Jumat, 22 Mei 2015

Kedurhakaan Kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Mengundang Beban "Ujian" yang Melebihi Kemampuan "Daya Pikul"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab  57

   Kedurhakaan Kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Mengundang Beban Ujian yang Melebihi  Kemampuan “Daya Pikul”  & Makna Menjadi     Kera yang Hina
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai pelanggaran orang-orang Yahudi pada Hari Sabat ketika  ikan-ikan di lautan mengetahui secara naluri waktu yang aman dan karena itu perasaan aman secara naluri ini telah membuat ikan-ikan itu bermunculan ke permukaan air atau mendekati pantai dalam jumlah yang besar pada hari Sabat, firman-Nya:
وَ سۡـَٔلۡہُمۡ عَنِ الۡقَرۡیَۃِ  الَّتِیۡ کَانَتۡ حَاضِرَۃَ  الۡبَحۡرِ ۘ اِذۡ یَعۡدُوۡنَ فِی السَّبۡتِ اِذۡ تَاۡتِیۡہِمۡ حِیۡتَانُہُمۡ یَوۡمَ سَبۡتِہِمۡ شُرَّعًا وَّ یَوۡمَ لَا یَسۡبِتُوۡنَ ۙ لَا  تَاۡتِیۡہِمۡ ۚۛ کَذٰلِکَ ۚۛ نَبۡلُوۡہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾ 
Dan tanyakanlah kepada mereka mengenai kota  yang terletak di dekat laut, ketika mereka melanggar aturan pada hari  Sabat, yaitu ketika ikan-ikan mereka mendatangi mereka bermunculan di permukaan air  pada hari Sabat,   tetapi pada hari ketika mereka tidak merayakan Sabat ikan-ikan itu tidak mendatangi mereka. Demikianlah Kami  menguji mereka sebab mereka senantiasa berbuat fasik. (Al-A’rāf [7]:164).

Godaan yang Menggelincirkan Orang-orang Yahudi

        Keadaan ini ternyata merupakan godaan yang terlalu besar bagi orang-orang Yahudi dan mereka mengadakan persiapan untuk menangkap ikan pada hari Sabat, dan dengan demikian mereka menodai kekeramatan hari itu.  Mengisyaratkan kepada  permohonan agar tidak mengalami “godaan” atau “ujian” yang ada di luar kemampuan manusia untuk menanggungnya firman-Nya  berikut ini:
لَا یُکَلِّفُ اللّٰہُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا ؕ لَہَا مَا کَسَبَتۡ وَ عَلَیۡہَا مَا اکۡتَسَبَتۡ ؕ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ  اِنۡ نَّسِیۡنَاۤ  اَوۡ اَخۡطَاۡنَا ۚ رَبَّنَا وَ لَا  تَحۡمِلۡ عَلَیۡنَاۤ  اِصۡرًا کَمَا حَمَلۡتَہٗ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا ۚ رَبَّنَا وَ لَا  تُحَمِّلۡنَا مَالَا طَاقَۃَ لَنَا بِہٖ ۚ وَ اعۡفُ عَنَّا ٝ وَ اغۡفِرۡ لَنَا ٝ وَ ارۡحَمۡنَا ٝ اَنۡتَ مَوۡلٰىنَا فَانۡصُرۡنَا عَلَی الۡقَوۡمِ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾٪
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya. Mereka berkata:  “Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah  Engkau menghukum kami jika  kami terlupa atau kami tersalah. رَبَّنَا وَ لَا  تَحۡمِلۡ عَلَیۡنَاۤ  اِصۡرًا کَمَا حَمَلۡتَہٗ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا   --   Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau membebani kami tanggung jawab seperti telah Engkau bebankan atas orang-orang sebelum kami.    رَبَّنَا وَ لَا  تُحَمِّلۡنَا مَالَا طَاقَۃَ لَنَا بِہٖ   -- Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau membebani kami dengan apa yang kami tidak kuat menanggungnya, maafkanlah kami, ampunilah kami, dan  kasihanilah kami karena Engkau-lah Pelindung kami,  maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.”  (Al-Baqarah [7]:287).

Kesia-siaan  Ajaran “Penebusan Dosa

       Kalimat  لَا یُکَلِّفُ اللّٰہُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا  -- “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya merupakan sanggahan yang kuat sekali terhadap itikad penebusan dosa dan mengandung dua asas penting:
       (1) Bahwa perintah-perintah Ilahi senantiasa diberikan dengan memberi perhatian yang sepenuhnya kepada kemampuan manusia dan batas-batas kodratnya.
       (2) Bahwa kesucian akhlak di dunia ini tidak seharusnya berarti bebas sepenuhnya dari segala macam kelemahan dan kekurangan. Apa yang diharapkan untuk dilakukan manusia ialah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk meraih kebaikan dan menjauhi dosa dengan sekuat tenaga, sedangkan selebihnya Tuhan Yang Maha Pemurah akan memaafkannya melalui maghfirah-Nya (pengampunan-Nya),  karena itu  penebusan dosa dari siapa pun sama sekali tidak diperlukan,, berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ یٰعِبَادِیَ  الَّذِیۡنَ  اَسۡرَفُوۡا عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ  لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِیۡعًا ؕ اِنَّہٗ  ہُوَ  الۡغَفُوۡرُ  الرَّحِیۡمُ ﴿﴾  وَ اَنِیۡبُوۡۤا اِلٰی  رَبِّکُمۡ وَ اَسۡلِمُوۡا لَہٗ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنۡصَرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اتَّبِعُوۡۤا  اَحۡسَنَ مَاۤ   اُنۡزِلَ  اِلَیۡکُمۡ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ بَغۡتَۃً  وَّ  اَنۡتُمۡ  لَا  تَشۡعُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri  mereka sendiri, لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَۃِ اللّٰہِ --  janganlah kamu berputus asa  dari rahmat Allah. اِنَّ اللّٰہَ یَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِیۡعًا -- Sesungguhnya Allah mengampuni semua  dosa. اِنَّہٗ  ہُوَ  الۡغَفُوۡرُ  الرَّحِیۡمُ -- Sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.  وَ اَنِیۡبُوۡۤا اِلٰی  رَبِّکُمۡ وَ اَسۡلِمُوۡا لَہٗ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنۡصَرُوۡنَ  --  Dan kembalilah kepada Rabb (Tuhan) kamu dan berserah-dirilah  kepada-Nya sebelum azab datang kepadamu kemudian kamu tidak akan ditolong.  وَ اتَّبِعُوۡۤا  اَحۡسَنَ مَاۤ   اُنۡزِلَ  اِلَیۡکُمۡ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ  --   Dan ikutilah ajaran terbaik yang telah diturunkan kepada kamu dari Rabb (Tuhan) kamu, مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ بَغۡتَۃً  وَّ  اَنۡتُمۡ  لَا  تَشۡعُرُوۡنَ  -- sebelum datang kepada  kamu azab dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadari.” (Az-Zumar [39]:54-55).
   Ayat 54  memberi amanat harapan dan kabar gembira kepada orang-orang berdosa. Ayat ini membesarkan hati dan melenyapkan rasa putus-asa dan kecemasan. Ayat ini menolak dan mengutuk rasa putus-asa, sebab putus-asa itu terletak pada akar kebanyakan dosa dan kegagalan-kegagalan dalam kehidupan.
   Berulang-ulang Al-Quran menjanjikan rahmat dan ampunan Allah Swt. (QS.6:55; QS.7:157; QS.12:88; QS.15:57; QS.18:59), tidak ada amanat hiburan dan penenteramkan hati yang lebih bagi mereka yang sedang berhati lara dan masygul  lebih besar daripada itu.
  Sementara ayat sebelumnya memberikan kepada orang-orang berdosa amanat harapan dan kabar gembira,  ayat 55   memperingatkan mereka bahwa mereka akan harus membentuk nasib sendiri dengan mentaati hukum-hukum Ilahi.

Kedurhakaan Kepada Allah Swt. dan Rasul Allah Mengundang  Datangnya Beban (Ujian)  yang Melebihi Daya-pikul

        Kata kasabat  dalam ayat (kalimat) selanjutnya: لَہَا مَا کَسَبَتۡ وَ عَلَیۡہَا مَا اکۡتَسَبَتۡ   -- “Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya” (QS.2:287) pada umumnya berarti melakukan amal shalih, dan iktasabat  melakukan perbuatan jahat.
         Kedua kata  kasabat  dan iktasabat itu berasal dari akar kata yang sama, tetapi iktasaba berarti usaha yang lebih keras dari pihak pelakunya. Setiap orang akan diberi ganjaran untuk perbuatan baik, sekalipun perbuatan itu dilakukan sambil lalu saja dan tanpa usaha secara sadar; sedang ia akan dihukum atas perbuatan jahatnya hanya bila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja dan dengan usaha yang dilakukan secara sadar.
         Makna kalimat selanjutnya:   رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ  اِنۡ نَّسِیۡنَاۤ  اَوۡ اَخۡطَاۡنَا  --  “Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah  Engkau menghukum kami jika  kami terlupa atau kami tersalah.” Dalam keadaan biasa nis-yan dan khati’ah tidak akan mendapat hukuman, sebab kedua kata itu menunjukkan tidak adanya niat atau motif yang mengharuskan dijatuhkannya hukuman. Tetapi di sini kata-kata itu berarti kealpaan atau kekeliruan yang dapat dihindari seandainya segala ikhtiar ditempuh untuk menghindarinya.
         Ishr dalam ayat رَبَّنَا وَ لَا  تَحۡمِلۡ عَلَیۡنَاۤ  اِصۡرًا کَمَا حَمَلۡتَہٗ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا   --   Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau membebani kami tanggung jawab seperti telah Engkau bebankan atas orang-orang sebelum kami,”    berarti: (1) beban yang menahan seseorang untuk bergerak; (2) pertanggungjawaban berat yang bila dilanggar menyebabkan seseorang layak mendapat hukuman; (3) dosa atau pelanggaran; dan (4) siksaan yang pedih atas suatu dosa.
          Ungkapan “janganlah Engkau membebani kami tanggung jawab seperti  telah Engkau bebankan atas orang-orang sebelum kami” tidak berarti bahwa beban yang akan diletakkan di atas kita hendaknya lebih ringan daripada yang telah dibebankan atas orang-orang sebelum kita, melainkan artinya "semoga kami dilindungi dari pelanggaran terhadap perjanjian kepada Engkau dan dengan demikian dapat diselamatkan dari menanggung tanggung jawab besar atas pembangkangan seperti telah dilakukan oleh orang-orang sebelum kami."
        Doa dalam QS.2:287 ini merupakan doa kolektif untuk pemeliharaan dan perlindungan terhadap agama Islam dan penjagaan kaum Muslim dari kemurkaan Allah Swt. sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi akibat seringnya mereka melakukan kedurhakaan kepada  Allah Swt. dan para Rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka (QS.2:88-89), di antaranya adalah  pelanggaran mereka berkenaan hari Sabat, firman-Nya:  
وَ سۡـَٔلۡہُمۡ عَنِ الۡقَرۡیَۃِ  الَّتِیۡ کَانَتۡ حَاضِرَۃَ  الۡبَحۡرِ ۘ اِذۡ یَعۡدُوۡنَ فِی السَّبۡتِ اِذۡ تَاۡتِیۡہِمۡ حِیۡتَانُہُمۡ یَوۡمَ سَبۡتِہِمۡ شُرَّعًا وَّ یَوۡمَ لَا یَسۡبِتُوۡنَ ۙ لَا  تَاۡتِیۡہِمۡ ۚۛ کَذٰلِکَ ۚۛ نَبۡلُوۡہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾ 
Dan tanyakanlah kepada mereka mengenai kota  yang terletak di dekat laut, ketika mereka melanggar aturan pada hari  Sabat, yaitu ketika ikan-ikan mereka mendatangi mereka bermunculan di permukaan air  pada hari Sabat,   tetapi pada hari ketika mereka tidak merayakan Sabat ikan-ikan itu tidak mendatangi mereka. Demikianlah Kami  menguji mereka sebab mereka senantiasa berbuat fasik. (Al-A’rāf [7]:164).

Pentingnya Melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

      Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan mengenai alasan orang-orang yang melaksanakan kewajiban melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَتۡ اُمَّۃٌ مِّنۡہُمۡ لِمَ تَعِظُوۡنَ قَوۡمَۨا ۙ اللّٰہُ مُہۡلِکُہُمۡ اَوۡ مُعَذِّبُہُمۡ عَذَابًا شَدِیۡدًا ؕ قَالُوۡا مَعۡذِرَۃً  اِلٰی رَبِّکُمۡ  وَ لَعَلَّہُمۡ  یَتَّقُوۡنَ﴿﴾  فَلَمَّا نَسُوۡا مَا ذُکِّرُوۡا بِہٖۤ اَنۡجَیۡنَا الَّذِیۡنَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ السُّوۡٓءِ   وَ اَخَذۡنَا الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا بِعَذَابٍۭ بَئِیۡسٍۭ بِمَا کَانُوۡا  یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾
Dan ketika segolongan di antara mereka berkata kepada golongan lain:  لِمَ تَعِظُوۡنَ قَوۡمَۨا  -- “Mengapa kamu menasihati kaum اللّٰہُ مُہۡلِکُہُمۡ اَوۡ مُعَذِّبُہُمۡ عَذَابًا شَدِیۡدًا -- yang Allah akan  membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang sangat keras?” قَالُوۡا مَعۡذِرَۃً  اِلٰی رَبِّکُمۡ  وَ لَعَلَّہُمۡ  یَتَّقُوۡنَ  -- Mereka berkata:  Agar kami punya  dalih di hadapan Rabb (Tuhan) kamu, dan supaya mereka bertakwa.” فَلَمَّا نَسُوۡا مَا ذُکِّرُوۡا بِہٖۤ اَنۡجَیۡنَا الَّذِیۡنَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ السُّوۡٓءِ      --   Maka  tatkala mereka melupakan yang telah dinasihatkan kepadanya, Kami menyelamatkan orang-orang yang melarang berbuat keburukan, وَ اَخَذۡنَا الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا بِعَذَابٍۭ بَئِیۡسٍۭ بِمَا کَانُوۡا  یَفۡسُقُوۡنَ  --  dan Kami menghukum orang-orang zalim dengan siksaan yang sangat buruk karena mereka senantiasa berbuat fasik.  (Al-A’rāf [7]:165-166).
       Jadi, betapa pentingnya keberadaan satu golongan di kalangan orang-orang beriman  yang selalu melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar (QS.3:105)  --  termasuk di Akhir Zaman ini  -- sebab jika tidak  ada  pihak yang melakukan hal tersebut maka semua orang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt., sebagaimana halnya  para Rasul Allah dan dan kaum-kaum yang kepada mereka para Rasul  Allah diutus akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt., (QS.5:110 & 117-119; QS.7:7-8; QS.28:66-67), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اسۡتَجِیۡبُوۡا لِلّٰہِ وَ لِلرَّسُوۡلِ  اِذَا دَعَاکُمۡ  لِمَا یُحۡیِیۡکُمۡ ۚ وَ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یَحُوۡلُ بَیۡنَ الۡمَرۡءِ وَ قَلۡبِہٖ  وَ اَنَّہٗۤ   اِلَیۡہِ  تُحۡشَرُوۡنَ ﴿﴾  وَ اتَّقُوۡا فِتۡنَۃً لَّا تُصِیۡبَنَّ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡکُمۡ خَآصَّۃً ۚ وَ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ  شَدِیۡدُ  الۡعِقَابِ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman,  sambutlah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila ia menyeru kamu supaya ia menghidupkanm kamu,  dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah  menghalang  di antara manusia dan keinginan hatinya  dan bahwa sesungguhnya  kepada-Nya-lah kamu akan dihimpun. وَ اتَّقُوۡا فِتۡنَۃً لَّا تُصِیۡبَنَّ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡکُمۡ خَآصَّۃً  --  Dan  takutilah fitnah yang tidak   khusus hanya menimpa  orang-orang zalim  di antara kamu,  وَ اعۡلَمُوۡۤا  اَنَّ اللّٰہَ  شَدِیۡدُ  الۡعِقَابِ  -- dan ketahuilah sesungguhnya siksaan Allah sangat keras.  (Al-Anfāl [8]:25-26).

Menghidupkan Kematian Ruhani & Makna Dijadikan “Kera” yang Hina

         Kata ganti orang ketiga “ia”  dalam ayat  اسۡتَجِیۡبُوۡا لِلّٰہِ وَ لِلرَّسُوۡلِ  اِذَا دَعَاکُمۡ  لِمَا یُحۡیِیۡکُمۡ   -- “sambutlah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila ia  menyeru kamu supaya ia menghidupkanm kamu” menunjuk kepada Rasul, sebab Rasul itulah yang sebenarnya menyeru, sebab seruan dari  Allah Swt.  pun melalui Rasul-Nya. Atau kata “ia” boleh juga diartikan mengacu kepada Allah Swt. atau Rasul secara mandiri yaitu, “bila Allah menyeru kamu atau bila Rasul menyeru kamu.”    Menghidupkan yang mati apabila disifatkan kepada seorang rasul Allah harus diartikan secara kiasan atau secara ruhani, yakni menghidupkan orang yang ruhaninya telah mati.
         Kata-kata  “Allah menghalang  di antara manusia dan hatinya”  dalam kalimat  وَ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یَحُوۡلُ بَیۡنَ الۡمَرۡءِ وَ قَلۡبِہٖ  وَ اَنَّہٗۤ   اِلَیۡہِ  تُحۡشَرُوۡنَ  -- “dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah  menghalang  di antara manusia dan keinginan hatinya  dan bahwa sesungguhnya  kepada-Nya-lah kamu akan dihimpun” maknanya  adalah bahwa manusia (atau akunya) tidak berkuasa atas hatinya,  oleh sebab itu ia tidak dapat membuat hatinya tunduk kepada perintah-perintahnya.
        Kata-kata itu dapat pula berarti bahwa hendaknya manusia segera menanggapi dan menyambut seruan Allah Swt., sebab jika ia menangguh-nangguh  atau bertindak lamban maka keadaan-keadaan yang tidak disangka-sangka dapat timbul sewaktu-waktu dan membuat hatinya keras atau berkarat sehingga ia enggan mendengarnya.
        Makna ayat  selanjutnya: وَ اتَّقُوۡا فِتۡنَۃً لَّا تُصِیۡبَنَّ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡکُمۡ خَآصَّۃً  --  Dan  takutilah fitnah yang tidak   khusus hanya menimpa  orang-orang zalim  di antara kamu,”,  arti lain fitnah adalah hukuman (azab).   Hanya membuat diri kita sendiri baik tidaklah cukup. Kita belum aman sebelum kita membenahi juga keadaan di sekitar kita. Sebab sebuah rumah yang di sekelilingnya ada api menyala-nyala, setiap saat boleh jadi, dapat menjadi umpan api itu.
        Kembali kepada masalah pelanggaran yang dilakukan orang-orang Yahudi pada hari  Sabat, selanjutnya Allah Swt. berfirman: 
فَلَمَّا عَتَوۡا عَنۡ مَّا نُہُوۡا عَنۡہُ قُلۡنَا لَہُمۡ   کُوۡنُوۡا  قِرَدَۃً  خٰسِئِیۡنَ ﴿﴾
Maka tatkala mereka  melanggar apa yang dilarang untuk mengerjakannya, Kami berfirman kepada mereka:  کُوۡنُوۡا قِرَدَۃً خٰسِئِیۡنَ  --  Jadilah kamu kera-kera yang hina!” (Al-A’rāf [7]:167).
Firman-Nya lagi:
وَ لَقَدۡ عَلِمۡتُمُ  الَّذِیۡنَ اعۡتَدَوۡا مِنۡکُمۡ فِی السَّبۡتِ فَقُلۡنَا لَہُمۡ کُوۡنُوۡا قِرَدَۃً خٰسِئِیۡنَ ﴿ۚ﴾
Dan  sungguh   kamu benar-benar mengetahui orang-orang di antara kamu yang melanggar dalam hal  Hari Sabat, lalu Kami berfirman kepada mereka:  کُوۡنُوۡا قِرَدَۃً خٰسِئِیۡنَ  --  Jadilah kamu  kera yang hina!”    (Al-Baqarah [2]:66).
         Kata “kera” telah dipakai secara kiasan, artinya orang-orang Bani Israil (Yahudi) menjadi nista dan hina seperti kera, perubahannya tidak dalam wujud dan bentuk melainkan  dalam watak dan jiwa. “Mereka tidak sungguh-sungguh diubah menjadi kera, hanya hatinya yang diubah” (Mujahid). “Allah Swt.  telah memakai ungkapan itu secara kiasan” (Tafsir Ibnu Katsir).

Mereka yang Secara Kiasan  Dijadikan Kera, Babi dan Penyembah Thaghut

        Bila Al-Quran memaksudkan perubahan wujudnya menjadi kera maka kata yang biasa dipergunakan adalah khashi'ah, bukan khasi’in, yang dipakai untuk wujud-wujud berakal. Penggunaan kata kiradatan (kera) itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa sebagaimana kera itu binatang hina, begitu pula orang-orang Bani Israil (Yahudi) senantiasa akan dihinakan di dunia ini dan sungguh pun mereka mempunyai sumber-sumber daya besar dalam harta dan pendidikan, mereka tidak akan memiliki suatu kubu pertahanan (negara) di bumi secara permanen, arti akar kata qiradatan  menunjukkan kenistaan dan kehinaan dan pula kerendahan martabat.
       Sehubungan dengan kenyataan tersebut berikut  firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
 قُلۡ یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ ہَلۡ تَنۡقِمُوۡنَ مِنَّاۤ اِلَّاۤ اَنۡ اٰمَنَّا بِاللّٰہِ وَ مَاۤ  اُنۡزِلَ اِلَیۡنَا وَ مَاۤ  اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اَنَّ  اَکۡثَرَکُمۡ  فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ ہَلۡ اُنَبِّئُکُمۡ بِشَرٍّ مِّنۡ ذٰلِکَ مَثُوۡبَۃً عِنۡدَ اللّٰہِ ؕ مَنۡ لَّعَنَہُ اللّٰہُ وَ غَضِبَ عَلَیۡہِ وَ جَعَلَ مِنۡہُمُ الۡقِرَدَۃَ  وَ الۡخَنَازِیۡرَ وَ عَبَدَ الطَّاغُوۡتَ ؕ اُولٰٓئِکَ شَرٌّ مَّکَانًا وَّ  اَضَلُّ  عَنۡ  سَوَآءِ السَّبِیۡلِ ﴿﴾
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu  membenci serta mencela kami  hanya karena kami telah beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelum ini,  padahal sesungguhnya kebanya-kan kamu orang-orang durhaka?”  Katakanlah: “Maukah  aku beritahukan kepada kamu yang lebih buruk daripada itu mengenai pem-balasan dari sisi Allah?  مَنۡ لَّعَنَہُ اللّٰہُ وَ غَضِبَ عَلَیۡہِ وَ جَعَلَ مِنۡہُمُ الۡقِرَدَۃَ  وَ الۡخَنَازِیۡرَ وَ عَبَدَ الطَّاغُوۡتَ  -- Yaitu orang-orang yang dilaknati Allah, dan kepadanya Dia murka dan menjadikan sebagian dari mereka kera-kera, babi-babi  dan yang menyembah  syaitan.  اُولٰٓئِکَ شَرٌّ مَّکَانًا وَّ  اَضَلُّ  عَنۡ  سَوَآءِ السَّبِیۡلِ --   Mereka itu berada di tempat yang buruk dan   tersesat jauh dari jalan lurus.  (Al-Maidah  [5]:60-81). 


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Mei    2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar