Rabu, 10 Juni 2015

Berbagai Penyebab Pendustaan Golongan Ahli Kitab Terhadap Kebenaran Pendakwaan Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai "Nabi yang Seperti Musa" atau "Dia yang Datang Dalam Nama Tuhan" atau "Roh Kebenaran"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 73


Berbagai Penyebab Terjadinya Pendustaan Golongan Ahli Kitab Terhadap Kebenaran Pendakwaan Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai “Nabi yang Seperti Musa atau “Dia yang Datang Dalam Nama Tuhan” atau “Roh  Kebenaran
 
   Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai   Surah Al-Fātihah yang  merupakan khazanah ilmu ruhani yang menakjubkan. Surah Al-Fatihah  adalah  Surah pendek dengan tujuh ayat ringkas tetapi  benar-benar merupakan tambang ilmu dan hikmah. Tepat sekali disebut “Ibu Kitab” sebab  Al-Fatihah itu intisari dan saripati Al-Quran, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنٰکَ سَبۡعًا مِّنَ الۡمَثَانِیۡ  وَ الۡقُرۡاٰنَ  الۡعَظِیۡمَ ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar  telah memberikan  kepada engkau tujuh ayat  yang selalu diulang-ulang dan Al-Quran yang agung  (Al-Hijr [15]:88).
        Menurut para ahli terkemuka seperti   Umar bin Khaththab r.a., Ali bin Abi Thalib r.a.,   Ibn Abbas r.a., dan Ibn Mas’ud  r.a., kata-kata  سَبۡعًا مِّنَ الۡمَثَانِیۡ  -- “tujuh ayat  yang selalu diulang-ulang” itu menunjuk kepada Surah pembukaan Al-Quran, yakni Al-Fatihah, sebab Surah itu diulang-ulangi dan dibaca dalam tiap-tiap rakaat shalat. Menurut riwayat, Nabi Besar Muhammad saw.  pernah bersabda, bahwa Assab ‘almatsani  adalah Surah pembukaan Al-Quran (Bukhari).

Surah Al-Fatihah Merupakan  Ummul-Quran (Induk Al-Quran)

       Surah Al-Fatihah   disebut juga “Induk Quran” (Ummul-qur’an) dan “Surah pembukaan Al-Quran”. Menurut Zajjaj dan Abu Hayyan, Surah pembukaan itu diberi nama Assab ‘almatsani, sebab Surah itu mengandung puji-pujian kepada Allah Swt.. Surah-surah Al-Quran lainnya yang menyusul Surah pembukaan itu telah disebut “Al-Quran yang agung” (Al-Quranul’azhim).
        Akan tetapi  nama “Al-Quran yang agung” itu ditujukan juga kepada Surah Al-Fatihah, karena merupakan bagian Kitab Al-Quran   dapat pula benar-benar disebut kitab itu juga. Ada sebuah hadits beliau saw.  yang menyatakan bahwa Surah pembukaan Al-Quran pun disebut “Al-Quran yang agung” (Musnad Ahmad, jilid 2 hlm. 448).
         Pada hakikatnya, Surah Al-Fatihah merupakan ikhtisar seluruh Al-Quran, atau seperti pernah juga disebut, Surah itu “Al-Quran dalam bentuk kecil” karena Quran itu dalam keseluruhannya diikhtisarkan dan diintisarikan di dalamnya. Karena matsani pun merupakan jamak dari matsna yang berarti puji-pujian, maka ayat ini akan berarti, bahwa Surah Al Fatihah memberikan penjelasan yang lengkap tentang Sifat-sifat Allah Swt.. Matsani juga berarti sebuah belokan pada lembah, ayat ini berarti bahwa Al-Fatihah menerangkan sepenuhnya hubungan  Allah Swt. dengan manusia.
       Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab sebelumnya bahwa mulai dengan nama Allah — Sumber pokok pancaran segala karunia, rahmat dan berkat       Surah ini melanjutkan penuturan keempat sifat pokok Allah Swt.  yakni: (1) Rabb-al-‘ālamīn -- Yang menjadikan dan memelihara seluruh alam; (2) – Al-Rahmān -- Maha Pemurah Yang mengadakan jaminan untuk segala keperluan manusia, bahkan sebelum ia dilahirkan serta  tanpa suatu usaha apa pun dari pihak manusia untuk memperolehnya; (3) Al-Rahīm -- Maha Penyayang, Yang menetapkan hasil sebaik mungkin amal perbuatan manusia dan Yang mengganjarnya dengan amat berlimpah-limpah; dan (4) Māliki yaumid-dīn   -- Pemilik Hari Pembalasan, di hadapan-Nya manusia harus mempertanggungjawabkan amal perbuatannya dan Yang akan menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak akan berlaku terhadap makhluk-Nya semata-mata sebagai hakim, melainkan sebagai Majikannya  Yang melunakkan hukuman dengan kasih-sayang, dan Yang sangat cenderung mengampuni, kapan saja pengampunan akan membawa hasil yang baik.

Pentingnya Memahami Surah Al-Fatihah

        Itulah citra Tuhan Islam — sebagaimana dikemukakan pada bagian awal sekali  Al-Quran — mengenai Dzat Yang kekuasaan serta kedaulatan-Nya tak ada hingganya dan kasih-sayang serta kemurahan-Nya tiada batasnya. Kemudian datanglah pernyataan manusia bahwa mengingat Tuhan-nya  adalah Pemilik semua Sifat agung dan luhur  maka ia bersedia  bahkan  berhasrat menyembah Dia dan menjatuhkan diri pada kaki-Nya dalam pengabdian yang sempurna.
      Tetapi Allah Swt.  mengetahui bahwa manusia itu lemah dan mudah keliru dan tergelincir, maka Dia mendorong hamba-hamba-Nya agar mohon pertolongan-Nya pada setiap derap langkah majunya dan setiap keperluan yang dihadapinya. Akhirnya datanglah doa  yang padat dan berjangkauan jauh, suatu doa yang di dalamnya manusia bermohon kepada Khāliq-nya, untuk membimbingnya ke jalan yang lurus dalam segala urusan ruhani dan duniawi, baik mengenai keperluan-keperluannya sekarang atau pun di hari depan.
         Ia mendoa kepada Allah Swt.   supaya ia bukan saja dapat menghadapi segala cobaan dan ujian dengan tabah, tetapi juga selaku “orang-orang terpilih” menghadapinya dengan cara yang sebaik-baiknya dan menjadi penerima karunia dan berkat Allah Swt. yang paling banyak dan paling besar, agar ia selama-lamanya terus melangkah maju pada jalan yang lurus, maju terus makin dekat dan lebih dekat lagi kepada Tuhan dan Junjungan-nya, tanpa terantuk-antuk di perjalanannya, seperti telah terjadi pada banyak dari antara mereka yang hidup di masa yang lampau, sehingga menjadi magdhūb  (yang dimurkai) dan dhāllīn  (yang sesat dari Tauhid Ilahi).
         Itulah pokok Surah pembukaan Al-Quran  (Al-Fatihah) yang senantiasa diulangi dengan suatu bentuk atau cara lain dalam seluruh tubuh Kitab Suci itu (Al-Quran), serta yang tanpa membacanya maka shalat yang didirikan tidak sah, firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾  الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿﴾
Aku baca dengan  nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.    Segala  puji hanya bagi  Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam,  Maha Pemurah,  Maha Pe-nyayang.  Pemilik   Hari   Pembalasan.  اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ -- Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan  hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ  Bimbinglah kami  pada jalan yang lurus, صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ   --    yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,  غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ --  bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka  yang sesat.  (Al-Fatihah [1]:1-7).
      Kembali kepada pembahasan  Surah Al-Ankabūt    dalam Blog ini, yaitu  ayat mengenai   berda’wah kepada golongan Ahli Kitab, bahwa  sangat penting bagi  umat Islam untuk terlebih dulu  memahami Al-Quran   -- terutama hubungan antara Surah Al-Fatihah   dengan tiga Surah terakhir Al-Quran  --   Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nās    -- firman-Nya:
اُتۡلُ مَاۤ  اُوۡحِیَ  اِلَیۡکَ مِنَ الۡکِتٰبِ وَ اَقِمِ الصَّلٰوۃَ ؕ اِنَّ الصَّلٰوۃَ  تَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ  وَ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ لَذِکۡرُ اللّٰہِ اَکۡبَرُ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُوۡنَ ﴿﴾  وَ لَا تُجَادِلُوۡۤا اَہۡلَ الۡکِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ  اَحۡسَنُ ٭ۖ اِلَّا  الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡہُمۡ  وَ قُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا بِالَّذِیۡۤ اُنۡزِلَ  اِلَیۡنَا وَ اُنۡزِلَ اِلَیۡکُمۡ وَ اِلٰـہُنَا وَ اِلٰـہُکُمۡ وَاحِدٌ  وَّ  نَحۡنُ  لَہٗ  مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Bacakanlah  apa yang diwahyukan kepada engkau dari Kitab Al-Quran itu, dan dirikanlah shalat sesungguhnya shalat mencegah dari kekejian serta kemungkaran. Dan  mengingat Allah benar-benar pekerjaan yang lebih besar, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.  وَ لَا تُجَادِلُوۡۤا اَہۡلَ الۡکِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ  اَحۡسَنُ --   Dan janganlah kamu berbantah dengan Ahlikitab  melainkan   dengan dalil-dalil yang paling baik,  اِلَّا  الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡہُمۡ   -- kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka. Dan katakanlah: “Kami beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan yang telah diturunkan kepada kamu, وَ اِلٰـہُنَا وَ اِلٰـہُکُمۡ وَاحِدٌ   --    Tuhan  kami dan  Tuhan  kamu itu Esa,   dan   kepada-Nya kami berserah diri  (Al-Ankabūt [29]:46-47).

Nubuatan Mengenai  Nabi Besar Muhammad Saw. dan Al-Quran Tercantum  Dalam Kitab-kitab Sebelumnya

     Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai orang-orang dari golongan Ahli Kitab yang beriman kepada Al-Quran:
وَ کَذٰلِکَ  اَنۡزَلۡنَاۤ  اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ ؕ فَالَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ یُؤۡمِنُوۡنَ بِہٖ ۚ وَ مِنۡ ہٰۤؤُلَآءِ  مَنۡ یُّؤۡمِنُ بِہٖ ؕ وَ مَا یَجۡحَدُ  بِاٰیٰتِنَاۤ  اِلَّا الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾
Dan demikianlah Kami menurunkan kepada engkau Kitab Al-Quran, maka orang-orang yang Kami telah berikan  Kitab  kepada mereka, mereka beriman kepadanya, dan dari antara orang-orang Mekkah sebagian dari mereka beriman kepadanya. Dan tidak ada yang menolak Tanda-tanda Kami kecuali orang-orang kafir (Al-Ankabūt [29]:48).
            Ada pun kalimat وَ مَا یَجۡحَدُ  بِاٰیٰتِنَاۤ  اِلَّا الۡکٰفِرُوۡنَ -- “Dan tidak ada yang menolak Tanda-tanda Kami kecuali orang-orang kafir” tertuju kepada orang-orang   yang mendustakan dan menolak beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran, padahal  nubuatan mengenai hal  tersebut tercantum dalam Kitab-kitab suci mereka, firman-Nya:
وَ  اِنَّہٗ   لَتَنۡزِیۡلُ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ  نَزَلَ  بِہِ  الرُّوۡحُ  الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ۙ  عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾  بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ؕ وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿﴾  اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam. نَزَلَ  بِہِ  الرُّوۡحُ  الۡاَمِیۡنُ   -- Telah turun dengannya  Ruh yang terpercaya,  عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ  --    atas kalbu engkau,  supaya engkau termasuk di antara para pemberi peringatan, بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ --   dengan bahasa Arab yang jelas.  وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ   -- Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. اَوَ لَمۡ  یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً  اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ  --   Dan tidakkah ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:193-198).
        Ayat ini bermaksud mengatakan bahwa wahyu Al-Quran bukanlah suatu gejala baru. Seperti amanat-amanat para nabi Allah yang telah diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw., amanat Al-Quran juga telah diwahyukan oleh Allah Swt. kepada beliau saw., tetapi dengan perbedaan bahwa nabi-nabi terdahulu dikirim kepada kaum masing-masing (QS.15:11), sedang Al-Quran diturunkan untuk seluruh bangsa di dunia (QS.21:108), sebab Al-Quran:   لَتَنۡزِیۡلُ  رَبِّ  الۡعٰلَمِیۡنَ  --  “benar-benar diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.”

Turunnya Ruhul-Amīn  (Ruh yang Terpercaya) kepada Al-Amīin (Orang yang Terpercaya)

          Dalam ayat 194  malaikat yang membawa wahyu Al-Quran disebut Rūhul-amīn, yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103), yakni ruh suci. Nama kehormatan  Rūhul-qudus bagi Malaikat Jibril a.s.  dipergunakan dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada kebebasan yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan atau noda; dan penggunaan nama kehormatan  Rūhul-Amīn  mengandung arti, bahwa Al-Quran akan terus-menerus mendapat perlindungan Ilahi terhadap segala usaha yang merusak keutuhan teksnya, firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya  Kami-lah Yang  menurunkan peringatan ini, dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya  (Al-Hijr [15]:10).
Nama kehormatan Rūhul-amīn ini secara khusus telah dipergunakan berkenaan dengan wahyu Al-Quran, sebab janji pemeliharaan Ilahi yang kekal-abadi tidak diberikan kepada kitab-kitab suci lainnya; sehingga kata-kata dalam kitab-kitab  suci itu   -- oleh karena berlalunya masa yang panjang  -- telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
         Sungguh mengherankan, bahwa di Mekkah  Nabi Besar Muhammad saw. sendiri dikenal sebagai Al-Amīn (si benar; terpercaya). Betapa besar penghormatan Ilahi dan betapa besar kesaksian mengenai keterpercayaan Al-Quran, karena wahyu Al-Quran dibawa oleh Rūhul-amīn (Ruh yang terpercaya) yakni Malaikat Jibrail kepada seorang amin (terpercaya) yakni Nabi Besar Muhammad saw..
         Kata-kata  عَلٰی قَلۡبِکَ  -- “atas kalbu engkau” telah dibubuhkan untuk mengatakan  bahwa wahyu-wahyu Al-Quran bukan   gagasan yang dicetuskan Nabi Besar Muhammad saw.   dengan perkataan beliau saw. sendiri, melainkan benar-benar Kalam Allah Swt.  Sendiri (QS.53:1-11), yang turun kepada hati beliau saw. dengan perantaraan Malaikat Jibrail a.s..
        Makna ayat  وَ  اِنَّہٗ  لَفِیۡ  زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ   --  Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab  terdahulu”. Hal diutusnya Nabi Besar Muhammad saw.  dan hal turunnya Al-Quran, kedua-duanya telah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci terdahulu. Kabar-kabar gaib tentang itu kita dapati dalam Kitab-kitab hampir setiap agama, akan tetapi Bible — yang merupakan kitab suci yang paling dikenal dan paling luas dibaca di antara seluruh kitab wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan pendahulunya dan dalam kemurniannya  konon merupakan rekan sejawat, kitab syariat — mengandung paling banyak jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya 21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk 3:7; Matius 21:42-45 dan Yahya 16:12-14.
         Dengan demikian benarlah pernyataan Allah Swt. dalam bagian akhir ayat tersebut: وَ مَا یَجۡحَدُ  بِاٰیٰتِنَاۤ  اِلَّا الۡکٰفِرُوۡنَ   -- Dan tidak ada yang menolak Tanda-tanda Kami kecuali orang-orang kafir (Al-Ankabūt [29]:48).

Berbagai Penyebab Pendustaan Terhadap  Nabi Besar Muhammad Saw.  di Kalangan Ahli Kitab

          Penolakan Tanda-tanda Allah   yang mendukung kebenaran pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw. tersebut  karena di kalangan  mereka – terutama di kalangan golongan Ahli Kitab  -- ada yang dengan sengaja  menghilangkannya atau menyembunyikannya atau menyalah-artikan  makna nubuatan-nubuatan tersebut atau membuangnya (menghapusnya),  firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اِسۡرَآءِیۡلَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتِیَ الَّتِیۡۤ اَنۡعَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ وَ اَوۡفُوۡا بِعَہۡدِیۡۤ اُوۡفِ بِعَہۡدِکُمۡ ۚ وَ اِیَّایَ فَارۡہَبُوۡنِ ﴿﴾ وَ اٰمِنُوۡا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَکُمۡ وَ لَا تَکُوۡنُوۡۤا اَوَّلَ کَافِرٍۭ بِہٖ ۪ وَ لَا تَشۡتَرُوۡا بِاٰیٰتِیۡ ثَمَنًا قَلِیۡلًا ۫ وَّ اِیَّایَ فَاتَّقُوۡنِ ﴿﴾ وَ لَا تَلۡبِسُوا الۡحَقَّ بِالۡبَاطِلِ وَ تَکۡتُمُوا الۡحَقَّ وَ اَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ 
Hai Bani Israil,  ingatlah  nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu dan penuhilah janji kamu  kepada-Ku, niscaya Aku penuhi pula janji-Ku kepadamu,   dan hanya Aku-lah yang harus kamu takuti.   Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan   menggenapi  apa yang ada padamu, dan janganlah kamu menjadi orang-orang  yang pertama-tama kafir terhadapnya, dan janganlah kamu menjual Ayat-ayat-Ku dengan harga murah  dan hanya kepada Aku-lah kamu bertakwa.  Dan janganlah kamu  mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, dan jangan pula kamu menyembunyikan yang haq itu padahal kamu mengetahui.  (Al-Baqarah [2]:41-43).
          Makna ayat   وَ اَوۡفُوۡا بِعَہۡدِیۡۤ اُوۡفِ بِعَہۡدِکُمۡ    -- “dan penuhilah janji kamu  kepada-Ku, niscaya Aku penuhi pula janji-Ku kepadamu, وَ اِیَّایَ فَارۡہَبُوۡنِ  --   dan hanya Aku-lah yang harus kamu takuti.  Sesudah Nabi Ibrahim a.s., “janji” dengan Allah Swt.  itu telah diperbaharui kaum Bani Israil melalui Nabi Musa a.s..
        “Janji” kedua ini disebut di berbagai tempat dalam Bible (Keluaran bab 20; Ulangan bab-bab 5, 18, 26). Ketika “janji” itu sedang dibuat dan keagungan Allah Swt.  sedang menjelma di Gunung Sinai, orang-orang Bani Israil begitu ketakutan melihat “peter (petir) dan kilat dan bunyi nafiri dan bukit yang berasap” (Keluaran 20:18)  yang menyertai penjelmaan itu sehingga mereka berseru kepada Nabi Musa a.s. katanya: “Hendaklah engkau sahaja berkata-kata dengan kami maka kami akan dengar, tetapi jangan Allah berfirman kepada kami, asal jangan kami mati kelak!” (Keluaran 20:19).
          Kata-kata yang sangat melanggar kesopanan itu menentukan nasib mereka, sebab atas kata-kata itu Allah Swt.   berfirman kepada Nabi Musa a.s.  bahwa kelak tidak ada Nabi Pembawa Syariat seperti beliau sendiri akan muncul di antara mereka. Nabi demikian akan datang kelak dari antara saudara-saudara  Bani Israil yaitu  Bani Isma’il (Ulangan 18: 15-19).
           Jadi dalam ayat ini Allah Swt.  memperingatkan kaum Bani Israil bahwa Dia telah membuat perjanjian dengan Nabi Ishaq a.s.   dan anak cucunya yang isinya adalah bahwa jika  mereka berpegang dan menyempurnakan janjinya dengan Allah Swt.  serta patuh kepada segala perintah-Nya, maka Dia akan terus menganugerahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada mereka, tetapi  bila mereka tidak menyempurnakan janji mereka, mereka akan terasing dari nikmat-nikmat-Nya. Maka setelah Bani Israil nyata-nyata lalai dalam menepati “janji” lalu  Allah Swt. membangkitkan Nabi yang dijanjikan itu dari antara kaum Bani Isma’il, sesuai dengan janji Dia  sebelumnya, dan kemudian “perjanjian” itu dipindahkan kepada para pengikut Nabi baru itu.

Makna Kata Mushaddiq

        Kata  mushaddiq dalam ayat وَ اٰمِنُوۡا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَکُمۡ  -- “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan   meng-genapi  apa yang ada padamu,” diserap dari shaddaqa, yang berarti: ia menganggap atau menyatakan dia atau sesuatu itu benar (Lexicon Lane).
       Jika kata itu dipakai dalam arti “menganggap hal itu benar” maka kata itu tidak diikuti oleh kata perangkai, atau hanya diikuti oleh kata perangkai ba’. Tetapi jika dipakai arti “menggenapi” seperti pada ayat ini, kata itu diikuti oleh kata perangkai lam (QS.2:92 dan QS.35:32). Dengan demikian  di sini kata itu berarti “menggenapi” dan bukan “mengukuhkan” atau “menyatakan benar.” Sebab Al-Quran menggenapi nubuatan-nubuatan yang termaktub dalam Kitab-kitab Suci terdahulu, mengenai kedatangan seorang Nabi Pembawa Syariat dan Kitab Suci terakhir dan tersempurna (QS.5:4) untuk seluruh dunia (QS.7:159; QS.21:108; QS.25:2;  QS.34:29).
       Kapan saja Al-Quran menyatakan dirinya sebagai mushaddiq Kitab-kitab Suci sebelumnya, Al-Quran tidak membenarkan ajaran Kitab-kitab Suci itu, melainkan Al-Quran menyebutkan datang sebagai  menggenapi nubuatan-nubuatan Kitab-kitab Suci itu. Meskipun demikian Al-Quran mengakui semua Kitab Wahyu yang sebelumnya  berasal dari Allah Swt.,  tetapi Al-Quran tidak menganggap bahwa  semua ajaran itu sekarang benar dalam keseluruhannya, sebab bagian-bagiannya telah diubah  (QS.2:76-80 & 260; QS.3:79;  QS.4:47;  QS.5:14 & 42), dan banyak yang dimaksudkan hanya untuk masa tertentu, sekarang telah menjadi kuno, sehingga memerlukan penyempurnaan dengan kedatangan Al-Quran   dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:107; QS.5:14-17).
        Dalam ayat selanjutnya:  وَ لَا تَلۡبِسُوا الۡحَقَّ بِالۡبَاطِلِ  -- Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang batil,  وَ تَکۡتُمُوا الۡحَقَّ وَ اَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ   -- dan jangan pula kamu menyembunyikan yang haq itu padahal kamu mengetahui”  dalam ayat ini  orang-orang Yahudi dilarang:
        (1) mencampuradukkan haq dan batil dengan menukil ayat-ayat Kitab Suci mereka lalu memberi kepadanya penafsiran-penafsiran yang salah;  
         (2) menghilangkan atau menyembunyikan haq, yaitu  menghapus nubuatan-nubuatan dalam Kitab-kitab Suci mereka yang mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad saw.  sebagai nabi yang seperti Musa (Ulangan 18:18;  QS.46:11; QS.73:16) atau  Ia yang datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:37-39) atau “Roh kebenaran” (Yohanes 16:12-13).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,  9  Juni    2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar