بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 73
Berbagai Penyebab Terjadinya Pendustaan Golongan Ahli Kitab Terhadap Kebenaran Pendakwaan
Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai “Nabi
yang Seperti Musa” atau “Dia yang Datang Dalam Nama Tuhan” atau “Roh
Kebenaran”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai Surah Al-Fātihah yang merupakan khazanah
ilmu ruhani yang menakjubkan. Surah Al-Fatihah adalah
Surah pendek dengan tujuh ayat
ringkas tetapi benar-benar merupakan
tambang ilmu dan hikmah. Tepat sekali disebut “Ibu Kitab” sebab Al-Fatihah
itu intisari dan saripati Al-Quran, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنٰکَ سَبۡعًا مِّنَ
الۡمَثَانِیۡ وَ الۡقُرۡاٰنَ الۡعَظِیۡمَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah memberikan kepada engkau tujuh ayat yang selalu diulang-ulang dan Al-Quran yang agung (Al-Hijr [15]:88).
Menurut para ahli terkemuka seperti
Umar bin Khaththab r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Ibn Abbas r.a., dan Ibn Mas’ud r.a., kata-kata سَبۡعًا مِّنَ الۡمَثَانِیۡ -- “tujuh ayat yang
selalu diulang-ulang” itu menunjuk kepada Surah pembukaan Al-Quran, yakni Al-Fatihah,
sebab Surah itu diulang-ulangi dan
dibaca dalam tiap-tiap rakaat shalat.
Menurut riwayat, Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda, bahwa Assab
‘almatsani adalah Surah pembukaan Al-Quran (Bukhari).
Surah Al-Fatihah
Merupakan Ummul-Quran (Induk Al-Quran)
Surah Al-Fatihah disebut juga “Induk Quran” (Ummul-qur’an)
dan “Surah pembukaan Al-Quran”. Menurut Zajjaj dan Abu Hayyan, Surah pembukaan itu diberi nama Assab
‘almatsani, sebab Surah itu mengandung puji-pujian
kepada Allah Swt.. Surah-surah Al-Quran lainnya yang menyusul Surah pembukaan itu telah disebut
“Al-Quran yang agung” (Al-Quranul’azhim).
Akan tetapi nama “Al-Quran yang agung” itu ditujukan juga
kepada Surah Al-Fatihah, karena
merupakan bagian Kitab Al-Quran dapat
pula benar-benar disebut kitab itu
juga. Ada sebuah hadits beliau saw. yang menyatakan bahwa Surah pembukaan Al-Quran pun disebut “Al-Quran yang agung” (Musnad Ahmad, jilid 2 hlm. 448).
Pada hakikatnya, Surah Al-Fatihah merupakan ikhtisar seluruh Al-Quran, atau seperti pernah juga disebut, Surah
itu “Al-Quran dalam bentuk kecil” karena Quran itu dalam keseluruhannya diikhtisarkan dan diintisarikan di
dalamnya. Karena matsani pun merupakan jamak dari matsna yang
berarti puji-pujian, maka ayat ini
akan berarti, bahwa Surah Al Fatihah
memberikan penjelasan yang lengkap tentang Sifat-sifat
Allah Swt.. Matsani juga berarti sebuah belokan pada lembah, ayat
ini berarti bahwa Al-Fatihah menerangkan
sepenuhnya hubungan Allah Swt. dengan manusia.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab
sebelumnya bahwa mulai dengan nama Allah — Sumber pokok pancaran segala karunia, rahmat dan berkat — Surah ini melanjutkan penuturan keempat
sifat pokok Allah Swt. yakni:
(1) Rabb-al-‘ālamīn -- Yang
menjadikan dan memelihara seluruh alam; (2) – Al-Rahmān -- Maha Pemurah Yang mengadakan jaminan untuk
segala keperluan manusia, bahkan sebelum ia dilahirkan serta tanpa suatu usaha apa pun dari pihak manusia
untuk memperolehnya; (3) Al-Rahīm -- Maha
Penyayang, Yang menetapkan hasil sebaik mungkin amal perbuatan manusia dan
Yang mengganjarnya dengan amat berlimpah-limpah; dan (4) Māliki yaumid-dīn -- Pemilik
Hari Pembalasan, di hadapan-Nya manusia harus mempertanggungjawabkan amal
perbuatannya dan Yang akan menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak
akan berlaku terhadap makhluk-Nya semata-mata sebagai hakim, melainkan
sebagai Majikannya Yang
melunakkan hukuman dengan kasih-sayang, dan Yang sangat cenderung mengampuni, kapan saja pengampunan akan membawa hasil yang
baik.
Pentingnya Memahami
Surah Al-Fatihah
Itulah citra Tuhan Islam —
sebagaimana dikemukakan pada bagian awal sekali
Al-Quran — mengenai Dzat Yang kekuasaan serta kedaulatan-Nya tak ada hingganya dan kasih-sayang serta kemurahan-Nya
tiada batasnya. Kemudian datanglah pernyataan manusia bahwa mengingat Tuhan-nya adalah Pemilik semua Sifat agung dan luhur maka ia bersedia bahkan
berhasrat menyembah Dia dan menjatuhkan diri pada kaki-Nya dalam pengabdian yang sempurna.
Tetapi Allah Swt. mengetahui bahwa manusia itu lemah dan mudah keliru dan tergelincir,
maka Dia mendorong hamba-hamba-Nya agar mohon pertolongan-Nya pada setiap derap langkah majunya dan setiap
keperluan yang dihadapinya. Akhirnya datanglah doa yang padat dan
berjangkauan jauh, suatu doa yang di
dalamnya manusia bermohon kepada Khāliq-nya, untuk membimbingnya ke jalan yang
lurus dalam segala urusan ruhani
dan duniawi, baik mengenai
keperluan-keperluannya sekarang atau pun di hari depan.
Ia mendoa kepada Allah Swt. supaya ia bukan saja dapat menghadapi segala cobaan dan ujian dengan tabah,
tetapi juga selaku “orang-orang terpilih”
menghadapinya dengan cara yang sebaik-baiknya dan menjadi penerima karunia dan berkat
Allah Swt. yang paling banyak dan paling besar, agar ia
selama-lamanya terus melangkah maju
pada jalan yang lurus, maju terus
makin dekat dan lebih dekat lagi kepada Tuhan dan Junjungan-nya,
tanpa terantuk-antuk di perjalanannya, seperti telah terjadi pada banyak dari
antara mereka yang hidup di masa yang lampau, sehingga menjadi magdhūb
(yang dimurkai) dan dhāllīn (yang sesat dari Tauhid Ilahi).
Itulah pokok Surah pembukaan
Al-Quran (Al-Fatihah) yang senantiasa
diulangi dengan suatu bentuk atau cara lain dalam seluruh tubuh Kitab Suci itu (Al-Quran), serta yang tanpa membacanya maka shalat yang didirikan tidak sah,
firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿﴾ اَلۡحَمۡدُ
لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ
الدِّیۡنِ ؕ﴿﴾ اِیَّاکَ
نَعۡبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿﴾ اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ
الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿﴾ صِرَاطَ
الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۙ۬ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ ٪﴿﴾
Aku baca dengan nama Allah,
Maha Pemurah, Maha Penyayang. Segala
puji hanya bagi
Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam, Maha
Pemurah, Maha Pe-nyayang. Pemilik Hari Pembalasan. اِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ اِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ -- Hanya Engkau-lah Yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. اِہۡدِ نَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ – Bimbinglah kami pada jalan yang lurus, صِرَاطَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ -- yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ -- bukan jalan
mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang
sesat. (Al-Fatihah
[1]:1-7).
Kembali kepada pembahasan Surah Al-Ankabūt dalam Blog ini, yaitu ayat mengenai berda’wah kepada golongan Ahli Kitab, bahwa sangat penting bagi umat
Islam untuk terlebih dulu memahami Al-Quran -- terutama hubungan antara Surah Al-Fatihah dengan tiga Surah terakhir Al-Quran -- Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nās -- firman-Nya:
اُتۡلُ مَاۤ اُوۡحِیَ اِلَیۡکَ مِنَ الۡکِتٰبِ وَ اَقِمِ الصَّلٰوۃَ
ؕ اِنَّ الصَّلٰوۃَ تَنۡہٰی عَنِ
الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ لَذِکۡرُ اللّٰہِ
اَکۡبَرُ ؕ وَ اللّٰہُ یَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَا تُجَادِلُوۡۤا اَہۡلَ الۡکِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِیۡ
ہِیَ اَحۡسَنُ ٭ۖ اِلَّا الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡہُمۡ وَ قُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا
بِالَّذِیۡۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡنَا وَ اُنۡزِلَ اِلَیۡکُمۡ
وَ اِلٰـہُنَا وَ اِلٰـہُکُمۡ وَاحِدٌ وَّ نَحۡنُ لَہٗ مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Bacakanlah apa yang diwahyukan kepada engkau dari Kitab Al-Quran itu, dan dirikanlah shalat sesungguhnya shalat
mencegah dari kekejian serta kemungkaran. Dan mengingat
Allah benar-benar pekerjaan yang lebih besar, dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. وَ لَا تُجَادِلُوۡۤا
اَہۡلَ الۡکِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ
اَحۡسَنُ -- Dan janganlah
kamu berbantah dengan Ahlikitab melainkan
dengan dalil-dalil
yang paling baik, اِلَّا الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡہُمۡ -- kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara
mereka. Dan katakanlah: “Kami beriman
kepada apa yang telah diturunkan kepada
kami dan yang telah diturunkan
kepada kamu, وَ اِلٰـہُنَا وَ اِلٰـہُکُمۡ وَاحِدٌ -- Tuhan
kami
dan Tuhan kamu
itu Esa, dan kepada-Nya
kami berserah diri (Al-Ankabūt
[29]:46-47).
Nubuatan Mengenai Nabi Besar Muhammad Saw. dan Al-Quran Tercantum Dalam Kitab-kitab Sebelumnya
Selanjutnya Allah Swt. berfirman kepada
Nabi Besar Muhammad saw. mengenai orang-orang dari golongan Ahli Kitab yang beriman
kepada Al-Quran:
وَ کَذٰلِکَ اَنۡزَلۡنَاۤ
اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ ؕ فَالَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ یُؤۡمِنُوۡنَ
بِہٖ ۚ وَ مِنۡ ہٰۤؤُلَآءِ مَنۡ
یُّؤۡمِنُ بِہٖ ؕ وَ مَا یَجۡحَدُ
بِاٰیٰتِنَاۤ اِلَّا الۡکٰفِرُوۡنَ
﴿﴾
Dan
demikianlah Kami menurunkan kepada
engkau Kitab Al-Quran, maka orang-orang
yang Kami telah berikan Kitab kepada mereka, mereka beriman kepadanya, dan dari antara orang-orang Mekkah sebagian
dari mereka beriman kepadanya. Dan tidak
ada yang menolak Tanda-tanda Kami kecuali orang-orang kafir (Al-Ankabūt [29]:48).
Ada pun kalimat وَ مَا
یَجۡحَدُ بِاٰیٰتِنَاۤ اِلَّا الۡکٰفِرُوۡنَ -- “Dan tidak ada yang menolak Tanda-tanda Kami
kecuali orang-orang kafir” tertuju
kepada orang-orang yang mendustakan
dan menolak beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran, padahal nubuatan
mengenai hal tersebut tercantum dalam Kitab-kitab suci mereka, firman-Nya:
وَ اِنَّہٗ
لَتَنۡزِیۡلُ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ؕ نَزَلَ
بِہِ الرُّوۡحُ الۡاَمِیۡنُ ﴿﴾ۙ عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ ﴿﴾ بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ ﴿﴾ؕ وَ اِنَّہٗ
لَفِیۡ زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ ﴿﴾ اَوَ لَمۡ
یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً اَنۡ
یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ
اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿﴾ؕ
Dan
sesungguhnya Al-Quran ini
diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam. نَزَلَ بِہِ الرُّوۡحُ
الۡاَمِیۡنُ -- Telah turun dengannya Ruh
yang terpercaya, عَلٰی قَلۡبِکَ لِتَکُوۡنَ مِنَ الۡمُنۡذِرِیۡنَ -- atas kalbu
engkau, supaya engkau termasuk di antara para pemberi
peringatan, بِلِسَانٍ عَرَبِیٍّ مُّبِیۡنٍ -- dengan bahasa Arab yang jelas. وَ اِنَّہٗ
لَفِیۡ زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ -- Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu. اَوَ لَمۡ یَکُنۡ لَّہُمۡ اٰیَۃً اَنۡ یَّعۡلَمَہٗ عُلَمٰٓؤُا بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ -- Dan tidakkah
ini merupakan satu Tanda bagi mereka bahwa ulama-ulama Bani Israil pun mengetahuinya? (Asy-Syu’arā [26]:193-198).
Ayat ini bermaksud
mengatakan bahwa wahyu Al-Quran
bukanlah suatu gejala baru. Seperti amanat-amanat para nabi Allah yang telah diutus sebelum Nabi Besar Muhammad saw., amanat Al-Quran juga telah diwahyukan oleh Allah Swt. kepada beliau
saw., tetapi dengan perbedaan bahwa nabi-nabi
terdahulu dikirim kepada kaum
masing-masing (QS.15:11), sedang Al-Quran
diturunkan untuk seluruh bangsa di
dunia (QS.21:108), sebab Al-Quran: لَتَنۡزِیۡلُ رَبِّ
الۡعٰلَمِیۡنَ -- “benar-benar
diturunkan oleh Rabb (Tuhan) seluruh alam.”
Turunnya Ruhul-Amīn (Ruh yang Terpercaya) kepada Al-Amīin (Orang yang Terpercaya)
Dalam ayat 194 malaikat
yang membawa wahyu Al-Quran disebut Rūhul-amīn,
yaitu Ruh yang terpercaya. Di tempat
lain disebut Ruhul-qudus (QS.16:103), yakni ruh suci. Nama kehormatan Rūhul-qudus
bagi Malaikat Jibril a.s. dipergunakan
dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada kebebasan
yang kekal-abadi dan mutlak dari setiap kekeliruan atau noda; dan
penggunaan nama kehormatan Rūhul-Amīn mengandung arti, bahwa Al-Quran akan
terus-menerus mendapat perlindungan Ilahi
terhadap segala usaha yang merusak
keutuhan teksnya, firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ
وَ اِنَّا لَہٗ
لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
Kami-lah Yang menurunkan
peringatan ini, dan sesungguhnya
Kami-lah pemeliharanya (Al-Hijr
[15]:10).
Nama kehormatan Rūhul-amīn
ini secara khusus telah dipergunakan berkenaan dengan wahyu Al-Quran, sebab janji
pemeliharaan Ilahi yang kekal-abadi
tidak diberikan kepada kitab-kitab suci
lainnya; sehingga kata-kata dalam kitab-kitab suci itu
-- oleh karena berlalunya masa yang panjang -- telah menderita campur tangan manusia dan perubahan.
Sungguh mengherankan, bahwa di Mekkah
Nabi Besar Muhammad saw. sendiri
dikenal sebagai Al-Amīn (si benar; terpercaya). Betapa besar penghormatan Ilahi dan betapa besar kesaksian mengenai keterpercayaan Al-Quran, karena wahyu
Al-Quran dibawa oleh Rūhul-amīn (Ruh yang terpercaya) yakni Malaikat
Jibrail kepada seorang amin (terpercaya)
yakni Nabi Besar Muhammad saw..
Kata-kata عَلٰی
قَلۡبِکَ -- “atas
kalbu engkau” telah dibubuhkan untuk mengatakan bahwa wahyu-wahyu
Al-Quran bukan gagasan
yang dicetuskan Nabi Besar Muhammad saw. dengan perkataan beliau saw. sendiri, melainkan benar-benar Kalam Allah Swt. Sendiri (QS.53:1-11), yang turun kepada hati beliau saw. dengan perantaraan Malaikat Jibrail a.s..
Makna
ayat وَ
اِنَّہٗ لَفِیۡ زُبُرِ الۡاَوَّلِیۡنَ -- Dan sesungguhnya Al-Quran benar-benar tercantum di dalam kitab-kitab terdahulu”. Hal diutusnya Nabi Besar
Muhammad saw. dan hal
turunnya Al-Quran, kedua-duanya telah dinubuatkan
dalam kitab-kitab suci terdahulu. Kabar-kabar gaib tentang itu kita dapati
dalam Kitab-kitab hampir setiap agama, akan tetapi Bible — yang merupakan kitab suci yang paling dikenal dan
paling luas dibaca di antara seluruh kitab
wahyu sebelum Al-Quran, dan juga karena merupakan pendahulunya dan dalam
kemurniannya konon merupakan rekan sejawat,
kitab syariat — mengandung paling banyak jumlah nubuatan demikian. Lihat Ulangan 18:18 dan 33:2; Yesaya
21:13-17; Amtsal Solaiman 1:5-6; Habakuk 3:7; Matius
21:42-45 dan Yahya 16:12-14.
Dengan demikian benarlah pernyataan Allah Swt.
dalam bagian akhir ayat tersebut: وَ مَا
یَجۡحَدُ بِاٰیٰتِنَاۤ اِلَّا الۡکٰفِرُوۡنَ -- Dan tidak
ada yang menolak Tanda-tanda Kami kecuali orang-orang kafir (Al-Ankabūt [29]:48).
Berbagai Penyebab Pendustaan
Terhadap Nabi Besar Muhammad Saw. di Kalangan Ahli Kitab
Penolakan Tanda-tanda
Allah yang mendukung kebenaran pendakwaan Nabi Besar Muhammad saw.
tersebut karena di kalangan mereka – terutama di kalangan golongan Ahli Kitab -- ada yang dengan sengaja menghilangkannya
atau menyembunyikannya atau menyalah-artikan makna nubuatan-nubuatan
tersebut atau membuangnya
(menghapusnya), firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتِیَ الَّتِیۡۤ
اَنۡعَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ وَ اَوۡفُوۡا بِعَہۡدِیۡۤ اُوۡفِ بِعَہۡدِکُمۡ ۚ وَ
اِیَّایَ فَارۡہَبُوۡنِ ﴿﴾ وَ اٰمِنُوۡا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتُ مُصَدِّقًا لِّمَا
مَعَکُمۡ وَ لَا تَکُوۡنُوۡۤا اَوَّلَ کَافِرٍۭ بِہٖ ۪ وَ لَا تَشۡتَرُوۡا
بِاٰیٰتِیۡ ثَمَنًا قَلِیۡلًا ۫ وَّ اِیَّایَ فَاتَّقُوۡنِ ﴿﴾ وَ لَا تَلۡبِسُوا الۡحَقَّ بِالۡبَاطِلِ
وَ تَکۡتُمُوا الۡحَقَّ وَ اَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Hai
Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku
yang telah Aku anugerahkan kepada
kamu dan penuhilah janji kamu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi pula janji-Ku kepadamu,
dan hanya
Aku-lah yang harus kamu takuti. Dan berimanlah
kamu kepada apa yang telah Aku turunkan menggenapi apa yang
ada padamu, dan janganlah kamu
menjadi orang-orang yang
pertama-tama kafir terhadapnya, dan janganlah kamu menjual Ayat-ayat-Ku dengan
harga murah dan hanya kepada Aku-lah kamu bertakwa. Dan janganlah
kamu mencampuradukkan
yang haq dengan yang batil, dan jangan
pula kamu menyembunyikan yang haq
itu padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah [2]:41-43).
Makna ayat وَ اَوۡفُوۡا
بِعَہۡدِیۡۤ اُوۡفِ بِعَہۡدِکُمۡ -- “dan penuhilah
janji kamu kepada-Ku, niscaya
Aku penuhi pula janji-Ku
kepadamu, وَ اِیَّایَ فَارۡہَبُوۡنِ -- dan hanya Aku-lah yang harus kamu takuti.” Sesudah Nabi Ibrahim a.s., “janji” dengan
Allah Swt. itu telah diperbaharui kaum Bani Israil melalui Nabi Musa a.s..
“Janji” kedua ini disebut di berbagai tempat dalam Bible (Keluaran bab 20; Ulangan
bab-bab 5, 18, 26). Ketika “janji” itu sedang dibuat dan keagungan Allah Swt. sedang
menjelma di Gunung Sinai, orang-orang
Bani Israil begitu ketakutan melihat
“peter (petir) dan kilat dan bunyi nafiri
dan bukit yang berasap” (Keluaran
20:18) yang menyertai penjelmaan itu sehingga mereka berseru
kepada Nabi Musa a.s. katanya: “Hendaklah
engkau sahaja berkata-kata dengan kami maka kami akan dengar, tetapi jangan Allah
berfirman kepada kami, asal jangan kami mati kelak!” (Keluaran 20:19).
Kata-kata yang sangat melanggar kesopanan itu menentukan nasib mereka,
sebab atas kata-kata itu Allah Swt. berfirman kepada Nabi Musa a.s. bahwa kelak tidak ada Nabi Pembawa Syariat seperti beliau sendiri akan muncul
di antara mereka. Nabi demikian akan datang kelak dari antara saudara-saudara Bani Israil yaitu Bani
Isma’il (Ulangan 18: 15-19).
Jadi dalam ayat ini Allah Swt. memperingatkan
kaum Bani Israil bahwa Dia telah
membuat perjanjian dengan Nabi Ishaq a.s. dan anak
cucunya yang isinya adalah bahwa jika
mereka berpegang dan menyempurnakan janjinya dengan Allah Swt. serta patuh kepada segala
perintah-Nya, maka Dia akan terus menganugerahkan
rahmat dan nikmat-Nya kepada
mereka, tetapi bila mereka tidak menyempurnakan janji mereka,
mereka akan terasing dari nikmat-nikmat-Nya. Maka setelah Bani Israil nyata-nyata lalai dalam menepati “janji” lalu Allah Swt. membangkitkan Nabi yang dijanjikan itu dari antara
kaum Bani Isma’il, sesuai dengan janji Dia sebelumnya, dan kemudian “perjanjian” itu dipindahkan kepada para pengikut Nabi baru itu.
Makna Kata Mushaddiq
Kata mushaddiq
dalam ayat وَ اٰمِنُوۡا بِمَاۤ اَنۡزَلۡتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَکُمۡ -- “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan meng-genapi apa yang
ada padamu,” diserap dari shaddaqa, yang berarti: ia menganggap atau
menyatakan dia atau sesuatu itu benar (Lexicon
Lane).
Jika kata itu dipakai dalam arti “menganggap
hal itu benar” maka kata itu tidak diikuti oleh kata perangkai, atau hanya diikuti oleh kata perangkai ba’.
Tetapi jika dipakai arti “menggenapi”
seperti pada ayat ini, kata itu diikuti oleh kata perangkai lam (QS.2:92
dan QS.35:32). Dengan demikian di sini
kata itu berarti “menggenapi” dan
bukan “mengukuhkan” atau “menyatakan benar.” Sebab Al-Quran menggenapi
nubuatan-nubuatan yang termaktub
dalam Kitab-kitab Suci terdahulu,
mengenai kedatangan seorang Nabi Pembawa
Syariat dan Kitab Suci terakhir
dan tersempurna (QS.5:4) untuk seluruh dunia (QS.7:159; QS.21:108;
QS.25:2; QS.34:29).
Kapan saja Al-Quran menyatakan
dirinya sebagai mushaddiq Kitab-kitab Suci sebelumnya, Al-Quran tidak membenarkan
ajaran Kitab-kitab Suci itu,
melainkan Al-Quran menyebutkan datang sebagai menggenapi nubuatan-nubuatan Kitab-kitab Suci itu. Meskipun demikian Al-Quran
mengakui semua Kitab Wahyu yang
sebelumnya berasal dari Allah Swt.,
tetapi Al-Quran tidak
menganggap bahwa semua ajaran itu sekarang benar
dalam keseluruhannya, sebab
bagian-bagiannya telah diubah (QS.2:76-80 & 260; QS.3:79; QS.4:47;
QS.5:14 & 42), dan banyak yang dimaksudkan
hanya untuk masa tertentu, sekarang
telah menjadi kuno, sehingga
memerlukan penyempurnaan dengan
kedatangan Al-Quran dan Nabi
Besar Muhammad saw. (QS.2:107; QS.5:14-17).
Dalam
ayat selanjutnya: وَ لَا تَلۡبِسُوا
الۡحَقَّ بِالۡبَاطِلِ --
Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, وَ تَکۡتُمُوا الۡحَقَّ وَ اَنۡتُمۡ
تَعۡلَمُوۡنَ --
dan jangan pula kamu
menyembunyikan yang haq itu padahal
kamu mengetahui” dalam ayat ini orang-orang
Yahudi dilarang:
(1) mencampuradukkan haq dan batil dengan
menukil ayat-ayat Kitab Suci mereka lalu memberi kepadanya penafsiran-penafsiran yang salah;
(2) menghilangkan atau menyembunyikan haq, yaitu menghapus
nubuatan-nubuatan dalam Kitab-kitab Suci mereka yang mengisyaratkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. sebagai nabi
yang seperti Musa (Ulangan
18:18; QS.46:11; QS.73:16) atau “Ia yang
datang dalam nama Tuhan” (Matius 23:37-39) atau “Roh kebenaran” (Yohanes 16:12-13).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 9 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar