Kamis, 14 Mei 2015

Rasul Allah dan Kitab Allah (Al-Quran) Merupakan "Tali Allah" yang Dijulurkan dari "Langit" & Penyebab Utama Terjadinya Kemelut Berkepanjangan di Timur Tengah



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 50

    
  Rasul Allah dan Kitab Allah (Al-Quran)  Merupakan “Tali Allah” yang Diulurkan dari “Langit”  & Penyebab Utama Terjadinya Kemelut Berkepanjangan di Timur Tengah
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai  makna arti habl dalam ayat وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا  --   dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah, dan  janganlah kamu berpecah-belah” (QS.3:104)  berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon Lane).

Pentingnya Keberadaan Rasul Allah

      Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan telah bersabda:  “Kitab Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30).        Namun dalam kenyataannya,   tidak pernah ada Kitab suci atau Kitab Allah yang diturunkan Allah Swt. kepada manusia tanpa melalui Rasul Allah,  yang kepadanya Allah Swt. menurunkan wahyu syariat atau pun  wahyu Ilahi  yang  bukan syariat, sehingga  dengan demikian  yang dimaksud dengan “tali Allah”  di dalamnya termasuk pula Rasul Allah.
       Mengapa demikian? Sebab sekali pun sejak  dari zaman Nabi Besar Muhammad saw. hingga di Akhir Zaman ini  keberadaan dan keterpeliharaan Al-Quran tetap dijamin oleh Allah Swt.   (QS.15:10), tetapi dalam kenyataannya hal tersebut tidak membuat umat Islam terhindar dari perpecahan umat (QS.3:103-106; QS.30:31-33), karena memang Allah Swt. telah berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw. mengenai salah satu  kesempurnaan Al-Quran:
ہُوَ الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ اُمُّ  الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ؃ وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ  ۘؔ وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ ﴿﴾  رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ ﴿﴾
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran  kepada engkau,  di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,  itulah pokok-pokok  Al-Kitab, sedangkan  yang lain  ayat-ayat mutasyābihātفَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ --   Adapun   orang-orang yang di dalam hatinya ada kebengkokan maka mereka mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt    karena ingin menimbulkan fitnah dan ingin mencari-cari takwilnya yang salah,  وَ مَا یَعۡلَمُ  تَاۡوِیۡلَہٗۤ  اِلَّا اللّٰہُ    -- padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا  --   dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ  -- Dan  tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal. Mereka berkata: رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ -- Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami  setelah Engkau telah memberi kami petunjuk,  dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anu-gerah. (Ali ‘Imran [3]:8-9).
    Muhkam berarti: (1) hal yang telah terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2) hal yang tidak mengandung arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal yang jelas artinya dan pasti dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran (Al-Mufradat dan Lexicon Lane).
        Umm berarti: (1) ibu; (2) sumber atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan sarana pembantu dan penunjang, atau sarana islah (reformasi dan koreksi) untuk orang lain; (4) sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain dihubungkan (Al-Aqrab-ul-Mawarid dan Al-Mufradat).
       Mutasyābih dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, meskipun selaras; (2) hal yang bagian-bagiannya mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain; (3) hal yang makna sebenarnya mengandung persamaan dengan artian yang tidak dimaksudkan; (4) hal yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam; (5) hal yang tidak dapat dipahami dengan segera  tanpa pengamatan yang berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi ajaran sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu terlebih dahulu (Al-Mufradat).
        Ta’wil berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lane). Dalam ayat ini kata itu dijumpai dua kali, pada tempat pertama  kata itu mengandung arti yang kedua atau yang ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau yang kelima.

Cara Menafsirkan Ayat-ayat Al-Quran yang Benar

       Ayat ini meletakkan peraturan yang sangat luhur bahwa untuk membuktikan sesuatu hal yang mengenainya terdapat perbedaan paham, bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang diterangkan dengan kata-kata yang tegas dan jelas (muhkam) harus diperhatikan. Bila bagian yang tegas itu terbukti berlawanan dengan susunan kalimat tertentu yang mengandung dua maksud (mutasyābihāt), maka kalimat itu harus diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan bagian-bagian yang tegas dan jelas kata-katanya (muhkam).  
  Menurut ayat ini Al-Quran mempunyai dua perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam (kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat diberi penafsiran berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih adalah arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
    Dalam QS.39:24 seluruh Al-Quran disebut mutasyābih dan dalam QS.11:2 semua ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak boleh dianggap bertentangan dengan ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat Al-Quran itu muhkam dan beberapa lainnya mutasyabih.
   Sepanjang hal yang menyangkut maksud hakiki ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam dalam pengertian bahwa ayat-ayatnya mengandung kebenaran-kebenaran pasti dan kekal-abadi. Tetapi dalam pengertian lain seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada waktu itu juga ayat itu mempunyai berbagai arti yang sama-sama benar dan baik.
  Al-Quran itu mutasyābih pula (menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau ketidakselarasan di dalamnya,  berbagai ayat-ayatnya bantu-membantu (saling memperkuat). Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam, dan yang lain mutasyābih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
         Adapun nubuatan-nubuatan yang dikemukakan  dengan bahasa yang jelas dan langsung menyerap satu arti saja harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih. Karena itu nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok.
      Untuk nubuatan-nubuatan yang muhkam (jelas) para pembaca diingatkan kepada QS.58:22, sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan yang mutasyābih. Istilah muhkam dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih itu ayat-ayat yang memberikan bagian dari perintah tertentu dan perlu dibaca bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk menjadikan suatu perintah yang lengkap.
       Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti) umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut pentingnya atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat dianggap mempunyai berbagai arti.
          Ayat-ayat demikian hendaknya jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas. Baiklah dicatat di sini bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu sekali menjamin keluasan arti dengan kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan gaya bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu  cobaan (ujian) yang tanpa itu perkembangan dan penyempurnaan ruhaninya tidak akan mungkin tercapai.

Orang-orang yang Berkompeten Menafsirkan Ayat-ayat Al- Quran  

        Mengisyaratkan kepada hal itulah Allah Swt. menyatakan  bahwa makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan kepada mereka yang berhati suci  atau orang-orang yang disucikan Allah  Swt. (QS.56:80).  Itulah makna ayat: ہُ    -- padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ  مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا  --  dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” وَ مَا یَذَّکَّرُ  اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ  -- Dan  tidak ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang yang mempergunakan akal. Mereka berkata: رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ  اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ -- Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami  setelah Engkau telah memberi kami petunjuk,  dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anu-gerah. (Ali ‘Imran [3]:8-9).
      Sehubungan hal tersebut Allah Swt. berfirman mengenai pembukaan rahasia-rahasia gaib Al-Quran:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ  بَیۡنِ یَدَیۡہِ  وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾  لِّیَعۡلَمَ  اَنۡ  قَدۡ  اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ  شَیۡءٍ عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak men-zahirkan  rahasia gaib-Nya kepada siapa pun,    kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa  sungguh  mereka telah menyampaikan Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin [27-29).
  Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti, diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib bertalian dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting.  Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang mukmin bertakwa (muttaqi) lainnya.
    Perbedaan itu letaknya pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul Tuhan dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni  penguasaan atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa  dan orang-orang suci lainnya tidak menikmati kehormatan serupa itu.
 Tambahan pula wahyu Ilahi yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, -- yakni orang-orang berhati  bengkok atau berpenyakit (QS.3:8-9)   -- sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa  lainnya tidak begitu terpelihara.

Pihak-pihak yang Bertikai Sama-sama Mengaku Berpedoman Al-Quran dan Hadits Nabi Besar Muhammad Saw. &  Akibat Buruk Ketidakbersyukuran

    Berbagai firqah atau sekte atau mazhab di kalangan umat Islam yang  saling bertentangan faham – bahkan  saling memerangi  di antara mereka – semuanya mendakwakan diri bahwa  pemahaman dan tindakan yang mereka lakukan mereka berpedoman berdasarkan Al-Quran dan Hadits-hadits Nabi Besar Muhammad saw., sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing.
   Dengan demikian jelaslah, bahwa   keberadaan    Al-Quran di kalangan umat Islam   tidak memberi jaminan bahwa ukhuwah Islamiyah  (persaudaraan Muslim) yang telah sukses dibangun oleh Nabi Besar Muhammad saw. selama 23 tahun  tetap terpelihara, karena  jaminan pemeliharaan  Allah Swt. hanya terhadap Al-Quran, bukan terhadap umat Islam,  sehingg Nabi Besar Muhammad saw. pun telah menubuatkan bahwa umat Islam akan pecah-belah menjadi 73 golongan, firman-Nya:
کَدَاۡبِ اٰلِ فِرۡعَوۡنَ ۙ وَ الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ ؕ  کَفَرُوۡا بِاٰیٰتِ اللّٰہِ  فَاَخَذَہُمُ اللّٰہُ  بِذُنُوۡبِہِمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ  قَوِیٌّ شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ ﴿﴾  ذٰلِکَ بِاَنَّ  اللّٰہَ  لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا  نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ۙ وَ اَنَّ  اللّٰہَ  سَمِیۡعٌ  عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Seperti keadaan  kaum Fir’aun dan orang-orang sebelum mereka.  کَفَرُوۡا بِاٰیٰتِ اللّٰہِ  فَاَخَذَہُمُ اللّٰہُ  بِذُنُوۡبِہِمۡ   -- Mereka kafir terhadap Tanda-tanda Allah maka Allah menghukum mereka karena dosa-dosa mereka, sesungguhnya Allah MahakuatMaha keras dalam menghukum.  ذٰلِکَ بِاَنَّ  اللّٰہَ  لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا  نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ۙ   --   Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya  Allāh tidak   pernah  mengubah suatu nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada suatu kaum  hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri, وَ اَنَّ  اللّٰہَ  سَمِیۡعٌ  عَلِیۡمٌ --    dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Anfāl [8]:53-54). Lihat pula QS.13:12.
        Ayat ini mengemukakan satu Sunnatullāh (Hukum Allah  yang lazim), bahwa Allah  Swt. tidak akan mengambil kembali suatu nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya kepada suatu kaum, selama belum ada perubahan memburuk dalam keadaan mereka sendiri.  Sehubungan dengan hal itu Allah Swt. berfirman:
مَا یَفۡعَلُ اللّٰہُ بِعَذَابِکُمۡ  اِنۡ شَکَرۡتُمۡ وَ اٰمَنۡتُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ شَاکِرًا عَلِیۡمًا ﴿﴾
Mengapa Allah akan mengazab kamu jika kamu bersyukur dan beriman? Dan  Allah  benar-benar Maha Menghargai,  Maha Mengetahui  (An-Nisa [4]:148).
     Orang-orang yang mempergunakan akal pasti akan mengatakan bahwa kemelut berkepanjangan yang saat ini melanda  Dunia Islam di Timur Tengah merupakan azab Ilahi, bukan  sekedar ibtila atau pun musibah. Sebab seandainya gelar sebagai “khayra ummah” (umat terbaik – QS.2:144; QS.3:111)  masih nampak pada mereka mustahil Allah Swt. akan membiarkan kemelut berkepanjangan terjadi di Timur Tengah, terutama di kalangan Dunia Islam.

Keluarbiasaan “Daya Pensucian Ruhani” Nabi Besar Muhammad Saw.

         Jika dalam kenyataannya umat beragama    -- termasuk umat Islam – tidak dapat terhindar dari mengalami perselisihan pendapat dan  keterpecah-belahan setelah jauh dari masa kenabian (QS.3:103-106; QS.5:55-57; QS.30:31-33; QS.57:17),  terlebih lagi bangsa Arab  atau Bani Isma’il  yang sejak dari zaman Nabi Isma’il a.s. sampai dengan masa diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. tidak pernah diutus seorang rasul Allah pun di kalangan mereka, yang disebut fatrah (masa jeda  pengutusan rasul Allah  -- QS.5:20).
      Oleh karena itu sangat sukar kita mendapatkan suatu kaum yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum  kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.  di tengah mereka  -- sehingga Allah Swt. menyebut mereka  “berada dalam kesesatan yang nyata” (QS.62:3) -- tetapi dalam pada itu sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu (QS.48:30) berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:22).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 11  Mei    2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar