Selasa, 09 Juni 2015

Kabar Gembira dan PeringatanDalam Surah Al-Fatihah & Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai "Matahari" Alam Semesta Ruhani




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 72

Kabar Gembira dan Peringatan Dalam    Surah   Al-Fatihah & Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai "Matahari" Alam Semesta Ruhani
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai   hubungan surah Al-Ikhlas dengan kedua Surah terakhir Al-Quran (Al-Falaq dan An-Nās), dalam kedua Surah tersebut Allah Swt. menyatakan bahwa   dalam menda’wahkan Tauhid Ilahi hakiki yang dikemukakan dalam Surah Al-Ikhlas  dikatakan kepada orang-orang beriman,  bahwa dalam menjalankan tugas suci mereka  hendaknya jangan takut kepada si zalim, diktator, atau penguasa, dan harus berpegang kepada keyakinan yang kuat ini, bahwa  Allah Swt. itu Penyelenggara dan Pengawas Tunggal terhadap seluruh alam raya ini, dan Dia mempunyai kekuasaan melindungi hamba-hamba-Nya dari kerugian atau kemudaratan apapun yang mungkin didatangkan kepada mereka oleh kekuatan-kekuatan kegelapan.
    Dalam Surah An-Nās,  tiga sifat Ilahi – Rabb (Tuhan manusia), Malik (Raja manusia), dan Ilah (Sembahan manusia), telah diseru sebagai penanding satu sifat Allah Swt. dalam Surah Al-Falaq yakni Rabb al-Falaq (Tuhan Yang Memiliki fajar),  sebab sifat yang satu ini meliputi ketiga sifat tersebut di atas.
    Sementara satu sifat Ilahi, “Tuhan Yang Memiliki fajar” (Rabb-al-Falaq) telah diseru menandingi empat macam kejahatan dalam Surah sebelumnya, maka dalam Surah ini tiga sifat Ilahi telah diseru menandingi satu kejahatan saja, yaitu  bisikan Si Jahat yakni khanas. Hal itu disebabkan ajakan-ajakan atau bisikan-bisikan syaitan meliputi segala kejahatan.
     Ketiga-tiga sifat Ilahi --  Rabb, Mālik, Ilāh   -- itu mempunyai perhubungan yang halus sekali (latif) dengan keadaan tabiat alami, akhlak, dan ruhani manusia. Perkembangan jasmani dan akhlak manusia terjadi di bawah sifat Rabb; pikiran, perkataan, serta perbuatan disiksa atau diganjar oleh sifat Mālik; dan sifat Ilāh berarti  Tuhan adalah obyek cinta dan pujaannya; Dia adalah tujuan dan cita-citanya.
     Sebutan ketiga Sifat Ilahi dalam Surah An-Nās  ini mengandung arti, bahwa semua dosa bersumber pada tiga sebab, yaitu   jika seseorang memandang orang lain sebagai majikannya, rajanya, atau tuhan-nya, yakni  bila ia menganggap dia penopang dan pendukung utama hidupnya, atau menghambakan diri kepada kekuasaan yang bukan haknya, atau menjadikan dia tujuan cinta dan pujaannya.

Al-khannās Sebutan Lain Fitnah Dajjal, Si Pendusta yang Matanya Buta Sebelah

     Orang beriman  diperintahkan di sini agar hanya menghadapkan wajah kepada Tuhan   (Allah Swt.) semata-mata sebagai Penjamin (Rabb) hidupnya yang hakiki, agar hanya kepada-Nya belaka memperlihatkan ketaatan sejati dan tanpa bersyarat dan agar hanya Dia-lah Yang dijadikan tujuan sebenarnya bagi cinta dan pemujaannya.
  Atau, ia diperintahkan dalam ayat ini supaya senantiasa memohon perlindungan terhadap tindak perampasan hak oleh kaum kapitalis, penguasa-penguasa zalim dan golongan pemimpin agama yang licik, yang sambil mengambil keuntungan secara tidak wajar dari rakyat jelata yang polos dan berpikiran sederhana dengan memeras mereka tanpa belas kasihan.
  Si Jahat al-khannās    -- yakni Dajjal  dengan fitnah-fitnahnya yang berbahaya    -- membisikkan pikiran-pikiran jahat ke dalam hati golongan jin (orang-orang besar) maupun golongan nās (orang-orang awam), tanpa seorang pun terkecuali. Atau, ayat ini dapat juga berarti bahwa si pembisik pikiran jahat itu terdapat di antara golongan jin (orang-orang besar) dan orang-orang awam, sebagaimana  firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّکُمۡ  وَ اخۡشَوۡا یَوۡمًا  لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ  ہُوَ  جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا ؕ اِنَّ وَعۡدَ اللّٰہِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَا ٝ وَ لَا یَغُرَّنَّکُمۡ  بِاللّٰہِ الۡغَرُوۡرُ ﴿﴾  اِنَّ اللّٰہَ عِنۡدَہٗ  عِلۡمُ  السَّاعَۃِ ۚ وَ  یُنَزِّلُ الۡغَیۡثَ ۚ وَ یَعۡلَمُ مَا فِی الۡاَرۡحَامِ ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌ مَّاذَا تَکۡسِبُ غَدًا ؕ وَ مَا تَدۡرِیۡ نَفۡسٌۢ بِاَیِّ  اَرۡضٍ تَمُوۡتُ ؕ اِنَّ  اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿٪﴾
Hai  manusia, bertakwalah kepada  Rabb (Tuhan) kamu وَ اخۡشَوۡا یَوۡمًا  لَّا یَجۡزِیۡ وَالِدٌ عَنۡ وَّلَدِہٖ ۫ وَ لَا مَوۡلُوۡدٌ  ہُوَ  جَازٍ عَنۡ وَّالِدِہٖ شَیۡئًا   -- dan takutlah akan  Hari  ketika seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan tidak pula seorang anak dapat menolong ayahnya sedikitpun.  اِنَّ وَعۡدَ اللّٰہِ حَقٌّ  -- Sesungguhnya janji Allah itu benar,  فَلَا تَغُرَّنَّکُمُ الۡحَیٰوۃُ الدُّنۡیَا  -- maka janganlah sampai kehidupan dunia memperdayakan kamu, وَ لَا یَغُرَّنَّکُمۡ  بِاللّٰہِ الۡغَرُوۡرُ   -- dan jangan pula si penipu itu  menipu kamu mengenai Allah.   (Luqman [31]:34).
        Dengan demikian terjawab pulalah hubungan antara sebutan maghdhūb dan dhāllīn dalam ayat terakhir Surah Al-Fatihah dengan kejahatan  kewaswasan yang dibisikan oleh al-khannās  atau fitnah Dajjal   -- si pendusta yang matanya buta sebelah   --  dimana para ulama salaf (terdahulu) sepakat mengartikan maghdhūb (orang yang dimurkai) dan dhāllīn  (yang sesat dari Tauhid Ilahi) adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani (Kristen), karena kedua golongan dari kalangan Bani Israil itu secara bertolak-belakang telah melampaui-batas berkenaan dengan Tuhan (Allah Swt.) dan para Rasul Allah (QS.2:88-90; QS.9:30-35), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾  الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿﴾
Aku baca dengan  nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Segala  puji hanya bagi  Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam,  Maha Pemurah,  Maha Pe-nyayang.  Pemilik   Hari   Pembalasan.  اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ -- Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan  hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ  Bimbinglah kami  pada jalan yang lurus, صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ   --    yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ --  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat.  (Al-Fatihah [1]:1-7). 

Manusia Senantiasa Memerlukan Pertolongan Allah Swt.

        Kata-kata “Hanya Engkau-lah Yang kami sembah” telah ditempatkan sebelum kata-kata “hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan”, untuk menunjukkan bahwa sesudah orang mengetahui  makrifat Ilahi berupa kesempurnaan Sifat-sifat Allah Swt., maka dorongan pertama yang timbul dalam hatinya ialah beribadah kepada-Nya, sesuai dengan tujuan utama diciptakan-Nya umat manusia (QS.51:57).
        Pikiran untuk mohon pertolongan Allah Swt.   datang sesudah adanya dorongan untuk beribadah. Orang ingin beribadah kepada Allah Swt.   tetapi ia menyadari bahwa untuk berbuat demikian ia memerlukan pertolongan-Nya    -- bukan memerlukan  penebusan dosa dari siapa pun  --   (QS.2: 46-47 &154-158)
       Pemakaian bentuk jamak (kami) dalam ayat   اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ – “Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan  hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”  mengarahkan perhatian kita kepada dua pokok yang sangat penting:
       (a) bahwa manusia tidak hidup seorang diri di bumi ini, melainkan ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat di sekitarnya, karena itu ia hendaknya berusaha jangan berjalan sendiri, tetapi harus menarik orang-orang lain juga bersama dia melangkah di jalan Allah;
      (b) bahwa selama manusia tidak mengubah lingkungannya ia belum aman (QS.8:54; QS.13:12).
         Layak dicatat pula bahwa  Allah Swt.  dalam keempat ayat pertama Surah Al-Fatihah disebut dalam  bentuk “orang ketiga”, tetapi dalam ayat 5 I tiba-tiba Dia dipanggil dalam bentuk “orang kedua” (Engkau). Renungan atas keempat Sifat Ilahi    -- Ar-Rabb-al-‘alamin , Al-Rahmān, Al-Rahīm dan Māliki yaumid-dīn -- itu  membangkitkan dalam diri manusia keinginan yang tak tertahankan untuk dapat melihat Khāliq-nya (Pencipta-nya),   begitu mendalam serta kuat hasratnya untuk mempersembahkan pengabdian sepenuh hatinya kepada-Nya, sehingga untuk memenuhi hasrat jiwanya itu bentuk “orang ketiga” yang dipakai pada keempat ayat permulaan telah diubah menjadi bentuk “orang kedua” (Engkau) dalam ayat ini: اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ – “Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan  hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”  

Pentingnya   Bimbingan  Allah Swt. Agar Tetap Teguh Melangkah (Istiqamah)  di    Jalan yang Lurus  & Makna Orang yang Mendapat  Nikmat” Allah Swt.

         Ayat  اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ  “Bimbinglah kami  pada jalan yang lurus”,   doa  ini meliputi seluruh keperluan manusia, baik  kebendaan maupun  ruhani, untuk masa ini dan masa yang akan datang. Orang beriman  berdoa agar kepadanya ditunjukkan serta senantiasa dibimbing pada jalan lurusjalan terpendek. Sebab kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu  tetapi ia tidak dibimbing  kepadanya,  atau jika pun dibimbing ke sana  ia tidak  teguh melangkah pada jalan itu dan tidak mengikutinya hingga akhir.
        Doa tersebut menghendaki agar orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu jalan, atau juga dengan dibimbing pada jalan itu, tetapi ia harus senantiasa terus menerus mengikutinya hingga mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah, yang berarti menunjukkan jalan yang lurus (QS.90:11), membimbing ke jalan yang lurus (QS.29:70), dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (QS.7:44)  (Al-Mufradat dan Al-Kulliyat).
        Pada hakikatnya, manusia memerlukan pertolongan Allah Swt.   pada tiap-tiap langkah dan pada setiap saat, dan sangat perlu sekali baginya agar ia senantiasa mengajukan permohonan kepada-Nya,   permohonan yang terkandung dalam ayat ini.
   Oleh karena itu doa terus-menerus itu memang sangat perlu. Selama manusia mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian dan keperluan-keperluan yang belum terpenuhi dan tujuan-tujuan yang belum tercapai maka kita selamanya memerlukan doa. Itulah makna ayat: اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ  “Bimbinglah kami  pada jalan yang lurus.”
         Makna ayat: صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ   --  yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,” Orang beriman  sejati tidak akan puas hanya dengan dibimbing ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal shalih tertentu saja. Ia menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Allah Swt.   mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya.
         Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi berupa nikmat-nikmat ruhani yang dianugerahkan kepada para hamba pilihan Ilahi, lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka. Ia bahkan tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi ia berusaha keras dan mendoa supaya digolongkan di antara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara mereka.
       Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu telah disebut dalam  firman-Nya berikut ini:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allāh memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka  itulah sahabat yang sejati.  . Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā [4]:70).
          Orang-orang  menolak  nikmat-nikmat ruhani atau martabat-martabat ruhani  yang disediakan bagi para pengikut sejati Nabi Besar Muhammad saw. tersebut (QS.3:32)t   maka  mereka akan menjadi  golongan maghdhūb (yang dimurkai) atau dhāllīn (yang tersesat dari Tauhid Ilahi).
         Doa  صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ   --  yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,”  bersifat  umum dan tidak untuk sesuatu karunia tertentu. Orang beriman  bermohon kepada Allah Swt  agar menganugerahkan karunia ruhani yang tertinggi kepadanya, dan terserah kepada Dia untuk menganugerahkan kepadanya karunia yang dianggap-Nya pantas dan layak bagi orang beriman itu menerimanya.

Tertib yang Sempurna Ayat-ayat Surah Al-Fatihah

         Surah Al-Fātihah membuka suatu tertib indah dalam susunan kata-katanya dan kalimat-kalimatnya. Surah ini dapat dibagi dalam dua bagian yang sama. Separuhnya yang pertama bertalian dengan Allah Swt. separuhnya yang kedua dengan manusia, dan tiap bagian bertalian satu sama lain dengan cara yang sangat menarik.
        Berkenaan dengan nama  Allah  — yang menunjuk kepada Dzat Yang memiliki segala Sifat mulia yang tersebut dalam bagian pertama — kita dapati kata-kata, “hanya Engkau kami sembah” dalam bagian yang kedua. Segera setelah  seorang 'abid (yang melakukan ibadah) ingat bahwa Allah Swt.  bebas dari segala cacat dan kekurangan dan memiliki segala Sifat sempurna  -- Al-Asmā-ul-husna (QS.59:23-25)   --  maka seruan “hanya Engkau Yang  kami sembah” dengan sendrinya timbul dari hati sanubarinya. Dan sesuai dengan sifat  “Tuhan (Rabb)  seluruh alam”  tercantum kata-kata  “kepada Engkau kami mohon pertolongan” dalam bagian kedua.
Setelah orang Islam mengetahui bahwa Allah Swt.  adalah  Khāliq (Pencipta) dan Rabb (Pemelihara) seluruh alam dan Sumber dari segala kemajuan, ia segera berlindung kepada-Nya sambil berkata  kepada Engkau kami mohon pertolongan”.
        Kemudian, sesuai dengan sifat “Ar-Rahmān” — yakni Pemberi karunia tak berbilang dan Pemberi dengan cuma-cuma segala keperluan kita — tercantum kata-kata   Tunjukilah kami jalan yang lurus”  dalam bagian kedua, sebab karunia terbesar yang tersedia bagi manusia adalah  petunjuk yang disediakan Allah Swt. baginya dengan menurunkan wahyu dengan perantaraan rasul-rasul-Nya (QS.7:35-37; QS.3:180; QS.42:52-54; QS. 72:27-29).
          Sesuai dengan sifat “Ar-Rahīm”  yakni Pemberi ganjaran terbaik untuk amal perbuatan manusia dalam bagian pertama — kita jumpai kata-kata  Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” dalam bagian kedua, sebab memang Ar-Rahīm-lah yang menganugerahkan nikmat-nikmat yang layak bagi hamba-hamba-Nya yang khas. Demikian pula sesuai dengan  Pemilik Hari Pembalasan  kita dapatkan  Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula yang sesat.  
       Apabila  terlintas dalam pikiran manusia bahwa ia harus memberikan pertanggungjawaban atas amal perbuatannya ia takut menemui kegagalan, maka dengan merenungkan sifat Pemilik Hari Pembalasan ia mulai mendoa kepada Allah Swt.  supaya ia dipelihara dari murka-Nya dan dari  tersesat  dari jalan lurus.

Perangsang dengan  Rasa Cinta dan Takut

          Sifat khusus lainnya pada doa yang terkandung dalam Surah Al-Fatihah  ini yaitu  doa tersebut mengimbau naluri-naluri manusia yang dalam dengan cara yang wajar sekali. Dalam fitrat manusia ada dua pendorong yang merangsangnya untuk berserah diri kepada Allah Swt. yaitu  cinta dan takut.
            Sebagian orang tergerak oleh cinta, sedangkan yang lain terdorong oleh takut. Dorongan cinta memang lebih mulia, tetapi mungkin ada — dan sungguh-sungguh ada — orang-orang yang hatinya tidak tergerak oleh cinta, mereka hanya menyerah karena pengaruh takut. Itulah sebabnya Allah Swt. telah mengutus para Rasul Allah   -- terutama Nabi Besar Muhammad saw. – sebagai basyīran (pemberi kabar gembira) dan nadzīran (pemberi peringatan), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ  اِنَّاۤ  اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ  نَذِیۡرًا ﴿ۙ﴾ وَّ دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ  بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا مُّنِیۡرًا ﴿﴾  وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا ﴿﴾
Wahai Nabi, اِنَّاۤ  اَرۡسَلۡنٰکَ شَاہِدًا وَّ مُبَشِّرًا وَّ  نَذِیۡرًا   -- sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.  وَّ دَاعِیًا اِلَی اللّٰہِ  بِاِذۡنِہٖ وَ سِرَاجًا مُّنِیۡرًا --    Dan  sebagai penyeru kepada Allah dengan perintah-Nya, dan juga sebagai matahari yang memancarkan cahaya. وَ بَشِّرِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ بِاَنَّ لَہُمۡ مِّنَ اللّٰہِ فَضۡلًا کَبِیۡرًا    Dan berilah kabar gembira  kepada orang-orang beriman  bahwa sesungguhnya bagi mereka ada karunia yang besar dari Allah. (Al-Ahzab [33]:46-48).
         Sebagaimana matahari merupakan titik-pusat alam semesta lahiriah, begitulah pribadi Nabi Besar Muhammad saw. pun merupakan titik-pusat alam keruhanian. Beliau saw. merupakan matahari dalam jumantara nabi-nabi dan mujaddid-mujaddid, yang seperti sekalian banyak bintang dan bulan berkeliling di sekitar beliau  saw. dan meminjam cahaya dari beliau saw..
         Sehubungan dengan  kenyataan di alam jasmani,   demikian pula  di alam ruhani pun   refleksi cahaya keruhanian beliau saw. berlaku juga (QS.4:70:71), sehingga beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Sahabat-sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang yang begitu banyak; siapa pun di antara mereka kamu ikut, kamu akan mendapat petunjuk” (Tafsir Shaghir).
        Dalam Surah  Al-Fātihah kedua pendorong manusia itu telah diimbau. Mula-mula tampil Sifat-sifat Ilahi yang membangkitkan cinta:  Pencipta dan Pemelihara seluruh alam,  Maha Pemurah dan  Maha Penyayang. Kemudian segera mengikutinya sifat  Pemilik Hari Pembalasan, yang memperingatkan manusia bahwa  bila ia tidak memperbaiki tingkah-lakunya dan tidak menyambut cinta dengan baik maka ia harus bersedia mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah Swt..   Dengan demikian pendorong kepada  takut dipergunakan berdampingan dengan pendorong kepada cinta.

Kesia-siaan Faham  Penebusan Dosa

         Tetapi  karena kasih-sayang Allah Swt.   jauh mengatasi sifat murka-Nya, maka Sifat Pemilik Hari Pembalasan ini pun — yang merupakan satu-satunya sifat pokok yang bertujuan membangkitkan takut — tidak dibiarkan tanpa menyebut kasih-sayang.
        Pada hakikatnya di sini pun kasih-sayang Allah Swt.  mengatasi murka-Nya, sebab telah terkandung juga dalam Sifat Mālik  (Pemilik) ini bahwa kita tidak akan menghadap seorang hakim  yang harus mentaati hukum, melainkan menghadap Al-Mālik (Pemilik) hari pembalasan, yaitu Tuhan Yang berkuasa mengampuni,  dan Yang hanya akan menyiksa bila siksaan itu sangat perlu sekali.
        Dengan demikian Sifat Pemilik Hari Pembalasan Allah Swt. menggugurkan kepercayaan batil  Trinitas” dan “penebusan dosa  yang diajarkan Paulus dalam surat-surat kirimannya,  sebagaimana jawaban Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. kepada Allah Swt.  mengenai masalah tersebut (QS.5:117-121).
       Pendek kata, Surah Al-Fātihah  merupakan khazanah ilmu ruhani yang menakjubkan. Surah Al-Fatihah  adalah  Surah pendek dengan tujuh ayat ringkas tetapi  benar-benar merupakan tambang ilmu dan hikmah. Tepat sekali disebut “Ibu Kitab” sebab  Al-Fatihah itu intisari dan saripati Al-Quran.
          Mulai dengan nama Allāh — Sumber pokok pancaran segala karunia, rahmat dan berkat       Surah ini melanjutkan penuturan keempat sifat pokok Allah Swt.  yakni: (1) Rabb-al-‘ālamīn -- Yang menjadikan dan memelihara seluruh alam; (2) – Al-Rahmān -- Maha Pemurah Yang mengadakan jaminan untuk segala keperluan manusia, bahkan sebelum ia dilahirkan serta  tanpa suatu usaha apa pun dari pihak manusia untuk memperolehnya; (3) Al-Rahīm -- Maha Penyayang, Yang menetapkan hasil sebaik mungkin amal perbuatan manusia dan Yang mengganjarnya dengan amat berlimpah-limpah; dan (4) Māliki yaumid-dīn   -- Pemilik Hari Pembalasan, di hadapan-Nya manusia harus mempertanggungjawabkan amal perbuatannya dan Yang akan menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak akan berlaku terhadap makhluk-Nya semata-mata sebagai hakim, melainkan sebagai Majikannya  Yang melunakkan hukuman dengan kasih-sayang, dan Yang sangat cenderung mengampuni, kapan saja pengampunan akan membawa hasil yang baik.

Pentingnya Memahami Surah Al-Fatihah

          Itulah citra Tuhan Islam — sebagaimana dikemukakan pada bagian awal sekali  Al-Quran — mengenai Dzat Yang kekuasaan serta kedaulatan-Nya tak ada hingganya dan kasih-sayang serta kemurahan-Nya tiada batasnya. Kemudian datanglah pernyataan manusia bahwa mengingat Tuhan-nya  adalah Pemilik semua Sifat agung dan luhur  maka ia bersedia  bahkan  berhasrat menyembah Dia dan menjatuhkan diri pada kaki-Nya dalam pengabdian yang sempurna.
       Tetapi Allah Swt.  mengetahui bahwa manusia itu lemah dan mudah keliru dan tergelincir, maka Dia mendorong hamba-hamba-Nya agar mohon pertolongan-Nya pada setiap derap langkah majunya dan setiap keperluan yang dihadapinya. Akhirnya datanglah doa  yang padat dan berjangkauan jauh, suatu doa yang di dalamnya manusia bermohon kepada Khāliq-nya, untuk membimbingnya ke jalan yang lurus dalam segala urusan ruhani dan duniawi, baik mengenai keperluan-keperluannya sekarang atau pun di hari depan.
          Ia mendoa kepada Allah Swt.   supaya ia bukan saja dapat menghadapi segala cobaan dan ujian dengan tabah, tetapi juga selaku “orang-orang terpilih” menghadapinya dengan cara yang sebaik-baiknya dan menjadi penerima karunia dan berkat Allah Swt. yang paling banyak dan paling besar, agar ia selama-lamanya terus melangkah maju pada jalan yang lurus, maju terus makin dekat dan lebih dekat lagi kepada Tuhan dan Junjungan-nya, tanpa terantuk-antuk di perjalanannya, seperti telah terjadi pada banyak dari antara mereka yang hidup di masa yang lampau, sehingga menjadi magdhūb  (yang dimurkai) dan dhāllīn  (yang sesat dari Tauhid Ilahi).
       Itulah pokok Surah pembukaan Al-Quran  (Al-Fatihah) yang senantiasa diulangi dengan suatu bentuk atau cara lain dalam seluruh tubuh Kitab Suci itu (Al-Quran), serta yang tanpa membacanya maka shalat yang didirikan tidak sah.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  8  Juni    2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar