بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 88
Kewajiban Beribadah
Kepada Allah Swt., Terutama Mendirikan Shalat
& Keniscayaan Munculnya Berbagai “Mazhab Pemikiran” Dalam Masalah Pengetahuan Agama dan Dunia
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian akhir Bab
sebelumnya telah dibahas mengenai makna “Kesaksian ruh” tentang Tauhid Ilahi yang telah tertanam dalam jiwa manusia,
sebagaimana firman-Nya kepada Nabi
Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ
اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ
اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ
الۡقِیٰمَۃِ اِنَّا کُنَّا
عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا
اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ
یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil kesaksian dari bani
Adam yakni dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil berfirman: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ -- ”Bukankah
Aku Rabb (Tuhan) kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا
-- Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal itu supaya
kamu tidak berkata pada Hari Kiamat: اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ -- “Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari
hal ini.” Atau kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ -- ”Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat
syirik, sedangkan kami hanyalah
keturunan sesudah mereka. اَفَتُہۡلِکُنَا
بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan
oleh orang-orang yang berbuat batil itu?”
وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ -- Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu dan supa-ya mereka kembali kepada yang haq
(Al-A’rāf [7]:173-175).
Kewajiban
Beribadah Kepada Allah Swt., Terutama Mendirikan Shalat
Ayat 173 menunjukkan kepada kesaksian yang tertanam dalam fitrat atau ruh (jiwa) manusia sendiri mengenai adanya Dzat Mahatinggi
Yang telah menciptakan seluruh alam serta mengendalikannya (QS.30:31). Atau ayat itu dapat merujuk
kepada kemunculan para nabi Allah yang menunjuki jalan menuju Allah Swt. (QS.7:35-37);
dan ungkapan “dari sulbi bani Adam”
maksudnya umat dari setiap zaman yang kepada mereka rasul Allah diutus. Pada hakikatnya
keadaan tiap-tiap rasul baru itulah
yang mendorong timbulnya pertanyaann Ilahi: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ -- “Bukankah Aku Rabb
(Tuhan) kamu?” Lihat pula QS.31-33.
Makna pertanyaan itu berarti bahwa jika Allah
Swt. telah menyediakan perbekalan untuk keperluan jasmani manusia dan demikian pula untuk kemajuan akhlak dan keruhanian
betapa ia dapat mengingkari Ketuhanan-Nya.
Sesungguhnya karena menolak nabi
mereka maka manusia menjadi saksi terhadap diri mereka sendiri, sebab jika demikian mereka
tidak dapat berlindung di balik dalih bahwa mereka tidak
mengetahui Allah Swt. atau syariat-Nya
atau Hari Pembalasan.
Kemunculan seorang nabi Allah juga menghambat (merintangi) kaumnya dari mengemukakan dalih
seperti dalam ayat 173 di atas -- yakni
“Hal itu supaya kamu tidak berkata pada Hari Kiamat: اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ -- “Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari
hal ini.” Atau kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ
اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا
ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ -- ”Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat
syirik, sedangkan kami hanyalah
keturunan sesudah mereka” -- sebab pada saat pengutusan rasul
Allah itulah haq (kebenaran) dibuat nyata berbeda dari kepalsuan, dan kemusyrikan
dengan terang benderang dicela.
Dalam merealisasikan “kesaksian ruh” manusia mengenai Tauhid
Ilahi tersebut maka dalam setiap agama yang bersumber dari Allah Swt. telah ditetapkan kewajiban beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57; QS.71:1-5), khususnya kewajiban mendirikan shalat (QS.20:15; QS.21:74; QS.22:78-79),
terutama dalam syariat
Islam (Al-Quran) ditetapkan kewajiban mendirikan shalat fardhu 5 waktu,
mau pun melaksanakan shalat sunat
dan nafal (tambahan) yakni tahajjud, firman-Nya:
اَقِمِ الصَّلٰوۃَ لِدُلُوۡکِ الشَّمۡسِ اِلٰی غَسَقِ الَّیۡلِ وَ
قُرۡاٰنَ الۡفَجۡرِ ؕ اِنَّ قُرۡاٰنَ الۡفَجۡرِ کَانَ مَشۡہُوۡدًا ﴿﴾ وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ نَافِلَۃً لَّکَ ٭ۖ عَسٰۤی اَنۡ یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا﴿﴾ وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ صِدۡقٍ وَّ
اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ سُلۡطٰنًا نَّصِیۡرًا
﴿﴾ وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ
الۡبَاطِلَ کَانَ زَہُوۡقًا ﴿﴾ وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ
رَحۡمَۃٌ لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا
یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ اِلَّا خَسَارًا﴿﴾ وَ
اِذَاۤ اَنۡعَمۡنَا عَلَی الۡاِنۡسَانِ اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ
وَ اِذَا مَسَّہُ الشَّرُّ کَانَ
یَــُٔوۡسًا ﴿﴾ قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ
اَعۡلَمُ بِمَنۡ ہُوَ
اَہۡدٰی سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dirikanlah shalat sejak matahari condong
hingga kegelapan malam dan bacalah Al-Quran pada waktu subuh, sesungguhnya pembacaan Al-Quran pada waktu subuh
disaksikan secara istimewa oleh Allah.” وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ
نَافِلَۃً لَّکَ -- bDan
pada sebagian malam maka tahajudlah engkau dengan membacanya,
suatu ibadah tambahan bagi engkau, عَسٰۤی اَنۡ یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا -- boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau
ke martabat yang sangat terpuji. وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ
صِدۡقٍ وَّ اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ
سُلۡطٰنًا نَّصِیۡرًا
-- Dan katakanlah: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), masukkanlah daku dengan cara masuk yang baik serta keluarkanlah aku dengan cara keluar yang baik, dan jadikanlah
bagiku dari hadirat Engkau kekuatan yang menolong.” وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ
الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ کَانَ زَہُوۡقًا -- Dan
katakanlah: ”Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,
sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ
شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ
ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ
اِلَّا خَسَارًا -- Dan Kami
menurunkan dari Al-Quran
suatu penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman,
tetapi tidak menambah kepada orang-orang
yang zalim melainkan kerugian. Dan apabila Kami membe-rikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya ia berputus asa. قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ
فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ہُوَ
اَہۡدٰی سَبِیۡلًا -- Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri, dan Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.” (Bani Israil [17]:79-85).
Lima Waktu Shalat Fardhu &
Khasiat Shalat Tahajjud
Dalakat asy-syamsu berarti: (1)
matahari condong sesudah mencapai titik puncaknya pada tengah hari; (2)
matahari menjadi kekuning-kuningan; (3) matahari terbenam. Ghasaq
berarti, kegelapan malam, atau ketika warna merah di kaki langit lenyap sesudah
matahari terbenam (Lexicon Lane).
Nampaknya ayat ini menunjuk kepada saat-saat
untuk mendirikan shalat 5 waktu sehari. Tiga arti dulūk menunjukkan saat
untuk shalat Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Untuk ghasaqil-lail meliputi saat untuk shalat Maghrib, tetapi khususnya menunjuk
kepada shalat Isya, dan kata-kata qur’an
al-fajr menunjuk kepada saat shalat Shubuh.
Sebagai
arti tambahan kata nāfilah pada yang
diberikan dalam terjemahan teks --
yaitu ibadah tambahan -- teks, nāfilah
berarti juga karunia yang khas, dan mengandung arti bahwa shalat-shalat itu
bukan suatu beban yang hanya meletihkan tubuh, melainkan suatu kesempatan istimewa dan karunia khas dari Allah Swt..
Makna مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا -- “martabat yang terpuji,” barangkali tiada orang yang pernah begitu dibenci
dan dimaki seperti Nabi Besar
Muhammad saw., dan kemudian sungguh
tidak ada wujud lain yang menerima
begitu banyak pujian Allah Swt. dan
menjadi penadah begitu banyak rahmat dan berkat Ilahi seperti beliau saw..
Shalat Tahajjud
paling cocok untuk orang beriman guna
mencapai kemajuan ruhaninya, karena dalam kesunyian malam dalam
keadaan menyendiri di hadapan Sang Khaliq-nya ia menikmati perhubungan khas dengan Allah
Swt. عَسٰۤی
اَنۡ یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا
مَّحۡمُوۡدًا -- “boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau ke martabat yang sangat
terpuji.“
Sebagai
kemakbulan doa-doa dan
permohonan-permohonan beliau saw., Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini
diberi kabar gembira bahwa untuk
menggenapi nubuatan dalam kata-kata سُبۡحٰنَ
الَّذِیۡۤ اَسۡرٰی
بِعَبۡدِہٖ لَیۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ اِلَی
الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِیۡ بٰرَکۡنَا حَوۡلَہٗ لِنُرِیَہٗ مِنۡ اٰیٰتِنَا -- “Maha Suci Dia
Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam hari dari Masjid Haram ke
Masjid Aqsa, supaya Kami memperlihatkan
kepadanya Tanda-tanda Kami ” (QS.17:2), beliau saw. akan dibawa ke Medinah.
Untuk
mendahului dan menyambut penyempurnaan nubuatan
ini Nabi Besar Muhammad saw. diperintahkan
mendoa supaya masuk beliau saw. ke Medinah
dan begitu pula keberangkatan beliau saw.
dari kota Mekkah, di mana beliau saw.
tinggal pada saat itu, akan dianugerahi keberkatan
yang berlimpah-limpah.
Ayat وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ
الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ کَانَ زَہُوۡقًا -- Dan
katakanlah: ”Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,
sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” Inilah
salah satu mukjizat gaya bahasa
Al-Quran bahwa untuk ini mengemukakan salah satu contoh semacam
itu.
Sesudah takluknya kota Mekkah, ketika Nabi
Besar Muhammad saw. selagi membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala yang telah mengotorinya beliau saw. berulang-ulang mengucapkan ayat tersebut sementara beliau saw. memukuli berhala-berhala dengan tongkat (Bukhari).
Berbagai Mazhab
Pendapat & Makna “Perbedaan” Merupakan Rahmat
Kata-kata ‘alā syākilati-hi dalam ayat قُلۡ کُلٌّ
یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ
ہُوَ اَہۡدٰی سَبِیۡلًا -- Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya
sendiri dan Rabb (Tuhan) kamu
lebih mengetahui siapa yang lebih
terpimpin pada jalan-Nya.” berarti: sesuai dengan niat, cara berpikir,
tujuan-tujuan, dan maksud-maksud sendiri, yang kemudian muncul istilah mazhab, yang tidak khusus masalah
keagamaan saja, juga dalam berbagai bidang keilmuan (pengetahuan) duniawi lainnya, sesuai dengan berbagai tingkatan wawasan sudut-pandang setiap orang.
Karena itu munculnya “perselisihan pendapat” di kalangan
‘ulama ( para ‘alim) -- baik
dalam masalah pengetahuan agama
(keruhanian) maupun dalam masalah
pengetahuan duniawi adalah suatu hal
yang wajar, sebab memang hanya Allah Swt. sajalah yang Maha
Mengetahui segala sesuatu yang nyata dan yang tersembunyi: فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ہُوَ
اَہۡدٰی سَبِیۡلًا -- “dan Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.” (Bani Israil [17]:85).”
Sehubungan dengan kenyataan tersebut Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda: “Ikhtilāfu ummatiy rahmatun” -- bahwa “perbedaan
pendapat umatku adalah rahmat”. Kata ikhtilaf
(perbedaan) berbeda dengan naza’a (perselisihan/pertentangan), sebab perselisihan
atau pertentangan dalam masalah apa pun tidak pernah menjadi rahmat melainkan senantiasa berujung perpecahan dan peperangan,
yang mengakibatkan keadaan umat Islam
menjadi semakin lemah, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا لَقِیۡتُمۡ فِئَۃً فَاثۡبُتُوۡا وَ
اذۡکُرُوا اللّٰہَ کَثِیۡرًا لَّعَلَّکُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ ﴿ۚ﴾ وَ اَطِیۡعُوا
اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ لَا
تَنَازَعُوۡا فَتَفۡشَلُوۡا وَ تَذۡہَبَ رِیۡحُکُمۡ وَ
اصۡبِرُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰہَ
مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿ۚ﴾ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ خَرَجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ بَطَرًا وَّ رِئَآءَ النَّاسِ
وَ یَصُدُّوۡنَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ
بِمَا یَعۡمَلُوۡنَ مُحِیۡطٌ ﴿﴾
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu berhadapan
dengan lasykar musuh, maka teguhlah
kamu dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya
supaya kamu berhasil. وَ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ لَا تَنَازَعُوۡا فَتَفۡشَلُوۡا وَ تَذۡہَبَ رِیۡحُکُمۡ وَ اصۡبِرُوۡا -- Dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berselisih, kalau
kamu berbuat demikian maka kamu akan gentar dan kekuatan kamu akan
hilang, dan bersabarlah, اِنَّ اللّٰہَ مَعَ
الصّٰبِرِیۡنَ -- sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.
Dan
janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan sombong dan ingin dilihat orang serta menghalangi manusia dari jalan Allah, dan ilmu Allah
meliputi apa yang mereka kerjakan (Al-Anfāl [8]:46-48).
Kata rīh dalam ayat وَ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ وَ لَا تَنَازَعُوۡا فَتَفۡشَلُوۡا وَ تَذۡہَبَ رِیۡحُکُمۡ وَ اصۡبِرُوۡا – “Dan taatilah Allah, Rasul-Nya, dan janganlah kamu berselisih, kalau kamu
berbuat demikian, maka kamu akan gentar dan kekuatan kamu akan hilang “ antara lain berarti: keunggulan, kekuatan, kemenangan (Lexicon Lane).
Petunjuk Al-Quran Bagi Para “Hakim” & “Lembaga
Fatwa”
Keberadan lembaga fatwa berkenaan dengan masalah agama mau pun masalah hukum (undang-undang) negara adalah
penting – misalnya Komisi Fatwa
MUI dan Mahkamah Konstitusi (MK) --
namun ketika para pemegang amanat di dalam lembaga-lembaga fatwa tersebut tidak memenuhi syarat yang diperlukan
agar dapat menghasilkan keputusan yang
benar maka harapan untuk tegaknya
haq (kebenaran) hanya akan merupakan angan-angan
saja, dan yang muncul justru “perpecahan umat” semakin
merebak -- terutama di kalangan umat beragama karena “saling mengkafirkan” akibat fatwa
yang salah, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡا قَوّٰمِیۡنَ بِالۡقِسۡطِ شُہَدَآءَ لِلّٰہِ وَ لَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ
الۡوَالِدَیۡنِ وَ الۡاَقۡرَبِیۡنَ ۚ اِنۡ یَّکُنۡ غَنِیًّا اَوۡ فَقِیۡرًا
فَاللّٰہُ اَوۡلٰی بِہِمَا ۟ فَلَا تَتَّبِعُوا الۡہَوٰۤی اَنۡ تَعۡدِلُوۡا ۚ وَ
اِنۡ تَلۡوٗۤا اَوۡ تُعۡرِضُوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ
کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
penegak keadilan dan menjadi saksi
karena Allah, وَ لَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ
الۡوَالِدَیۡنِ وَ الۡاَقۡرَبِیۡنَ -- walaupun bertentangan
dengan diri kamu sendiri atau ibu-bapak
dan kaum kerabat, baik ia orang kaya atau miskin, فَاللّٰہُ اَوۡلٰی
بِہِمَا -- tetapi
Allah lebih memperhatikan kepada
keduanya, فَلَا تَتَّبِعُوا
الۡہَوٰۤی اَنۡ تَعۡدِلُوۡا -- karena itu janganlah kamu menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil. Dan jika kamu menyembunyikan kebenaran
atau menghindarkan diri maka sesung-guhnya Allah benar-benar Maha
Mengetahui segala sesuatu yang kamu
kerjakan (An-Nisā [4]:136).
Ucapan “bertentangan dengan dirimu sendiri”
dalam ayat وَ لَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ الۡوَالِدَیۡنِ وَ الۡاَقۡرَبِیۡنَ -- “walaupun bertentangan dengan diri kamu sendiri atau ibu-bapak
dan kaum kerabat”, dapat juga
diartikan “bertentangan dengan kaum kamu
atau kaum kerabat kamu” -- atau bertentangan dengan kepentingan politik "partai dan mazhab kamu". Kata-kata “ibu-bapak
dan kaum kerabat” telah dibubuhkan untuk lebih menggarisbawahi perintah itu.
Kata-kata “menuruti
hawa-nafsu” dalam ayat فَلَا تَتَّبِعُوا الۡہَوٰۤی اَنۡ تَعۡدِلُوۡا -- “karena itu janganlah kamu menuruti hawa nafsu agar
kamu dapat berlaku adil,” itu
berarti juga “jangan-jangan kamu menyeleweng.”
Firman-Nya lagi:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡا قَوّٰمِیۡنَ لِلّٰہِ شُہَدَآءَ بِالۡقِسۡطِ ۫ وَ لَا یَجۡرِمَنَّکُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰۤی اَلَّا
تَعۡدِلُوۡا ؕ اِعۡدِلُوۡا ۟ ہُوَ
اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰی ۫ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
خَبِیۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri teguh karena Allah, dan menjadi saksi dengan adil, وَ لَا یَجۡرِمَنَّکُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰۤی اَلَّا
تَعۡدِلُوۡا -- dan janganlah
kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. اِعۡدِلُوۡا ۟ ہُوَ اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰی ۫ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ
اِنَّ اللّٰہَ خَبِیۡرٌۢ
بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ -- Berlaku
adillah, itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
pun yang kamu kerjakan. (Al-Māidah[5]:9).
Nubuatan Dalam Kisah “Para Pemanjat Kamar Pribadi” Nabi Daud
a.s.
Begitu pentingnya larangan
Allah Swt. tidak mengikuti “hawa-nafsu”
dan memerintahkan “berlaku adil”
dalam hal memberikan (menjatuhkan)
fatwa atau penghakiman berkenan masalah perbedaan mau pun perselisihan
pendapat tersebut, sehingga Allah Swt. secara khusus berfirman kepada Nabi Daud a.s., karena beliau bukan hanya
seorang rasul Allah tetapi juga
seorang raja duniawi di kalangan Bani Israil, yang di tangan beliau wewenang memutuskan berbagai perkara agama mau pun dunia, firman-Nya:
یٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلۡنٰکَ خَلِیۡفَۃً فِی الۡاَرۡضِ
فَاحۡکُمۡ بَیۡنَ النَّاسِ بِالۡحَقِّ وَ لَا تَتَّبِعِ الۡہَوٰی فَیُضِلَّکَ عَنۡ
سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَضِلُّوۡنَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ لَہُمۡ عَذَابٌ شَدِیۡدٌۢ بِمَا نَسُوۡا یَوۡمَ
الۡحِسَابِ ﴿٪ ﴾
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi maka hakimilah di antara manusia dengan benar
dan janganlah mengikuti hawa nafsu
karena ia akan menyesatkan engkau dari
jalan Allah.” Sesungguhnya orang-orang
yang tersesat dari jalan Allah bagi mereka ada azab yang sangat keras karena mereka melupakan Hari
Perhitungan (Ash-Shād [38]:27).
Bahwa kisah para rasul Allah dalam Al-Quran bukan merupakan “dongeng kaum purbakala” --
sebagaimana tuduhan para
penentang Nabi Besar Muhammad saw.
(QS.25:5-10) -- melainkan di dalamnya
penuh dengan petunjuk, hikmah
serta khazanah ruhani lainnya,
contohnya adalah kisah Nabi Daud a.s.
dalam masalah memutuskan “perselisihan”
yang diajukan kepada beliau, sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat
sebelumnya, sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ
ہَلۡ اَتٰىکَ نَبَؤُا الۡخَصۡمِ ۘ
اِذۡ تَسَوَّرُوا الۡمِحۡرَابَ ﴿ۙ﴾ اِذۡ
دَخَلُوۡا عَلٰی دَاوٗدَ فَفَزِعَ
مِنۡہُمۡ قَالُوۡا لَا تَخَفۡ ۚ خَصۡمٰنِ
بَغٰی بَعۡضُنَا عَلٰی بَعۡضٍ فَاحۡکُمۡ
بَیۡنَنَا بِالۡحَقِّ وَ لَا
تُشۡطِطۡ وَ اہۡدِنَاۤ اِلٰی
سَوَآءِ الصِّرَاطِ ﴿﴾ اِنَّ
ہٰذَاۤ اَخِیۡ ۟ لَہٗ تِسۡعٌ وَّ تِسۡعُوۡنَ نَعۡجَۃً وَّ لِیَ نَعۡجَۃٌ وَّاحِدَۃٌ ۟ فَقَالَ اَکۡفِلۡنِیۡہَا وَ
عَزَّنِیۡ فِی الۡخِطَابِ ﴿﴾
Dan sudahkah datang kepada engkau kabar
mengenai orang-orang yang pura-pura
bertengkar ketika mereka
itu memanjat dinding kamar pribadinya? اِذۡ دَخَلُوۡا عَلٰی دَاوٗدَ فَفَزِعَ مِنۡہُمۡ قَالُوۡا لَا تَخَفۡ -- Ketika mereka
masuk mendatangi Daud, lalu ia
terkejut karena mereka itu. Mereka
berkata: “Janganlah takut, kami dua
orang sedang bersengketa, kami berlaku
zalim terhadap satu sama lain فَاحۡکُمۡ بَیۡنَنَا بِالۡحَقِّ -- maka hakimilah
di antara kami dengan keadilan, وَ لَا تُشۡطِطۡ وَ
اہۡدِنَاۤ اِلٰی سَوَآءِ الصِّرَاطِ -- dan janganlah menzalimi kami dan tunjukilah kami ke jalan lurus. اِنَّ ہٰذَاۤ
اَخِیۡ ۟ لَہٗ تِسۡعٌ وَّ
تِسۡعُوۡنَ نَعۡجَۃً وَّ لِیَ نَعۡجَۃٌ وَّاحِدَۃٌ -- Sesungguhnya saudaraku ini memiliki sembilan puluh sembilan domba betina, dan aku memiliki seekor domba betina, فَقَالَ اَکۡفِلۡنِیۡہَا وَ عَزَّنِیۡ
فِی الۡخِطَابِ -- tetapi
ia berkata: ‘Serahkanlah itu kepadaku,’
dan ia telah mengungguli diriku dalam
pembicaraan.” (Ash-Shād [38]:22-24).
Nampak dari sejarah bahwa meskipun kekuasaan
Bani Israil telah mencapai puncaknya selama Nabi Daud a.s. dan Nabi
Sulaiman a.s. memegang kekuasaan, namun para pengacau di kalangan Bani Israil giat menimbulkan huru-hara
dan perpecahan; demikian pula tuduhan-tuduhan
palsu kepada beliau-beliau dengan gencar dilancarkan dan disebarkan bahkan
beberapa orang jahat pikiran berusaha
membunuh Nabi Daud a.s.. Kepada
percobaan membunuh Nabi Daud a.s.
serupa itulah yang diisyaratkan
dalam ayat ini.
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 26 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar