Senin, 29 Juni 2015

Kewajiban Beribadah Kepada Allah Swt,, Terutama Shalat & Keniscayaan Munculnya Berbagai "Mazhab Pemikiran" Dalam Pengetahuan (Pemahaman) Agama dan Dunia


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 88

Kewajiban Beribadah Kepada Allah Swt., Terutama Mendirikan Shalat &   Keniscayaan Munculnya Berbagai “Mazhab   Pemikiran Dalam Masalah Pengetahuan Agama dan Dunia
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai  makna “Kesaksian ruh” tentang Tauhid Ilahi  yang telah tertanam dalam jiwa manusia,  sebagaimana  firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ  الۡقِیٰمَۃِ  اِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ  اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا  اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika  Rabb (Tuhan) engkau mengambil  kesaksian dari  bani Adam yakni   dari sulbi  keturunan  mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri  sambil berfirmanاَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ  --   ”Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?” قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا  --  Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Hal  itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamatاِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.”   Atau kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ  --  ”Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah merekaاَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ  -- Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah  dikerjakan oleh orang-orang yang  berbuat batil itu?” وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ   --   Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu  dan supa-ya mereka kembali kepada yang haq  (Al-A’rāf [7]:173-175).

Kewajiban Beribadah Kepada Allah Swt., Terutama Mendirikan  Shalat

      Ayat 173 menunjukkan kepada kesaksian yang tertanam dalam fitrat atau ruh (jiwa) manusia sendiri mengenai adanya Dzat Mahatinggi Yang telah menciptakan seluruh alam  serta mengendalikannya  (QS.30:31). Atau ayat itu dapat merujuk kepada kemunculan para nabi Allah yang menunjuki jalan menuju Allah Swt. (QS.7:35-37); dan ungkapan “dari sulbi  bani Adam” maksudnya umat dari setiap zaman yang kepada mereka rasul Allah diutus. Pada hakikatnya keadaan tiap-tiap rasul baru itulah yang mendorong timbulnya  pertanyaann Ilahi:  اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ -- “Bukankah  Aku Rabb (Tuhan) kamu?” Lihat pula QS.31-33.
 Makna pertanyaan itu berarti bahwa jika Allah Swt.    telah menyediakan perbekalan untuk keperluan jasmani manusia dan demikian  pula untuk kemajuan akhlak dan keruhanian betapa ia dapat mengingkari Ketuhanan-Nya. Sesungguhnya karena menolak nabi mereka  maka manusia menjadi saksi terhadap diri  mereka sendiri, sebab jika demikian mereka tidak dapat berlindung di balik dalih bahwa  mereka tidak mengetahui Allah Swt. atau syariat-Nya atau Hari Pembalasan.
        Kemunculan seorang nabi Allah juga menghambat (merintangi) kaumnya dari mengemukakan dalih seperti dalam ayat 173 di atas  --   yakni    “Hal  itu supaya  kamu tidak berkata pada Hari Kiamatاِنَّا کُنَّا عَنۡ  ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ  -- “Sesungguhnya kami  benar-benar lengah dari hal ini.”   Atau kamu mengatakan: اِنَّمَاۤ  اَشۡرَکَ  اٰبَآؤُنَا مِنۡ  قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ  --  ”Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka”    --  sebab pada saat pengutusan rasul Allah itulah  haq   (kebenaran) dibuat nyata berbeda dari kepalsuan, dan kemusyrikan dengan  terang benderang dicela.
         Dalam merealisasikan “kesaksian ruh” manusia mengenai Tauhid Ilahi tersebut maka dalam setiap agama yang bersumber dari Allah Swt. telah ditetapkan kewajiban beribadah kepada Allah Swt. (QS.51:57; QS.71:1-5), khususnya kewajiban mendirikan shalat (QS.20:15; QS.21:74; QS.22:78-79),  terutama dalam syariat Islam (Al-Quran) ditetapkan kewajiban  mendirikan shalat     fardhu  5 waktu,  mau pun melaksanakan  shalat  sunat dan nafal (tambahan) yakni tahajjud,   firman-Nya:
 اَقِمِ الصَّلٰوۃَ  لِدُلُوۡکِ الشَّمۡسِ اِلٰی غَسَقِ  الَّیۡلِ وَ  قُرۡاٰنَ  الۡفَجۡرِ ؕ اِنَّ  قُرۡاٰنَ الۡفَجۡرِ  کَانَ  مَشۡہُوۡدًا ﴿﴾  وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ نَافِلَۃً  لَّکَ ٭ۖ عَسٰۤی اَنۡ  یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا﴿﴾  وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ صِدۡقٍ وَّ اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ سُلۡطٰنًا نَّصِیۡرًا ﴿﴾  وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا ﴿﴾  وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ  لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ   اِلَّا  خَسَارًا﴿﴾  وَ  اِذَاۤ   اَنۡعَمۡنَا عَلَی  الۡاِنۡسَانِ اَعۡرَضَ وَ نَاٰ بِجَانِبِہٖ ۚ وَ اِذَا مَسَّہُ  الشَّرُّ کَانَ یَــُٔوۡسًا ﴿﴾  قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا ﴿٪﴾
Dirikanlah shalat sejak matahari condong hingga kegelapan malam dan bacalah Al-Quran pada waktu subuh, sesungguhnya pembacaan Al-Quran pada waktu subuh disaksikan secara istimewa oleh Allah.”  وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ نَافِلَۃً  لَّکَ  --  bDan pada sebagian malam  maka tahajudlah engkau dengan membacanya, suatu ibadah tambahan  bagi engkau, عَسٰۤی اَنۡ  یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا  -- boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau ke martabat yang sangat terpuji.   وَ قُلۡ رَّبِّ اَدۡخِلۡنِیۡ مُدۡخَلَ صِدۡقٍ وَّ اَخۡرِجۡنِیۡ مُخۡرَجَ صِدۡقٍ وَّ اجۡعَلۡ لِّیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ سُلۡطٰنًا نَّصِیۡرًا  --  Dan katakanlah: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), masukkanlah daku dengan cara masuk yang baik serta keluarkanlah  aku dengan cara keluar yang baik,  dan jadikanlah bagiku dari hadirat Engkau kekuatan yang menolong.”   وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا  --  Dan katakanlah:  Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,  sesungguhnya kebatilan itu pasti  lenyap.”    وَ نُنَزِّلُ مِنَ الۡقُرۡاٰنِ مَا ہُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحۡمَۃٌ  لِّلۡمُؤۡمِنِیۡنَ ۙ وَ لَا یَزِیۡدُ الظّٰلِمِیۡنَ   اِلَّا  خَسَارًا  -- Dan  Kami  menurunkan dari Al-Quran suatu  penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, tetapi tidak menambah kepada orang-orang yang zalim melainkan kerugian.     Dan apabila Kami membe-rikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan dirinya, tetapi apabila keburukan menimpanya  ia berputus asaقُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا --  Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri, dan Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.”  (Bani Israil [17]:79-85).

Lima Waktu Shalat Fardhu   & Khasiat Shalat Tahajjud

   Dalakat asy-syamsu berarti: (1) matahari condong sesudah mencapai titik puncaknya pada tengah hari; (2) matahari menjadi kekuning-kuningan; (3) matahari terbenam. Ghasaq berarti, kegelapan malam, atau ketika warna merah di kaki langit lenyap sesudah matahari terbenam (Lexicon Lane).
       Nampaknya ayat ini menunjuk kepada saat-saat untuk mendirikan shalat 5 waktu sehari. Tiga arti dulūk menunjukkan saat untuk shalat Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Untuk ghasaqil-lail meliputi saat untuk shalat Maghrib, tetapi khususnya menunjuk kepada shalat Isya, dan kata-kata qur’an al-fajr menunjuk kepada saat shalat Shubuh.
        Sebagai arti tambahan kata nāfilah pada yang diberikan dalam terjemahan teks  -- yaitu ibadah tambahan -- teks, nāfilah berarti juga  karunia yang khas, dan mengandung arti bahwa shalat-shalat itu bukan suatu beban yang hanya meletihkan tubuh, melainkan suatu kesempatan istimewa dan karunia khas dari Allah  Swt..  
       Makna   مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا  -- “martabat yang terpuji,”  barangkali tiada orang yang pernah begitu dibenci dan dimaki seperti Nabi Besar Muhammad saw.,  dan kemudian sungguh tidak ada wujud lain yang menerima begitu banyak pujian Allah Swt. dan menjadi penadah begitu banyak rahmat dan berkat Ilahi seperti beliau saw..
    Shalat Tahajjud paling cocok untuk orang beriman guna mencapai kemajuan ruhaninya,  karena dalam kesunyian malam  dalam keadaan menyendiri di hadapan Sang Khaliq-nya  ia menikmati perhubungan khas dengan  Allah Swt.  عَسٰۤی اَنۡ  یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا  --   “boleh jadi Rabb (Tuhan) engkau akan mengangkat engkau ke martabat yang sangat terpuji.
       Sebagai kemakbulan doa-doa dan permohonan-permohonan beliau saw., Nabi Besar Muhammad saw. dalam ayat ini diberi kabar gembira bahwa untuk menggenapi nubuatan dalam kata-kata  سُبۡحٰنَ الَّذِیۡۤ  اَسۡرٰی بِعَبۡدِہٖ لَیۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَرَامِ  اِلَی الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِیۡ بٰرَکۡنَا حَوۡلَہٗ  لِنُرِیَہٗ مِنۡ اٰیٰتِنَا  -- “Maha Suci Dia Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam hari dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, supaya Kami  memperlihatkan kepadanya Tanda-tanda Kami ” (QS.17:2), beliau saw. akan dibawa ke Medinah.
      Untuk mendahului dan menyambut penyempurnaan nubuatan ini Nabi Besar Muhammad saw.  diperintahkan mendoa supaya masuk beliau saw. ke Medinah dan begitu pula keberangkatan beliau saw. dari kota Mekkah, di mana beliau saw. tinggal pada saat itu, akan dianugerahi keberkatan yang berlimpah-limpah.
      Ayat وَ قُلۡ جَآءَ الۡحَقُّ وَ زَہَقَ الۡبَاطِلُ ؕ اِنَّ الۡبَاطِلَ  کَانَ  زَہُوۡقًا  --  Dan katakanlah:  Haq yakni kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap,  sesungguhnya kebatilan itu pasti  lenyap.”     Inilah salah satu mukjizat gaya bahasa Al-Quran  bahwa untuk  ini mengemukakan salah satu contoh semacam itu.
   Sesudah takluknya kota Mekkah, ketika Nabi Besar Muhammad saw.    selagi membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala yang telah mengotorinya  beliau saw. berulang-ulang mengucapkan ayat tersebut sementara beliau saw. memukuli berhala-berhala  dengan tongkat (Bukhari).

Berbagai Mazhab Pendapat &  Makna “Perbedaan” Merupakan Rahmat

       Kata-kata ‘alā  syākilati-hi dalam ayat قُلۡ کُلٌّ یَّعۡمَلُ عَلٰی شَاکِلَتِہٖ ؕ فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا --  Katakanlah: “Setiap orang beramal menurut caranya sendiri dan Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.”  berarti: sesuai dengan niat, cara berpikir, tujuan-tujuan, dan maksud-maksud sendiri, yang kemudian muncul istilah mazhab, yang tidak khusus masalah keagamaan saja, juga dalam berbagai bidang keilmuan  (pengetahuan) duniawi lainnya, sesuai dengan berbagai tingkatan wawasan sudut-pandang setiap orang.
       Karena itu munculnya “perselisihan pendapat” di kalangan   ‘ulama ( para ‘alim)   -- baik dalam  masalah pengetahuan  agama (keruhanian) maupun dalam  masalah pengetahuan duniawi adalah suatu hal yang wajar,  sebab memang hanya Allah Swt. sajalah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang nyata dan yang tersembunyi: فَرَبُّکُمۡ اَعۡلَمُ  بِمَنۡ  ہُوَ  اَہۡدٰی  سَبِیۡلًا   -- “dan Rabb (Tuhan) kamu lebih mengetahui siapa yang lebih terpimpin pada jalan-Nya.”  (Bani Israil [17]:85).
        Sehubungan dengan kenyataan tersebut  Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda: “Ikhtilāfu ummatiy rahmatun”  -- bahwa “perbedaan pendapat umatku adalah rahmat”. Kata ikhtilaf (perbedaan)  berbeda dengan naza’a  (perselisihan/pertentangan), sebab  perselisihan atau  pertentangan  dalam masalah apa pun tidak pernah menjadi rahmat melainkan senantiasa berujung perpecahan dan    peperangan, yang mengakibatkan keadaan umat Islam menjadi semakin lemah, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا لَقِیۡتُمۡ فِئَۃً فَاثۡبُتُوۡا وَ اذۡکُرُوا اللّٰہَ کَثِیۡرًا لَّعَلَّکُمۡ  تُفۡلِحُوۡنَ ﴿ۚ﴾ وَ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ  وَ لَا  تَنَازَعُوۡا فَتَفۡشَلُوۡا  وَ تَذۡہَبَ رِیۡحُکُمۡ وَ اصۡبِرُوۡا ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  مَعَ  الصّٰبِرِیۡنَ ﴿ۚ﴾ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ خَرَجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ بَطَرًا وَّ رِئَآءَ النَّاسِ وَ یَصُدُّوۡنَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ بِمَا یَعۡمَلُوۡنَ  مُحِیۡطٌ ﴿﴾
Hai  orang-orang yang beriman, apabila kamu berhadapan dengan lasykar musuh, maka teguhlah kamu dan  ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu berhasil.  وَ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ  وَ لَا  تَنَازَعُوۡا فَتَفۡشَلُوۡا  وَ تَذۡہَبَ رِیۡحُکُمۡ وَ اصۡبِرُوۡا  --  Dan  taatilah Allah dan   Rasul-Nya, dan  janganlah kamu berselisih, kalau kamu berbuat demikian  maka kamu akan gentar dan kekuatan kamu akan hilang, dan bersabarlah, اِنَّ  اللّٰہَ  مَعَ  الصّٰبِرِیۡنَ -- sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.   Dan  janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan sombong dan ingin dilihat orang serta menghalangi manusia dari jalan Allah, dan  ilmu Allah meliputi  apa yang mereka kerjakan  (Al-Anfāl [8]:46-48).
        Kata rīh dalam ayat وَ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ  وَ رَسُوۡلَہٗ  وَ لَا  تَنَازَعُوۡا فَتَفۡشَلُوۡا  وَ تَذۡہَبَ رِیۡحُکُمۡ وَ اصۡبِرُوۡا – “Dan  taatilah Allah,  Rasul-Nya, dan  janganlah kamu berselisih, kalau kamu berbuat demikian, maka kamu akan gentar dan kekuatan kamu  akan hilang “ antara lain berarti: keunggulan, kekuatan, kemenangan (Lexicon Lane).

Petunjuk Al-Quran Bagi  Para “Hakim” &  “Lembaga Fatwa

     Keberadan lembaga fatwa   berkenaan dengan masalah agama  mau pun masalah hukum (undang-undang) negara adalah penting – misalnya Komisi Fatwa MUI  dan Mahkamah Konstitusi (MK)   -- namun ketika  para pemegang amanat di dalam  lembaga-lembaga fatwa tersebut tidak memenuhi syarat yang diperlukan agar dapat menghasilkan keputusan yang benar maka harapan untuk tegaknya haq (kebenaran) hanya akan  merupakan angan-angan saja, dan yang muncul  justru   “perpecahan umat”   semakin merebak -- terutama di kalangan umat beragama  karena  “saling mengkafirkan” akibat  fatwa yang salah,  firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡا قَوّٰمِیۡنَ بِالۡقِسۡطِ شُہَدَآءَ  لِلّٰہِ وَ لَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ الۡوَالِدَیۡنِ وَ الۡاَقۡرَبِیۡنَ ۚ اِنۡ یَّکُنۡ غَنِیًّا اَوۡ فَقِیۡرًا فَاللّٰہُ اَوۡلٰی بِہِمَا ۟ فَلَا تَتَّبِعُوا الۡہَوٰۤی اَنۡ تَعۡدِلُوۡا ۚ وَ اِنۡ تَلۡوٗۤا اَوۡ تُعۡرِضُوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ  کَانَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِیۡرًا ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,   jadilah kamu penegak keadilan dan menjadi saksi karena Allahوَ لَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ الۡوَالِدَیۡنِ وَ الۡاَقۡرَبِیۡنَ --  walaupun bertentangan dengan diri kamu  sendiri  atau ibu-bapak dan kaum kerabat, baik ia orang kaya atau miskin,  فَاللّٰہُ اَوۡلٰی بِہِمَا -- tetapi  Allah lebih memperhatikan kepada keduanya,   فَلَا تَتَّبِعُوا الۡہَوٰۤی اَنۡ تَعۡدِلُوۡا   -- karena itu janganlah kamu menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil.   Dan  jika kamu menyembunyikan kebenaran atau menghindarkan diri maka sesung-guhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan (An-Nisā [4]:136).
       Ucapan “bertentangan dengan dirimu sendiri” dalam ayat وَ لَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ الۡوَالِدَیۡنِ وَ الۡاَقۡرَبِیۡنَ --  “walaupun bertentangan dengan diri kamu  sendiri  atau ibu-bapak dan kaum kerabat”, dapat juga diartikan “bertentangan dengan kaum kamu atau kaum kerabat kamu” -- atau bertentangan dengan kepentingan politik "partai dan mazhab kamu".  Kata-kata “ibu-bapak dan kaum kerabat” telah dibubuhkan untuk lebih menggarisbawahi perintah itu.
       Kata-kata  “menuruti hawa-nafsu” dalam ayat فَلَا تَتَّبِعُوا الۡہَوٰۤی اَنۡ تَعۡدِلُوۡا   -- “karena itu janganlah kamu menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil,”     itu berarti juga  “jangan-jangan kamu menyeleweng.”  Firman-Nya lagi:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُوۡنُوۡا قَوّٰمِیۡنَ لِلّٰہِ شُہَدَآءَ  بِالۡقِسۡطِ ۫ وَ لَا  یَجۡرِمَنَّکُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰۤی اَلَّا تَعۡدِلُوۡا ؕ اِعۡدِلُوۡا ۟ ہُوَ  اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰی ۫ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  hendaklah kamu berdiri teguh karena Allah, dan menjadi saksi dengan adil,  وَ لَا  یَجۡرِمَنَّکُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰۤی اَلَّا تَعۡدِلُوۡا -- dan  janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adilاِعۡدِلُوۡا ۟ ہُوَ  اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰی ۫ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ  خَبِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ --  Berlaku adillah, itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada  Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa pun  yang kamu kerjakan. (Al-Māidah[5]:9).

Nubuatan Dalam  Kisah  “Para Pemanjat Kamar Pribadi” Nabi Daud a.s.

        Begitu pentingnya  larangan Allah Swt.  tidak  mengikuti “hawa-nafsu” dan memerintahkan “berlaku adil” dalam hal memberikan  (menjatuhkan)  fatwa atau penghakiman  berkenan masalah perbedaan mau pun perselisihan pendapat tersebut, sehingga Allah Swt. secara khusus berfirman kepada Nabi Daud a.s.,  karena beliau bukan hanya seorang rasul Allah tetapi juga seorang raja duniawi  di kalangan Bani Israil, yang di tangan beliau wewenang memutuskan berbagai perkara agama mau pun dunia,   firman-Nya:
یٰدَاوٗدُ  اِنَّا جَعَلۡنٰکَ خَلِیۡفَۃً فِی الۡاَرۡضِ فَاحۡکُمۡ بَیۡنَ النَّاسِ بِالۡحَقِّ وَ لَا تَتَّبِعِ الۡہَوٰی فَیُضِلَّکَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ یَضِلُّوۡنَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ  لَہُمۡ عَذَابٌ شَدِیۡدٌۢ بِمَا نَسُوۡا یَوۡمَ الۡحِسَابِ  ﴿٪ ﴾
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi maka hakimilah di antara manusia dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah bagi mereka ada azab yang sangat keras karena mereka  melupakan Hari Perhitungan (Ash-Shād [38]:27).
      Bahwa kisah para rasul Allah dalam Al-Quran bukan merupakan “dongeng kaum purbakala”  -- sebagaimana tuduhan para penentang  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.25:5-10)  -- melainkan di dalamnya penuh dengan petunjuk,    hikmah serta khazanah ruhani lainnya, contohnya adalah kisah Nabi Daud a.s. dalam masalah memutuskan “perselisihan” yang diajukan kepada beliau, sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat sebelumnya, sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ ہَلۡ  اَتٰىکَ نَبَؤُا الۡخَصۡمِ ۘ اِذۡ  تَسَوَّرُوا  الۡمِحۡرَابَ ﴿ۙ﴾  اِذۡ  دَخَلُوۡا عَلٰی دَاوٗدَ  فَفَزِعَ مِنۡہُمۡ  قَالُوۡا لَا تَخَفۡ ۚ خَصۡمٰنِ بَغٰی بَعۡضُنَا عَلٰی بَعۡضٍ فَاحۡکُمۡ  بَیۡنَنَا بِالۡحَقِّ  وَ لَا تُشۡطِطۡ وَ اہۡدِنَاۤ  اِلٰی سَوَآءِ  الصِّرَاطِ ﴿﴾  اِنَّ  ہٰذَاۤ  اَخِیۡ ۟ لَہٗ  تِسۡعٌ وَّ تِسۡعُوۡنَ نَعۡجَۃً  وَّ لِیَ نَعۡجَۃٌ  وَّاحِدَۃٌ ۟ فَقَالَ اَکۡفِلۡنِیۡہَا وَ عَزَّنِیۡ  فِی الۡخِطَابِ ﴿﴾
Dan sudahkah datang kepada engkau kabar mengenai orang-orang yang pura-pura bertengkar ketika  mereka itu memanjat dinding kamar pribadinya?  اِذۡ  دَخَلُوۡا عَلٰی دَاوٗدَ  فَفَزِعَ مِنۡہُمۡ  قَالُوۡا لَا تَخَفۡ   --  Ketika mereka masuk mendatangi Daud, lalu ia terkejut karena  mereka itu. Mereka berkata: “Janganlah takut, kami dua orang sedang bersengketa, kami berlaku zalim terhadap satu sama lain  فَاحۡکُمۡ  بَیۡنَنَا بِالۡحَقِّ    --  maka hakimilah di antara kami dengan keadilan, وَ لَا تُشۡطِطۡ وَ اہۡدِنَاۤ  اِلٰی سَوَآءِ  الصِّرَاطِ -- dan janganlah menzalimi kami dan tunjukilah kami ke jalan lurusاِنَّ  ہٰذَاۤ  اَخِیۡ ۟ لَہٗ  تِسۡعٌ وَّ تِسۡعُوۡنَ نَعۡجَۃً  وَّ لِیَ نَعۡجَۃٌ  وَّاحِدَۃٌ --       Sesungguhnya saudaraku ini memiliki sembilan puluh sembilan domba betina, dan aku  memiliki seekor domba betina, فَقَالَ اَکۡفِلۡنِیۡہَا وَ عَزَّنِیۡ  فِی الۡخِطَابِ   -- tetapi ia berkata: ‘Serahkanlah itu kepadaku,’ dan ia telah mengungguli diriku dalam pembicaraan.” (Ash-Shād [38]:22-24).
    Nampak dari sejarah bahwa meskipun kekuasaan Bani Israil telah mencapai puncaknya selama Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. memegang kekuasaan, namun para pengacau  di kalangan Bani Israil giat menimbulkan huru-hara dan perpecahan; demikian pula  tuduhan-tuduhan palsu kepada beliau-beliau dengan gencar dilancarkan dan disebarkan bahkan beberapa orang jahat pikiran berusaha membunuh Nabi Daud a.s.. Kepada percobaan membunuh Nabi Daud a.s.  serupa itulah yang diisyaratkan dalam ayat ini.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 26 Juni  2015      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar