus ada hanya satu Pencipta dan Pengawas seluruh alam raya. Tata kerja sempurna yang melingkupi dan
meliputi alam raya pun menuntun kepada kesimpulan
yang tidak dapat dielakkan, bahwa satu
hukum yang seragam harus tegak
dan kesatuan serta keseragaman hukum dan polanya membuktikan serta menyatakan ke-Esa-an Sang Pencipta, sebab jika ada tuhan pencipta selain Allah Swt., maka tatanan alam semesta ini akan kacau-balau,
firman-Nya:
لَوۡ کَانَ فِیۡہِمَاۤ اٰلِہَۃٌ
اِلَّا اللّٰہُ لَفَسَدَتَا ۚ
فَسُبۡحٰنَ اللّٰہِ رَبِّ الۡعَرۡشِ
عَمَّا یَصِفُوۡنَ ﴿ ﴾
Seandainya di dalam keduanya yakni langit
dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah pasti binasalah
kedua-duanya, maka Maha Suci Allah Tuhan ‘Arasy itu, jauh di atas segala yang mereka sifatkan (Al-Anbiya [21]:23).
Ayat
ini merupakan dalil yang jitu dan pasti untuk menolak kemusyrikan. Bahkan mereka yang tidak
percaya kepada Tuhan pun tidak dapat menolak, bahwa suatu tertib yang sempurna melingkupi dan
meliputi seluruh alam raya. Tertib
ini menunjukkan bahwa ada hukum yang
seragam mengaturnya, dan keseragaman
hukum-hukum membuktikan ke-Esa-an Pencipta dan Pengatur
alam raya.
Seandainya ada Tuhan lebih
dari satu tentu lebih dari satu hukum
akan mengatur alam — sebab adalah perlu bagi suatu wujud tuhan lain untuk menciptakan
alam-semesta dengan
peraturan-peraturannya yang khusus pula — dan dengan demikian sebagai akibatnya
kekalutan dan kekacauan niscaya akan terjadi yang tidak dapat dielakkan, serta seluruh alam akan menjadi hancur berantakan. Karena itu sungguh
janggal ajaran “Trinitas” yang mengatakan bahwa tiga
tuhan yang sama-sama sempurna
dalam segala segi, bersama-sama
merupakan pencipta dan pengawas bagi alam raya.
Allah Swt. Menyebut Fitnah Dajjal “Bisikan-bisikan Khannās”
Dengan demikian Surah Al-Ikhlas mencabut akar-akar
semua itikad kemusyrikan yang
terdapat dalam suatu bentuk atau lain pada agama
lain – kepercayaan kepada Tuhan, dua
atau tiga atau lebih banyak, dan bahwa ruh
dan benda itu azali seperti Tuhan, sebagaimana yang dipercayai
kalangan agama Hindu.
Inilah penjelasan definisi agung mengenai Dzat
Yang Maha Tinggi seperti dijelaskan dalam Al-Quran, dan tidak ada definisi dalam Kitab-kitab Suci lain yang dapat sekelumit saja menyamai keindahan,
keluhuran, dan keagungan definisi
yang diberikan oleh Al-Quran mengenai Tuhan
yang Hakiki, yakni Allah Swt..
Kembali kepada Surah Al-Balad mengenai tugas utama para Rasul Allah – terutama Nabi
Besar Muhammad saw. – yakni memurnikan dan menegakkan kembali Tauhid
Ilahi, selanjutnya Allah Swt.
berfirman: وَ مَاۤ
اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِیَعۡبُدُوا
اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ -- Padahal mereka
tidak diperintahkan melainkan supaya
beribadah kepada Allah dengan tulus
ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya
حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ
وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ -- dan dengan lurus, serta mendirikan
shalat dan membayar zakat, وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ
الۡقَیِّمَۃِ
-- dan itulah agama yang lurus,” dīn dalam ayat tersebut berarti: ketaatan;
penguasaan; perintah; rencana; ketakwaan; kebiasaan atau adat; perilaku atau
tindak-tanduk (Lexicon Lane).
Demikianlah penjelasan
mengenai hubungan Surah Al-Ikhlas dengan misi utama kenabian -- terutama Nabi
Besar Muhammad saw. – dalam hal penegakkan dan pemurnian
kembali Tauhid Ilahi, yang senantiasa “dikotori” lagi oleh
berbagai jenis kemusyrikan yang semakin halus, sejalan
dengan semakin jauhnya umat beragama dari
masa kenabian yang penuh
berkah (QS.57:17-18) -- terutama di Akhir Zaman ini -- dengan tersebarnya fitnah Dajjal yang diisyaratkan dalam Surah An-Nās dengan sebutan khannās,
yang menimbulkan berbagai bentuk kewaswasan di kalangan umat manusia termasuk umat beragama, baik berkenaan dengan Tauhid Ilahi, kenabian, kitab suci, akhirat dan lain-lain, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾
قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ النَّاسِ ۙ﴿﴾ مَلِکِ النَّاسِ ۙ﴿﴾ اِلٰہِ
النَّاسِ ۙ﴿﴾ مِنۡ شَرِّ الۡوَسۡوَاسِ ۬ۙ الۡخَنَّاسِ ۪ۙ﴿﴾ الَّذِیۡ یُوَسۡوِسُ فِیۡ صُدُوۡرِ النَّاسِ ۙ﴿﴾ مِنَ الۡجِنَّۃِ وَ النَّاسِ ٪﴿﴾
Aku baca
dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (Tuhan) manusia, Raja
manusia, Sembahan
manusia, dari keburukan
bisikan-bisikan syaitan yang tersembunyi yang membisikkan
ke dalam hati manusia, dari jin
dan manusia.” (An-Nās
[114]:1-7).
Dua Macam Hadangan
Syaitan: Dengan Kekerasan
dan Dengan Tipu-daya
Hubungan kedua Surah ini (Al-Falaq dan An-Nūs) dengan Surah Al-Ikhlas
– yang menerangkan Tauhid Ilahi -- terletak pada kenyataan, bahwa dalam Surah Al-Ikhlas
orang-orang beriman diperintahkan
agar menyatakan kepada dunia bahwa Allah Swt. itu Maha Esa dan Tiada Bertara,
kedudukan-Nya jauh di atas segala sesuatu dan jauh di atas siapapun yang dijadikan sekutu dalam ketuhanan-Nya.
Dalam kedua Surah ini dikatakan kepada orang-orang beriman bahwa dalam menjalankan tugas suci mereka, hendaknya jangan
takut kepada si zalim, diktator, atau penguasa, dan harus berpegang kepada keyakinan yang kuat ini, bahwa Tuhan itu Penyelenggara dan Pengawas
Tunggal terhadap seluruh alam raya
ini, dan Dia mempunyai kekuasaan melindungi
hamba-hamba-Nya dari kerugian
atau kemudaratan apapun yang mungkin
didatangkan kepada mereka oleh kekuatan-kekuatan
kegelapan.
Dalam
Surah An-Nās, tiga sifat Ilahi – Rabb (Tuhan
manusia), Malik (Raja manusia), dan Ilah (Sembahan manusia),
telah diseru sebagai penanding satu sifat Allah Swt. dalam Surah Al-Falaq yakni Rabb al-Falaq (Tuhan
Yang Memiliki fajar), sebab sifat
yang satu ini meliputi ketiga sifat
tersebut di atas.
Sementara satu sifat Ilahi, “Tuhan Yang Memiliki fajar” (Rabb-al-Falaq)
telah diseru menandingi empat macam
kejahatan dalam Surah sebelumnya, maka dalam Surah ini tiga sifat Ilahi telah diseru menandingi satu kejahatan saja, yaitu bisikan Si Jahat yakni khanas. Hal itu disebabkan ajakan-ajakan atau bisikan-bisikan syaitan meliputi segala kejahatan.
Ketiga-tiga sifat Ilahi -- Rabb, Mālik, Ilāh -- itu mempunyai perhubungan yang halus
sekali (latif) dengan keadaan tabiat
alami, akhlak, dan ruhani manusia. Perkembangan jasmani dan akhlak manusia terjadi di bawah sifat Rabb; pikiran,
perkataan, serta perbuatan disiksa atau diganjar oleh sifat Mālik; dan
sifat Ilāh berarti Tuhan adalah obyek cinta dan pujaannya;
Dia adalah tujuan dan cita-citanya.
Sebutan ketiga Sifat Ilahi dalam Surah An-Nās
ini mengandung arti, bahwa semua dosa bersumber pada tiga sebab, yaitu jika seseorang memandang orang lain sebagai majikannya, rajanya, atau tuhan-nya,
yakni bila ia menganggap dia penopang dan pendukung utama hidupnya, atau menghambakan
diri kepada kekuasaan yang bukan
haknya, atau menjadikan dia tujuan cinta
dan pujaannya.
Al-khannās Sebutan Lain Fitnah Dajjal, Si Pendusta
yang Matanya Buta Sebelah
Orang beriman
diperintahkan di sini agar hanya
menghadapkan wajah kepada Tuhan
(Allah Swt.) semata-mata sebagai Penjamin
(Rabb) hidupnya yang hakiki, agar hanya kepada-Nya
belaka memperlihatkan ketaatan sejati
dan tanpa bersyarat dan agar hanya Dia-lah Yang dijadikan tujuan sebenarnya bagi cinta dan pemujaannya.
Atau, ia diperintahkan dalam ayat ini supaya
senantiasa memohon perlindungan
terhadap tindak perampasan hak oleh
kaum kapitalis, penguasa-penguasa zalim dan golongan pemimpin agama yang licik, yang sambil mengambil keuntungan secara tidak wajar dari rakyat jelata yang polos dan berpikiran
sederhana dengan memeras mereka tanpa
belas kasihan.
Si
Jahat al-khannās -- yakni Dajjal dengan fitnah-fitnahnya yang berbahaya -- membisikkan
pikiran-pikiran jahat ke dalam hati
golongan jin (orang-orang besar) maupun golongan nās (orang-orang
awam), tanpa seorang pun terkecuali. Atau, ayat ini dapat juga berarti bahwa si
pembisik pikiran jahat itu terdapat
di antara golongan jin (orang-orang besar) dan orang-orang awam,
sebagaimana firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّکُمۡ وَ اخۡشَوۡا
یَوۡمًا لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ
وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ ہُوَ جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا ؕ اِنَّ وَعۡدَ
اللّٰہِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَا ٝ وَ لَا
یَغُرَّنَّکُمۡ بِاللّٰہِ الۡغَرُوۡرُ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ عِنۡدَہٗ عِلۡمُ
السَّاعَۃِ ۚ وَ یُنَزِّلُ
الۡغَیۡثَ ۚ وَ یَعۡلَمُ مَا فِی الۡاَرۡحَامِ ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌ مَّاذَا
تَکۡسِبُ غَدًا ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌۢ بِاَیِّ اَرۡضٍ تَمُوۡتُ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿٪﴾
Hai manusia, bertakwalah
kepada Rabb (Tuhan) kamu وَ اخۡشَوۡا یَوۡمًا
لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ ہُوَ
جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا -- dan takutlah
akan Hari ketika seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan tidak pula seorang anak dapat menolong ayahnya sedikitpun. اِنَّ وَعۡدَ اللّٰہِ حَقٌّ -- Sesungguhnya janji Allah itu benar, فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ
الدُّنۡیَا -- maka
janganlah sampai kehidupan dunia
memperdayakan kamu, وَ لَا یَغُرَّنَّکُمۡ بِاللّٰہِ
الۡغَرُوۡرُ -- dan
jangan pula si penipu itu menipu
kamu mengenai Allah. (Luqman
[31]:34).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar