بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 50
Rasul Allah dan Kitab Allah (Al-Quran)
Merupakan “Tali Allah” yang
Diulurkan dari “Langit” & Penyebab
Utama Terjadinya Kemelut Berkepanjangan
di Timur Tengah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai makna arti habl dalam
ayat وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا -- dan
berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah”
(QS.3:104) berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan;
suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban
yang karenanya kita menjadi bertanggung
jawab untuk keselamatan seseorang
atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon
Lane).
Pentingnya Keberadaan Rasul
Allah
Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Kitab
Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir
Ibnu Jarir, IV, 30). Namun dalam kenyataannya, tidak pernah ada Kitab suci atau Kitab Allah
yang diturunkan Allah Swt. kepada
manusia tanpa melalui Rasul Allah, yang kepadanya Allah Swt. menurunkan wahyu syariat atau pun wahyu
Ilahi yang bukan syariat,
sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan “tali Allah” di dalamnya termasuk
pula Rasul Allah.
Mengapa demikian? Sebab sekali pun sejak
dari zaman
Nabi Besar Muhammad saw. hingga di Akhir
Zaman ini keberadaan dan keterpeliharaan
Al-Quran tetap dijamin oleh Allah
Swt. (QS.15:10), tetapi dalam
kenyataannya hal tersebut tidak membuat umat
Islam terhindar dari perpecahan umat
(QS.3:103-106; QS.30:31-33), karena memang Allah Swt. telah berfirman kepada
Nabi Besar Muhammad saw. mengenai salah satu
kesempurnaan Al-Quran:
ہُوَ
الَّذِیۡۤ اَنۡزَلَ عَلَیۡکَ الۡکِتٰبَ مِنۡہُ اٰیٰتٌ مُّحۡکَمٰتٌ ہُنَّ
اُمُّ الۡکِتٰبِ وَ اُخَرُ مُتَشٰبِہٰتٌ ؕ
فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ
مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ ۚ وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ ۘؔ وَ
الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ رَبِّنَا ۚ وَ مَا
یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ
﴿﴾ رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ
رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡوَہَّابُ ﴿﴾
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab yakni Al-Quran kepada engkau, di
antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,
itulah pokok-pokok Al-Kitab,
sedangkan yang lain
ayat-ayat mutasyābihāt. فَاَمَّا الَّذِیۡنَ فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ
زَیۡغٌ فَیَتَّبِعُوۡنَ مَا تَشَابَہَ مِنۡہُ ابۡتِغَآءَ الۡفِتۡنَۃِ وَ
ابۡتِغَآءَ تَاۡوِیۡلِہٖ -- Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya
ada kebengkokan maka mereka
mengikuti darinya apa yang mutasyābihāt
karena ingin menimbulkan fitnah dan
ingin mencari-cari takwilnya yang
salah, وَ مَا یَعۡلَمُ تَاۡوِیۡلَہٗۤ
اِلَّا اللّٰہُ -- padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ یَقُوۡلُوۡنَ
اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ عِنۡدِ
رَبِّنَا
-- dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal
dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” وَ مَا یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ -- Dan tidak
ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang
yang mempergunakan akal. Mereka
berkata: رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ
اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ
الۡوَہَّابُ -- Ya Rabb (Tuhan)
kami, janganlah Engkau menyimpangkan
hati kami setelah Engkau telah memberi kami petunjuk,
dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anu-gerah.
(Ali
‘Imran [3]:8-9).
Muhkam
berarti: (1) hal yang telah terjamin aman dari perobahan atau pergantian; (2)
hal yang tidak mengandung arti ganda atau kemungkinan ada keraguan; (3) hal
yang jelas artinya dan pasti dalam keterangan, dan (4) ayat yang merupakan
ajaran khusus dari Al-Quran (Al-Mufradat
dan Lexicon Lane).
Umm berarti: (1) ibu; (2) sumber
atau asal atau dasar sesuatu; (3) sesuatu yang merupakan sarana pembantu dan
penunjang, atau sarana islah (reformasi dan koreksi) untuk orang lain; (4)
sesuatu yang di sekitarnya benda-benda lain dihubungkan (Al-Aqrab-ul-Mawarid dan Al-Mufradat).
Mutasyābih
dipakai mengenai: (1) ucapan, kalimat atau ayat yang memungkinkan adanya
penafsiran yang berbeda, meskipun selaras; (2) hal yang bagian-bagiannya
mempunyai persamaan atau yang selaras satu sama lain; (3) hal yang makna
sebenarnya mengandung persamaan dengan artian yang tidak dimaksudkan; (4) hal
yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam;
(5) hal yang tidak dapat dipahami dengan segera
tanpa pengamatan yang berulang-ulang; (6) sesuatu ayat yang berisi
ajaran sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh Kitab-kitab wahyu
terlebih dahulu (Al-Mufradat).
Ta’wil
berarti: (1) penafsiran atau penjelasan; (2) terkaan mengenai arti suatu pidato
atau tulisan; (3) penyimpangan suatu pidato atau tulisan dari penafsiran yang
benar; (4) penafsiran suatu impian; (5) akhir, hasil atau akibat sesuatu (Lane).
Dalam ayat ini kata itu dijumpai dua kali, pada tempat pertama kata itu mengandung arti yang kedua atau yang
ketiga, sedangkan pada tempat kedua kata itu mempunyai arti yang pertama atau
yang kelima.
Cara Menafsirkan
Ayat-ayat Al-Quran yang Benar
Ayat
ini meletakkan peraturan yang sangat luhur bahwa untuk membuktikan sesuatu hal
yang mengenainya terdapat perbedaan paham,
bagian-bagian sebuah Kitab Suci yang
diterangkan dengan kata-kata yang tegas
dan jelas (muhkam) harus
diperhatikan. Bila bagian yang tegas
itu terbukti berlawanan dengan
susunan kalimat tertentu yang mengandung dua maksud (mutasyābihāt), maka kalimat itu harus
diartikan sedemikian rupa sehingga menjadi selaras dengan bagian-bagian
yang tegas dan jelas kata-katanya
(muhkam).
Menurut ayat
ini Al-Quran mempunyai dua perangkat ayat. Beberapa di antaranya muhkam
(kokoh dan pasti dalam artinya) dan lain-lainnya mutasyābih (yang dapat
diberi penafsiran berbeda-beda). Cara yang tepat untuk mengartikan ayat mutasyābih
adalah arti yang dapat diterima hanyalah yang sesuai dengan ayat-ayat muhkam.
Dalam
QS.39:24 seluruh Al-Quran disebut mutasyābih dan dalam QS.11:2 semua
ayat Al-Quran dikatakan muhkam. Hal itu tak boleh dianggap bertentangan
dengan ayat yang sedang dibahas ini bahwa menurut ayat ini beberapa ayat
Al-Quran itu muhkam dan beberapa lainnya mutasyabih.
Sepanjang
hal yang menyangkut maksud hakiki ayat-ayat Al-Quran, seluruh Al-Quran itu muhkam
dalam pengertian bahwa ayat-ayatnya
mengandung kebenaran-kebenaran pasti
dan kekal-abadi. Tetapi dalam
pengertian lain seluruh Al-Quran itu mutasyābih, sebab ayat-ayat
Al-Quran itu disusun dengan kata-kata demikian rupa, sehingga pada waktu itu
juga ayat itu mempunyai berbagai arti
yang sama-sama benar dan baik.
Al-Quran itu mutasyābih pula
(menyerupai satu sama lain) dalam pengertian bahwa tidak ada pertentangan atau ketidakselarasan
di dalamnya, berbagai ayat-ayatnya
bantu-membantu (saling memperkuat). Tetapi ada bagian-bagiannya yang tentu muhkam,
dan yang lain mutasyābih untuk berbagai pembaca menurut ilmu pengetahuan, keadaan mental, dan kemampuan alami mereka seperti dikemukakan oleh ayat sekarang ini.
Adapun nubuatan-nubuatan yang dikemukakan
dengan bahasa yang jelas dan
langsung menyerap satu arti saja
harus dianggap sebagai muhkam, sedangkan nubuatan-nubuatan yang digambarkan dengan bahasa majaz
(kiasan) dan mampu menyerap tafsiran lebih dari satu harus dianggap mutasyābih.
Karena itu nubuatan-nubuatan yang
digambarkan dengan bahasa majaz (perumpamaan, kiasan) harus ditafsirkan
sesuai dengan nubuatan-nubuatan yang jelas dan secara harfiah menjadi
sempurna dan pula sesuai dengan asas-asas ajaran Islam yang pokok.
Untuk nubuatan-nubuatan yang muhkam (jelas) para pembaca
diingatkan kepada QS.58:22, sedang QS.28:86 berisikan nubuatan-nubuatan yang mutasyābih. Istilah muhkam
dapat pula dikenakan kepada ayat-ayat yang mengandung peraturan-peraturan yang penuh
dan lengkap, sedang ayat-ayat mutasyābih
itu ayat-ayat yang memberikan bagian dari perintah
tertentu dan perlu dibaca bersama-sama dengan ayat-ayat lain untuk menjadikan suatu perintah yang lengkap.
Muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan pasti)
umumnya membahas hukum dan itikad-itikad agama, sedang mutasyābihāt
umumnya membahas pokok pembahasan yang menduduki tingkat kedua menurut
pentingnya atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nabi-nabi atau sejarah
bangsa-bangsa, dan dalam berbuat demikian kadang-kadang memakai tata-bahasa (idiom) serta peribahasa-peribahasa yang dapat
dianggap mempunyai berbagai arti.
Ayat-ayat demikian hendaknya
jangan diartikan demikian rupa sehingga seolah-olah bertentangan dengan ajaran-ajaran
agama yang diterangkan dengan kata-kata yang jelas. Baiklah dicatat di sini
bahwa penggunaan kiasan-kiasan yang
menjadi dasar pokok ayat-ayat mutasyābih dalam Kitab-kitab Suci, perlu
sekali menjamin keluasan arti dengan
kata-kata sesingkat-singkatnya, untuk menambah keindahan dan keagungan
gaya bahasanya dan untuk memberikan kepada manusia suatu cobaan (ujian) yang tanpa
itu perkembangan dan penyempurnaan ruhaninya tidak akan
mungkin tercapai.
Orang-orang yang Berkompeten
Menafsirkan Ayat-ayat Al- Quran
Mengisyaratkan kepada hal itulah Allah
Swt. menyatakan bahwa makrifat Al-Quran hanya dianugerahkan kepada mereka yang berhati suci atau orang-orang yang disucikan Allah Swt. (QS.56:80).
Itulah makna ayat: ہُ -- padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, وَ الرّٰسِخُوۡنَ فِی الۡعِلۡمِ
یَقُوۡلُوۡنَ اٰمَنَّا بِہٖ ۙ کُلٌّ مِّنۡ
عِنۡدِ رَبِّنَا
-- dan orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya berasal
dari sisi Rabb (Tuhan) kami.” وَ مَا یَذَّکَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ -- Dan tidak
ada yang meraih nasihat kecuali orang-orang
yang mempergunakan akal. Mereka
berkata: رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوۡبَنَا بَعۡدَ
اِذۡ ہَدَیۡتَنَا وَ ہَبۡ لَنَا مِنۡ لَّدُنۡکَ رَحۡمَۃً ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ
الۡوَہَّابُ -- Ya Rabb
(Tuhan) kami, janganlah Engkau
menyimpangkan hati kami setelah Engkau telah memberi kami petunjuk,
dan anugerahilah kami rahmat dari sisi Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Pemberi anu-gerah.
(Ali
‘Imran [3]:8-9).
Sehubungan hal tersebut Allah Swt.
berfirman mengenai pembukaan rahasia-rahasia
gaib Al-Quran:
عٰلِمُ
الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ
یَسۡلُکُ مِنۡۢ بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ
اَنۡ قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ
بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ
عَدَدًا ﴿٪﴾
Dia-lah Yang mengetahui
yang gaib, maka Dia tidak
men-zahirkan rahasia gaib-Nya
kepada siapa pun, kecuali kepada
Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa
sungguh mereka telah menyampaikan
Amanat-amanat Rabb (Tuhan) mereka, dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka dan Dia membuat perhitungan mengenai segala sesuatu. (Al-Jin
[27-29).
Ungkapan, “izhhar ‘ala al-ghaib,” berarti, diberi pengetahuan dengan sering dan secara berlimpah-limpah
mengenai rahasia gaib bertalian
dengan dan mengenai peristiwa dan kejadian yang sangat penting. Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan antara sifat
dan jangkauan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada seorang rasul Tuhan dan rahasia-rahasia gaib yang dibukakan kepada orang-orang mukmin bertakwa (muttaqi) lainnya.
Perbedaan itu letaknya
pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul
Tuhan dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan
atas yang gaib, maka rahasia-rahasia yang diturunkan kepada orang-orang bertakwa dan orang-orang
suci lainnya tidak menikmati kehormatan
serupa itu.
Tambahan pula wahyu Ilahi yang dianugerahkan kepada rasul-rasul Tuhan, karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi, keadaannya aman dari pemutar-balikkan atau pemalsuan
oleh jiwa-jiwa yang jahat, -- yakni
orang-orang berhati bengkok atau berpenyakit (QS.3:8-9) -- sedang
rahasia-rahasia yang dibukakan kepada
orang-orang bertakwa lainnya tidak begitu terpelihara.
Pihak-pihak yang Bertikai
Sama-sama Mengaku Berpedoman Al-Quran
dan Hadits Nabi Besar Muhammad Saw.
& Akibat Buruk Ketidakbersyukuran
Berbagai firqah atau sekte atau mazhab di
kalangan umat Islam yang saling bertentangan
faham – bahkan saling memerangi di antara
mereka – semuanya mendakwakan diri
bahwa pemahaman dan tindakan yang mereka
lakukan mereka berpedoman berdasarkan
Al-Quran dan Hadits-hadits Nabi Besar Muhammad saw., sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
keberadaan Al-Quran di kalangan umat Islam tidak memberi jaminan bahwa ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Muslim) yang telah sukses dibangun oleh Nabi Besar Muhammad
saw. selama 23 tahun tetap terpelihara, karena jaminan pemeliharaan
Allah Swt. hanya terhadap Al-Quran,
bukan terhadap umat Islam, sehingg Nabi Besar Muhammad saw. pun telah menubuatkan bahwa umat Islam akan pecah-belah
menjadi 73 golongan, firman-Nya:
کَدَاۡبِ اٰلِ
فِرۡعَوۡنَ ۙ وَ الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِہِمۡ ؕ کَفَرُوۡا بِاٰیٰتِ اللّٰہِ فَاَخَذَہُمُ اللّٰہُ بِذُنُوۡبِہِمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ
قَوِیٌّ شَدِیۡدُ
الۡعِقَابِ ﴿﴾ ذٰلِکَ بِاَنَّ اللّٰہَ لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ۙ وَ اَنَّ اللّٰہَ
سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿ۙ﴾
Seperti keadaan kaum Fir’aun dan orang-orang sebelum mereka. کَفَرُوۡا بِاٰیٰتِ اللّٰہِ فَاَخَذَہُمُ اللّٰہُ بِذُنُوۡبِہِمۡ -- Mereka kafir terhadap Tanda-tanda Allah maka Allah menghukum mereka karena dosa-dosa
mereka, sesungguhnya Allah Mahakuat, Maha
keras dalam menghukum. ذٰلِکَ بِاَنَّ اللّٰہَ لَمۡ یَکُ مُغَیِّرًا نِّعۡمَۃً اَنۡعَمَہَا عَلٰی قَوۡمٍ حَتّٰی یُغَیِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِہِمۡ ۙ -- Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allāh tidak pernah
mengubah suatu nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada suatu kaum
hingga mereka mengubah keadaan
diri mereka sendiri, وَ اَنَّ
اللّٰہَ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ -- dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. (Al-Anfāl [8]:53-54). Lihat pula QS.13:12.
Ayat ini mengemukakan satu Sunnatullāh
(Hukum Allah yang lazim), bahwa Allah Swt. tidak akan mengambil kembali
suatu nikmat yang telah dianugerahkan
oleh-Nya kepada suatu kaum, selama
belum ada perubahan memburuk dalam
keadaan mereka sendiri. Sehubungan
dengan hal itu Allah Swt. berfirman:
مَا یَفۡعَلُ اللّٰہُ بِعَذَابِکُمۡ
اِنۡ شَکَرۡتُمۡ وَ اٰمَنۡتُمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ شَاکِرًا عَلِیۡمًا ﴿﴾
Mengapa Allah akan mengazab kamu jika kamu bersyukur dan beriman?
Dan Allah benar-benar Maha Menghargai, Maha
Mengetahui (An-Nisa [4]:148).
Orang-orang yang mempergunakan akal pasti akan mengatakan bahwa kemelut berkepanjangan yang saat ini melanda Dunia
Islam di Timur Tengah merupakan azab Ilahi, bukan sekedar ibtila
atau pun musibah. Sebab seandainya
gelar sebagai “khayra ummah” (umat
terbaik – QS.2:144; QS.3:111) masih
nampak pada mereka mustahil Allah
Swt. akan membiarkan kemelut
berkepanjangan terjadi di Timur
Tengah, terutama di kalangan Dunia Islam.
Keluarbiasaan “Daya Pensucian Ruhani” Nabi Besar Muhammad Saw.
Jika dalam kenyataannya umat beragama -- termasuk umat Islam – tidak dapat terhindar dari mengalami perselisihan pendapat dan keterpecah-belahan
setelah jauh dari masa kenabian (QS.3:103-106; QS.5:55-57;
QS.30:31-33; QS.57:17), terlebih lagi bangsa Arab atau Bani
Isma’il yang sejak dari zaman Nabi Isma’il a.s. sampai dengan masa diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. tidak
pernah diutus seorang rasul Allah pun di kalangan mereka, yang
disebut fatrah (masa jeda pengutusan rasul
Allah -- QS.5:20).
Oleh karena itu sangat sukar kita
mendapatkan suatu kaum yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.
di tengah mereka --
sehingga Allah Swt. menyebut mereka “berada dalam kesesatan yang nyata”
(QS.62:3) -- tetapi dalam pada itu sejarah
umat manusia tidak dapat mengemukakan satu
contoh pun ikatan persaudaraan
penuh cinta yang menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu (QS.48:30) berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia
Junjungan Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw. (QS.33:22).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 11 Mei
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar