بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 72
Kabar Gembira dan Peringatan Dalam Surah Al-Fatihah & Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai "Matahari" Alam Semesta Ruhani
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai hubungan surah Al-Ikhlas dengan kedua Surah terakhir Al-Quran (Al-Falaq dan An-Nās), dalam kedua Surah tersebut Allah Swt. menyatakan
bahwa dalam menda’wahkan Tauhid Ilahi hakiki yang dikemukakan
dalam Surah Al-Ikhlas dikatakan kepada orang-orang beriman, bahwa dalam menjalankan tugas suci mereka hendaknya
jangan takut kepada si zalim, diktator, atau penguasa, dan harus berpegang kepada keyakinan yang kuat ini, bahwa Allah
Swt. itu Penyelenggara dan Pengawas
Tunggal terhadap seluruh alam raya
ini, dan Dia mempunyai kekuasaan melindungi
hamba-hamba-Nya dari kerugian atau kemudaratan apapun yang mungkin didatangkan kepada mereka oleh kekuatan-kekuatan kegelapan.
Dalam
Surah An-Nās, tiga sifat Ilahi – Rabb (Tuhan
manusia), Malik (Raja manusia), dan Ilah (Sembahan manusia),
telah diseru sebagai penanding satu sifat Allah Swt. dalam Surah Al-Falaq yakni Rabb al-Falaq (Tuhan
Yang Memiliki fajar), sebab sifat
yang satu ini meliputi ketiga sifat
tersebut di atas.
Sementara satu sifat Ilahi, “Tuhan Yang Memiliki fajar” (Rabb-al-Falaq)
telah diseru menandingi empat macam kejahatan
dalam Surah sebelumnya, maka dalam Surah ini tiga sifat Ilahi telah diseru menandingi satu kejahatan saja, yaitu bisikan Si Jahat yakni khanas. Hal itu disebabkan ajakan-ajakan atau bisikan-bisikan syaitan meliputi segala kejahatan.
Ketiga-tiga sifat Ilahi -- Rabb, Mālik, Ilāh -- itu mempunyai perhubungan yang halus
sekali (latif) dengan keadaan tabiat
alami, akhlak, dan ruhani manusia. Perkembangan jasmani dan akhlak manusia terjadi di bawah sifat Rabb; pikiran,
perkataan, serta perbuatan disiksa atau diganjar oleh sifat Mālik; dan
sifat Ilāh berarti Tuhan adalah obyek cinta dan pujaannya;
Dia adalah tujuan dan cita-citanya.
Sebutan ketiga Sifat Ilahi dalam Surah An-Nās
ini mengandung arti, bahwa semua dosa bersumber pada tiga sebab, yaitu jika seseorang memandang orang lain sebagai majikannya, rajanya, atau tuhan-nya,
yakni bila ia menganggap dia penopang dan pendukung utama hidupnya, atau menghambakan
diri kepada kekuasaan yang bukan
haknya, atau menjadikan dia tujuan cinta
dan pujaannya.
Al-khannās Sebutan Lain Fitnah Dajjal, Si Pendusta
yang Matanya Buta Sebelah
Orang beriman
diperintahkan di sini agar
hanya menghadapkan wajah kepada Tuhan
(Allah Swt.) semata-mata sebagai Penjamin
(Rabb) hidupnya yang hakiki, agar hanya kepada-Nya
belaka memperlihatkan ketaatan sejati
dan tanpa bersyarat dan agar hanya Dia-lah Yang dijadikan tujuan sebenarnya bagi cinta dan pemujaannya.
Atau, ia diperintahkan dalam ayat ini supaya
senantiasa memohon perlindungan
terhadap tindak perampasan hak oleh
kaum kapitalis, penguasa-penguasa zalim dan golongan pemimpin agama yang licik, yang sambil mengambil keuntungan secara tidak wajar dari rakyat jelata yang polos dan berpikiran
sederhana dengan memeras mereka tanpa
belas kasihan.
Si
Jahat al-khannās -- yakni Dajjal dengan fitnah-fitnahnya yang berbahaya -- membisikkan
pikiran-pikiran jahat ke dalam hati
golongan jin (orang-orang besar) maupun golongan nās (orang-orang
awam), tanpa seorang pun terkecuali. Atau, ayat ini dapat juga berarti bahwa si
pembisik pikiran jahat itu terdapat
di antara golongan jin (orang-orang besar) dan orang-orang awam,
sebagaimana firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّکُمۡ وَ اخۡشَوۡا
یَوۡمًا لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ
وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ ہُوَ جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا ؕ اِنَّ وَعۡدَ
اللّٰہِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَا ٝ وَ لَا
یَغُرَّنَّکُمۡ بِاللّٰہِ الۡغَرُوۡرُ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ عِنۡدَہٗ عِلۡمُ
السَّاعَۃِ ۚ وَ یُنَزِّلُ
الۡغَیۡثَ ۚ وَ یَعۡلَمُ مَا فِی الۡاَرۡحَامِ ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌ مَّاذَا
تَکۡسِبُ غَدًا ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌۢ بِاَیِّ اَرۡضٍ تَمُوۡتُ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿٪﴾
Hai manusia, bertakwalah
kepada Rabb (Tuhan) kamu وَ اخۡشَوۡا یَوۡمًا
لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ ہُوَ
جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا -- dan takutlah
akan Hari ketika seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan tidak pula seorang anak dapat menolong ayahnya sedikitpun. اِنَّ وَعۡدَ اللّٰہِ حَقٌّ -- Sesungguhnya janji Allah itu benar, فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ
الدُّنۡیَا -- maka
janganlah sampai kehidupan dunia
memperdayakan kamu, وَ لَا یَغُرَّنَّکُمۡ بِاللّٰہِ
الۡغَرُوۡرُ -- dan
jangan pula si penipu itu menipu
kamu mengenai Allah. (Luqman
[31]:34).
Dengan demikian terjawab pulalah hubungan antara sebutan maghdhūb dan dhāllīn dalam ayat terakhir Surah Al-Fatihah dengan kejahatan kewaswasan yang dibisikan oleh al-khannās atau fitnah
Dajjal -- si pendusta yang matanya buta
sebelah -- dimana para ulama salaf (terdahulu) sepakat
mengartikan maghdhūb (orang yang
dimurkai) dan dhāllīn (yang sesat
dari Tauhid Ilahi) adalah orang-orang
Yahudi dan Nashrani (Kristen), karena kedua golongan dari kalangan Bani Israil itu secara bertolak-belakang telah melampaui-batas berkenaan dengan Tuhan (Allah Swt.) dan para Rasul Allah (QS.2:88-90; QS.9:30-35), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اَلۡحَمۡدُ
لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ
الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾ اِیَّاکَ
نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ
الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾ صِرَاطَ
الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah,
Maha Pemurah, Maha Penyayang. Segala
puji hanya bagi
Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam, Maha
Pemurah, Maha Pe-nyayang. Pemilik Hari Pembalasan. اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ -- Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ – Bimbinglah kami pada jalan yang lurus, صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ -- yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ -- bukan jalan
mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang
sesat. (Al-Fatihah
[1]:1-7).
Manusia Senantiasa Memerlukan Pertolongan Allah Swt.
Kata-kata “Hanya Engkau-lah Yang kami
sembah” telah ditempatkan sebelum kata-kata “hanya kepada Engkau kami
mohon pertolongan”, untuk menunjukkan bahwa sesudah orang mengetahui makrifat
Ilahi berupa kesempurnaan Sifat-sifat
Allah Swt., maka dorongan
pertama yang timbul dalam hatinya ialah beribadah kepada-Nya, sesuai
dengan tujuan utama diciptakan-Nya
umat manusia (QS.51:57).
Pikiran untuk mohon pertolongan Allah Swt. datang sesudah adanya dorongan untuk beribadah. Orang ingin beribadah
kepada Allah Swt. tetapi ia menyadari bahwa untuk berbuat demikian
ia memerlukan pertolongan-Nya -- bukan memerlukan penebusan
dosa dari siapa pun -- (QS.2: 46-47 &154-158)
Pemakaian bentuk jamak (kami) dalam
ayat اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ – “Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan” mengarahkan perhatian kita kepada dua pokok
yang sangat penting:
(a) bahwa manusia tidak hidup
seorang diri di bumi ini, melainkan ia merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari masyarakat di sekitarnya, karena
itu ia hendaknya berusaha jangan berjalan
sendiri, tetapi harus menarik orang-orang
lain juga bersama dia melangkah di jalan
Allah;
(b) bahwa selama manusia tidak
mengubah lingkungannya ia belum aman (QS.8:54; QS.13:12).
Layak dicatat pula bahwa Allah
Swt. dalam keempat ayat
pertama Surah Al-Fatihah disebut
dalam bentuk “orang ketiga”, tetapi
dalam ayat 5 I tiba-tiba Dia dipanggil dalam bentuk “orang kedua” (Engkau). Renungan atas keempat Sifat Ilahi -- Ar-Rabb-al-‘alamin , Al-Rahmān, Al-Rahīm
dan Māliki yaumid-dīn -- itu membangkitkan
dalam diri manusia keinginan yang tak
tertahankan untuk dapat melihat Khāliq-nya (Pencipta-nya), begitu mendalam serta kuat hasratnya untuk mempersembahkan pengabdian sepenuh hatinya kepada-Nya, sehingga
untuk memenuhi hasrat jiwanya itu
bentuk “orang ketiga” yang dipakai pada keempat ayat permulaan telah diubah
menjadi bentuk “orang kedua” (Engkau) dalam ayat ini: اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ – “Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan
hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”
Pentingnya Bimbingan
Allah Swt. Agar Tetap Teguh Melangkah (Istiqamah) di “Jalan
yang Lurus” & Makna Orang yang
Mendapat “Nikmat” Allah Swt.
Ayat اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ – “Bimbinglah
kami pada jalan yang
lurus”, doa ini meliputi seluruh keperluan manusia, baik kebendaan
maupun ruhani, untuk masa ini dan masa yang akan datang. Orang
beriman berdoa agar kepadanya ditunjukkan
serta senantiasa dibimbing pada jalan lurus — jalan terpendek. Sebab kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu tetapi ia tidak
dibimbing kepadanya, atau jika pun dibimbing ke sana ia tidak
teguh melangkah pada jalan
itu dan tidak mengikutinya hingga
akhir.
Doa tersebut menghendaki agar
orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu
jalan, atau juga dengan dibimbing
pada jalan itu, tetapi ia harus
senantiasa terus menerus mengikutinya hingga
mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah,
yang berarti menunjukkan jalan yang lurus
(QS.90:11), membimbing ke jalan yang lurus (QS.29:70), dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (QS.7:44) (Al-Mufradat
dan Al-Kulliyat).
Pada hakikatnya, manusia
memerlukan pertolongan Allah Swt.
pada tiap-tiap langkah dan pada setiap
saat, dan sangat perlu sekali baginya agar ia senantiasa mengajukan permohonan kepada-Nya, permohonan yang terkandung dalam ayat ini.
Oleh karena itu doa terus-menerus
itu memang sangat perlu. Selama manusia mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian
dan keperluan-keperluan yang belum
terpenuhi dan tujuan-tujuan yang
belum tercapai maka kita selamanya
memerlukan doa. Itulah makna ayat: اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ – “Bimbinglah
kami pada jalan yang
lurus.”
Makna ayat: صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ -- yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,”
Orang beriman sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha
mencapai kedudukan saat Allah Swt.
mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya.
Ia
melihat kepada contoh-contoh karunia
Ilahi berupa nikmat-nikmat ruhani
yang dianugerahkan kepada para hamba
pilihan Ilahi, lalu memperoleh dorongan
semangat dari mereka. Ia bahkan tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi
ia berusaha keras dan mendoa supaya digolongkan
di antara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara mereka.
Orang-orang yang telah mendapat nikmat
itu telah disebut dalam firman-Nya
berikut ini:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ
عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang
Allāh memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq,
syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati. . Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70).
Orang-orang menolak
nikmat-nikmat ruhani atau martabat-martabat ruhani yang disediakan bagi para pengikut sejati Nabi Besar Muhammad saw.
tersebut (QS.3:32)t maka mereka akan menjadi golongan maghdhūb
(yang dimurkai) atau dhāllīn (yang
tersesat dari Tauhid Ilahi).
Doa صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ -- yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,”
bersifat umum dan tidak untuk sesuatu karunia tertentu. Orang beriman bermohon kepada Allah Swt agar menganugerahkan karunia ruhani yang tertinggi kepadanya, dan terserah kepada Dia untuk menganugerahkan
kepadanya karunia yang dianggap-Nya pantas dan layak bagi orang beriman itu menerimanya.
Tertib yang Sempurna
Ayat-ayat Surah Al-Fatihah
Surah
Al-Fātihah membuka suatu tertib indah
dalam susunan kata-katanya dan kalimat-kalimatnya. Surah ini dapat dibagi dalam
dua bagian yang sama. Separuhnya yang
pertama bertalian dengan Allah Swt. separuhnya yang kedua dengan
manusia, dan tiap bagian bertalian
satu sama lain dengan cara yang sangat menarik.
Berkenaan dengan nama Allah — yang menunjuk kepada Dzat Yang memiliki segala
Sifat mulia yang tersebut dalam bagian pertama — kita dapati kata-kata, “hanya
Engkau kami sembah” dalam bagian yang kedua. Segera setelah seorang 'abid (yang melakukan ibadah)
ingat bahwa Allah Swt. bebas dari segala cacat dan kekurangan dan
memiliki segala Sifat sempurna -- Al-Asmā-ul-husna
(QS.59:23-25) -- maka seruan “hanya Engkau Yang kami sembah” dengan sendrinya timbul dari
hati sanubarinya. Dan sesuai dengan sifat “Tuhan (Rabb) seluruh alam” tercantum kata-kata “kepada Engkau kami mohon pertolongan”
dalam bagian kedua.
Setelah orang Islam mengetahui bahwa Allah Swt. adalah
Khāliq (Pencipta) dan Rabb
(Pemelihara) seluruh alam dan Sumber
dari segala kemajuan, ia segera berlindung
kepada-Nya sambil berkata “kepada
Engkau kami mohon pertolongan”.
Kemudian, sesuai dengan sifat “Ar-Rahmān” — yakni Pemberi karunia tak berbilang dan Pemberi dengan
cuma-cuma segala keperluan kita — tercantum kata-kata “Tunjukilah kami jalan yang lurus” dalam bagian kedua, sebab karunia terbesar yang tersedia
bagi manusia adalah petunjuk yang
disediakan Allah Swt. baginya
dengan menurunkan wahyu dengan perantaraan rasul-rasul-Nya (QS.7:35-37; QS.3:180; QS.42:52-54; QS. 72:27-29).
Sesuai dengan sifat “Ar-Rahīm” —
yakni Pemberi ganjaran terbaik untuk amal perbuatan manusia dalam bagian
pertama — kita jumpai kata-kata Jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” dalam bagian kedua, sebab memang
Ar-Rahīm-lah yang menganugerahkan nikmat-nikmat yang layak bagi
hamba-hamba-Nya yang khas. Demikian pula sesuai dengan Pemilik Hari Pembalasan kita dapatkan
Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula yang sesat.
Apabila terlintas dalam pikiran
manusia bahwa ia harus memberikan pertanggungjawaban
atas amal perbuatannya ia takut
menemui kegagalan, maka dengan merenungkan sifat Pemilik Hari Pembalasan ia
mulai mendoa kepada Allah Swt. supaya ia dipelihara dari murka-Nya
dan dari tersesat dari jalan lurus.
Perangsang dengan Rasa Cinta dan Takut
Sifat khusus lainnya pada doa yang terkandung dalam Surah Al-Fatihah ini yaitu
doa tersebut mengimbau naluri-naluri manusia yang dalam dengan
cara yang wajar sekali. Dalam fitrat
manusia ada dua pendorong yang
merangsangnya untuk berserah diri kepada
Allah Swt. yaitu cinta dan takut.
Sebagian orang tergerak oleh cinta,
sedangkan yang lain terdorong oleh takut. Dorongan cinta memang
lebih mulia, tetapi mungkin ada — dan sungguh-sungguh ada — orang-orang yang
hatinya tidak tergerak oleh cinta, mereka hanya menyerah karena pengaruh takut. Itulah sebabnya Allah Swt.
telah mengutus para Rasul Allah -- terutama Nabi Besar Muhammad saw. –
sebagai basyīran (pemberi kabar
gembira) dan nadzīran (pemberi
peringatan), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
النَّبِیُّ اِنَّاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ نَذِیۡرًا ﴿ۙ﴾ وَّ دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا مُّنِیۡرًا ﴿﴾ وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ
اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Wahai Nabi, اِنَّاۤ
اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ
نَذِیۡرًا -- sesungguhnya
Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan. وَّ دَاعِیًا اِلَی
اللّٰہِ بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا
مُّنِیۡرًا -- Dan
sebagai penyeru kepada Allah
dengan perintah-Nya, dan juga
sebagai matahari yang memancarkan cahaya.
وَ بَشِّرِ
الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا – Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang
beriman bahwa sesungguhnya bagi mereka ada karunia yang besar dari
Allah. (Al-Ahzab [33]:46-48).
Sebagaimana matahari merupakan titik-pusat
alam semesta lahiriah, begitulah pribadi
Nabi Besar Muhammad saw. pun merupakan titik-pusat
alam keruhanian. Beliau saw. merupakan matahari
dalam jumantara nabi-nabi dan mujaddid-mujaddid, yang seperti sekalian
banyak bintang dan bulan berkeliling di sekitar beliau saw. dan meminjam
cahaya dari beliau saw..
Sehubungan dengan kenyataan di alam jasmani, demikian pula di alam
ruhani pun refleksi cahaya keruhanian beliau saw. berlaku juga (QS.4:70:71),
sehingga beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang yang begitu banyak;
siapa pun di antara mereka kamu ikut, kamu akan mendapat petunjuk” (Tafsir Shaghir).
Dalam Surah Al-Fātihah
kedua pendorong manusia itu telah
diimbau. Mula-mula tampil Sifat-sifat Ilahi
yang membangkitkan cinta: Pencipta
dan Pemelihara seluruh alam, Maha
Pemurah dan Maha Penyayang.
Kemudian segera mengikutinya sifat Pemilik
Hari Pembalasan, yang memperingatkan
manusia bahwa bila ia tidak memperbaiki tingkah-lakunya dan
tidak menyambut cinta dengan baik maka ia harus bersedia mempertanggungjawabkan amal perbuatannya
di hadapan Allah Swt.. Dengan
demikian pendorong kepada takut dipergunakan berdampingan dengan
pendorong kepada cinta.
Kesia-siaan Faham “Penebusan Dosa”
Tetapi karena kasih-sayang Allah Swt. jauh mengatasi sifat murka-Nya,
maka Sifat Pemilik Hari Pembalasan ini pun — yang merupakan satu-satunya
sifat pokok yang bertujuan membangkitkan takut — tidak dibiarkan tanpa
menyebut kasih-sayang.
Pada hakikatnya di sini pun kasih-sayang Allah Swt. mengatasi murka-Nya, sebab telah terkandung juga dalam Sifat Mālik (Pemilik) ini bahwa kita tidak akan menghadap
seorang hakim yang harus mentaati hukum, melainkan
menghadap Al-Mālik (Pemilik) hari pembalasan, yaitu Tuhan Yang
berkuasa mengampuni, dan Yang
hanya akan menyiksa bila siksaan itu sangat perlu sekali.
Dengan demikian Sifat Pemilik Hari Pembalasan Allah Swt. menggugurkan kepercayaan
batil “Trinitas” dan “penebusan
dosa” yang diajarkan Paulus
dalam surat-surat kirimannya,
sebagaimana jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. kepada Allah
Swt. mengenai masalah tersebut
(QS.5:117-121).
Pendek kata, Surah Al-Fātihah merupakan khazanah
ilmu ruhani yang menakjubkan. Surah Al-Fatihah adalah
Surah pendek dengan tujuh ayat ringkas tetapi benar-benar merupakan tambang ilmu dan hikmah.
Tepat sekali disebut “Ibu Kitab” sebab Al-Fatihah itu intisari dan saripati
Al-Quran.
Mulai dengan nama Allāh — Sumber
pokok pancaran segala karunia, rahmat dan berkat —
Surah ini melanjutkan penuturan keempat sifat pokok Allah Swt. yakni: (1) Rabb-al-‘ālamīn -- Yang menjadikan dan memelihara seluruh alam; (2)
– Al-Rahmān -- Maha Pemurah Yang
mengadakan jaminan untuk segala keperluan manusia, bahkan sebelum ia dilahirkan
serta tanpa suatu usaha apa pun dari
pihak manusia untuk memperolehnya; (3) Al-Rahīm
-- Maha Penyayang, Yang menetapkan hasil sebaik mungkin amal perbuatan
manusia dan Yang mengganjarnya dengan amat berlimpah-limpah; dan (4) Māliki yaumid-dīn -- Pemilik Hari Pembalasan, di
hadapan-Nya manusia harus mempertanggungjawabkan amal perbuatannya dan Yang
akan menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak akan berlaku terhadap
makhluk-Nya semata-mata sebagai hakim, melainkan sebagai Majikannya Yang melunakkan hukuman dengan kasih-sayang,
dan Yang sangat cenderung mengampuni,
kapan saja pengampunan akan membawa
hasil yang baik.
Pentingnya Memahami
Surah Al-Fatihah
Itulah citra Tuhan Islam —
sebagaimana dikemukakan pada bagian awal sekali
Al-Quran — mengenai Dzat Yang kekuasaan serta kedaulatan-Nya tak ada hingganya dan kasih-sayang serta kemurahan-Nya
tiada batasnya. Kemudian datanglah pernyataan manusia bahwa mengingat Tuhan-nya adalah Pemilik semua Sifat agung dan luhur maka ia bersedia bahkan
berhasrat menyembah Dia dan menjatuhkan diri pada kaki-Nya dalam pengabdian yang sempurna.
Tetapi Allah Swt. mengetahui bahwa manusia itu lemah dan mudah keliru dan tergelincir,
maka Dia mendorong hamba-hamba-Nya agar mohon pertolongan-Nya pada setiap derap langkah majunya dan setiap
keperluan yang dihadapinya. Akhirnya datanglah doa yang padat dan
berjangkauan jauh, suatu doa yang di
dalamnya manusia bermohon kepada Khāliq-nya, untuk membimbingnya ke jalan yang
lurus dalam segala urusan ruhani
dan duniawi, baik mengenai
keperluan-keperluannya sekarang atau pun di hari depan.
Ia mendoa kepada Allah Swt. supaya ia bukan saja dapat menghadapi segala cobaan dan ujian dengan tabah,
tetapi juga selaku “orang-orang terpilih”
menghadapinya dengan cara yang sebaik-baiknya dan menjadi penerima karunia dan berkat
Allah Swt. yang paling banyak dan paling besar, agar ia
selama-lamanya terus melangkah maju
pada jalan yang lurus, maju terus
makin dekat dan lebih dekat lagi kepada Tuhan dan Junjungan-nya,
tanpa terantuk-antuk di perjalanannya, seperti telah terjadi pada banyak dari
antara mereka yang hidup di masa yang lampau, sehingga menjadi magdhūb
(yang dimurkai) dan dhāllīn (yang sesat dari Tauhid Ilahi).
Itulah pokok Surah pembukaan
Al-Quran (Al-Fatihah) yang senantiasa
diulangi dengan suatu bentuk atau cara lain dalam seluruh tubuh Kitab Suci itu (Al-Quran), serta yang tanpa membacanya maka shalat yang didirikan tidak sah.
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 8 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar