بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 57
Kedurhakaan Kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Mengundang Beban Ujian
yang Melebihi Kemampuan “Daya Pikul” & Makna Menjadi Kera yang Hina
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai pelanggaran
orang-orang Yahudi pada Hari Sabat
ketika ikan-ikan di lautan mengetahui secara naluri waktu yang aman
dan karena itu perasaan aman secara naluri ini telah membuat ikan-ikan itu bermunculan ke permukaan
air atau mendekati pantai dalam jumlah
yang besar pada hari Sabat,
firman-Nya:
وَ
سۡـَٔلۡہُمۡ عَنِ الۡقَرۡیَۃِ الَّتِیۡ
کَانَتۡ حَاضِرَۃَ الۡبَحۡرِ ۘ اِذۡ
یَعۡدُوۡنَ فِی السَّبۡتِ اِذۡ تَاۡتِیۡہِمۡ حِیۡتَانُہُمۡ یَوۡمَ سَبۡتِہِمۡ
شُرَّعًا وَّ یَوۡمَ لَا یَسۡبِتُوۡنَ ۙ لَا
تَاۡتِیۡہِمۡ ۚۛ کَذٰلِکَ ۚۛ نَبۡلُوۡہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾
Dan tanyakanlah kepada mereka mengenai kota
yang terletak di dekat laut, ketika mereka
melanggar aturan pada hari Sabat, yaitu ketika ikan-ikan mereka mendatangi mereka
bermunculan di permukaan air pada hari Sabat, tetapi pada
hari ketika mereka tidak merayakan Sabat ikan-ikan itu tidak mendatangi mereka. Demikianlah Kami menguji mereka sebab mereka senantiasa berbuat fasik. (Al-A’rāf
[7]:164).
Godaan yang Menggelincirkan Orang-orang Yahudi
Keadaan ini ternyata merupakan godaan yang terlalu besar bagi orang-orang Yahudi
dan mereka mengadakan persiapan untuk menangkap
ikan pada hari Sabat, dan dengan
demikian mereka menodai kekeramatan hari
itu. Mengisyaratkan kepada permohonan
agar tidak mengalami “godaan” atau “ujian” yang ada di luar kemampuan manusia untuk menanggungnya firman-Nya berikut ini:
لَا یُکَلِّفُ
اللّٰہُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا ؕ لَہَا مَا
کَسَبَتۡ وَ عَلَیۡہَا مَا
اکۡتَسَبَتۡ ؕ رَبَّنَا لَا
تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِیۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا ۚ رَبَّنَا
وَ لَا تَحۡمِلۡ عَلَیۡنَاۤ اِصۡرًا کَمَا حَمَلۡتَہٗ عَلَی
الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا ۚ رَبَّنَا
وَ لَا تُحَمِّلۡنَا مَالَا طَاقَۃَ لَنَا بِہٖ ۚ وَ اعۡفُ
عَنَّا ٝ وَ اغۡفِرۡ لَنَا ٝ وَ ارۡحَمۡنَا ٝ اَنۡتَ مَوۡلٰىنَا فَانۡصُرۡنَا
عَلَی الۡقَوۡمِ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾٪
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya. Baginya
ganjaran untuk apa yang
diusahakannya, dan ia akan mendapat
siksaan untuk apa yang diusahakannya.
Mereka berkata: “Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau menghukum kami
jika kami terlupa atau kami
tersalah. رَبَّنَا وَ لَا
تَحۡمِلۡ عَلَیۡنَاۤ اِصۡرًا کَمَا
حَمَلۡتَہٗ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا --
Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah
Engkau membebani kami tanggung jawab seperti telah Engkau bebankan atas orang-orang
sebelum kami. رَبَّنَا وَ لَا تُحَمِّلۡنَا مَالَا طَاقَۃَ لَنَا بِہٖ -- Ya Rabb
(Tuhan) kami, janganlah Engkau membebani
kami dengan apa yang kami tidak kuat
menanggungnya, maafkanlah kami, ampunilah kami, dan kasihanilah
kami karena Engkau-lah Pelindung
kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.” (Al-Baqarah [7]:287).
Kesia-siaan Ajaran “Penebusan
Dosa”
Kalimat
لَا یُکَلِّفُ اللّٰہُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَہَا -- “Allah tidak membebani seseorang kecuali
sesuai dengan kemampuannya” merupakan sanggahan
yang kuat sekali terhadap itikad
penebusan dosa dan mengandung dua asas penting:
(1) Bahwa perintah-perintah
Ilahi senantiasa diberikan dengan memberi perhatian yang sepenuhnya kepada kemampuan manusia dan batas-batas kodratnya.
(2) Bahwa kesucian akhlak di dunia ini tidak seharusnya berarti bebas sepenuhnya dari segala macam kelemahan dan kekurangan. Apa yang diharapkan untuk dilakukan manusia ialah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk meraih kebaikan
dan menjauhi dosa dengan sekuat
tenaga, sedangkan selebihnya Tuhan
Yang Maha Pemurah akan memaafkannya melalui maghfirah-Nya (pengampunan-Nya), karena itu
penebusan dosa dari siapa pun sama
sekali tidak diperlukan,, berikut firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ
یٰعِبَادِیَ الَّذِیۡنَ اَسۡرَفُوۡا عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَۃِ اللّٰہِ ؕ
اِنَّ اللّٰہَ یَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِیۡعًا ؕ اِنَّہٗ ہُوَ
الۡغَفُوۡرُ الرَّحِیۡمُ ﴿﴾ وَ اَنِیۡبُوۡۤا اِلٰی رَبِّکُمۡ وَ اَسۡلِمُوۡا لَہٗ مِنۡ قَبۡلِ
اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنۡصَرُوۡنَ ﴿﴾ وَ
اتَّبِعُوۡۤا اَحۡسَنَ مَاۤ اُنۡزِلَ
اِلَیۡکُمۡ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ
بَغۡتَۃً وَّ اَنۡتُمۡ
لَا تَشۡعُرُوۡنَ ﴿ۙ﴾
Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَۃِ اللّٰہِ -- janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. اِنَّ اللّٰہَ یَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِیۡعًا -- Sesungguhnya
Allah mengampuni semua dosa. اِنَّہٗ
ہُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِیۡمُ -- Sesungguhnya
Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. وَ اَنِیۡبُوۡۤا اِلٰی رَبِّکُمۡ وَ اَسۡلِمُوۡا لَہٗ مِنۡ قَبۡلِ
اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنۡصَرُوۡنَ -- Dan
kembalilah kepada Rabb (Tuhan) kamu
dan berserah-dirilah kepada-Nya sebelum azab datang kepadamu kemudian kamu
tidak akan ditolong. وَ
اتَّبِعُوۡۤا اَحۡسَنَ مَاۤ اُنۡزِلَ
اِلَیۡکُمۡ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ -- Dan ikutilah
ajaran terbaik yang telah
diturunkan kepada kamu dari Rabb (Tuhan)
kamu, مِّنۡ
قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ الۡعَذَابُ بَغۡتَۃً
وَّ اَنۡتُمۡ لَا
تَشۡعُرُوۡنَ -- sebelum
datang kepada kamu azab dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadari.” (Az-Zumar
[39]:54-55).
Ayat 54
memberi amanat harapan dan kabar gembira kepada orang-orang berdosa. Ayat ini membesarkan hati dan
melenyapkan rasa putus-asa dan kecemasan. Ayat ini menolak dan mengutuk
rasa putus-asa, sebab putus-asa itu terletak pada akar kebanyakan dosa dan kegagalan-kegagalan dalam kehidupan.
Berulang-ulang Al-Quran menjanjikan rahmat dan ampunan Allah Swt. (QS.6:55; QS.7:157; QS.12:88; QS.15:57; QS.18:59),
tidak ada amanat hiburan dan penenteramkan hati yang lebih bagi
mereka yang sedang berhati lara dan masygul lebih besar daripada itu.
Sementara ayat sebelumnya memberikan kepada orang-orang berdosa amanat harapan dan kabar gembira, ayat 55 memperingatkan mereka bahwa mereka akan
harus membentuk nasib sendiri dengan mentaati hukum-hukum Ilahi.
Kedurhakaan Kepada Allah Swt. dan Rasul Allah Mengundang
Datangnya Beban (Ujian) yang Melebihi Daya-pikul
Kata kasabat
dalam ayat (kalimat) selanjutnya: لَہَا مَا کَسَبَتۡ وَ عَلَیۡہَا مَا اکۡتَسَبَتۡ -- “Baginya ganjaran untuk apa
yang diusahakannya, dan ia akan
mendapat siksaan untuk apa
yang diusahakannya” (QS.2:287) pada umumnya berarti melakukan amal shalih, dan iktasabat melakukan perbuatan
jahat.
Kedua kata kasabat dan iktasabat itu berasal dari akar kata
yang sama, tetapi iktasaba berarti usaha
yang lebih keras dari pihak
pelakunya. Setiap orang akan diberi ganjaran
untuk perbuatan baik, sekalipun
perbuatan itu dilakukan sambil lalu
saja dan tanpa usaha secara sadar; sedang ia akan dihukum atas perbuatan jahatnya hanya bila perbuatan
itu dilakukan dengan sengaja dan
dengan usaha yang dilakukan secara sadar.
Makna kalimat selanjutnya: رَبَّنَا لَا
تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِیۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا
-- “Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami
terlupa atau kami tersalah.” Dalam
keadaan biasa nis-yan dan khati’ah tidak akan mendapat hukuman,
sebab kedua kata itu menunjukkan tidak
adanya niat atau motif yang
mengharuskan dijatuhkannya hukuman.
Tetapi di sini kata-kata itu berarti kealpaan
atau kekeliruan yang dapat dihindari
seandainya segala ikhtiar ditempuh
untuk menghindarinya.
Ishr
dalam ayat رَبَّنَا وَ لَا تَحۡمِلۡ
عَلَیۡنَاۤ اِصۡرًا کَمَا
حَمَلۡتَہٗ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا -- Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah
Engkau membebani kami tanggung jawab seperti telah Engkau bebankan atas orang-orang
sebelum kami,” berarti: (1) beban yang menahan seseorang untuk
bergerak; (2) pertanggungjawaban berat
yang bila dilanggar menyebabkan seseorang layak mendapat hukuman; (3) dosa atau pelanggaran; dan (4) siksaan
yang pedih atas suatu dosa.
Ungkapan “janganlah
Engkau membebani kami tanggung jawab seperti
telah Engkau bebankan atas orang-orang sebelum kami” tidak berarti
bahwa beban yang akan diletakkan di
atas kita hendaknya lebih ringan
daripada yang telah dibebankan atas
orang-orang sebelum kita, melainkan artinya "semoga kami dilindungi dari pelanggaran terhadap perjanjian kepada
Engkau dan dengan demikian dapat diselamatkan dari menanggung tanggung jawab
besar atas pembangkangan seperti telah dilakukan oleh orang-orang sebelum kami."
Doa dalam QS.2:287 ini merupakan doa kolektif untuk pemeliharaan dan perlindungan
terhadap agama Islam dan penjagaan kaum Muslim dari kemurkaan Allah Swt. sebagaimana yang
telah menimpa orang-orang Yahudi
akibat seringnya mereka melakukan kedurhakaan
kepada Allah Swt. dan para Rasul
Allah yang dibangkitkan di
kalangan mereka (QS.2:88-89), di antaranya adalah pelanggaran
mereka berkenaan hari Sabat,
firman-Nya:
وَ
سۡـَٔلۡہُمۡ عَنِ الۡقَرۡیَۃِ الَّتِیۡ
کَانَتۡ حَاضِرَۃَ الۡبَحۡرِ ۘ اِذۡ
یَعۡدُوۡنَ فِی السَّبۡتِ اِذۡ تَاۡتِیۡہِمۡ حِیۡتَانُہُمۡ یَوۡمَ سَبۡتِہِمۡ
شُرَّعًا وَّ یَوۡمَ لَا یَسۡبِتُوۡنَ ۙ لَا
تَاۡتِیۡہِمۡ ۚۛ کَذٰلِکَ ۚۛ نَبۡلُوۡہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾
Dan tanyakanlah kepada mereka mengenai kota
yang terletak di dekat laut, ketika mereka
melanggar aturan pada hari Sabat, yaitu ketika ikan-ikan mereka mendatangi mereka
bermunculan di permukaan air pada hari Sabat, tetapi pada
hari ketika mereka tidak merayakan Sabat ikan-ikan itu tidak mendatangi mereka. Demikianlah Kami menguji mereka sebab mereka senantiasa berbuat fasik. (Al-A’rāf
[7]:164).
Pentingnya Melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan
mengenai alasan orang-orang yang
melaksanakan kewajiban melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar, firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَتۡ
اُمَّۃٌ مِّنۡہُمۡ لِمَ تَعِظُوۡنَ قَوۡمَۨا ۙ اللّٰہُ مُہۡلِکُہُمۡ اَوۡ
مُعَذِّبُہُمۡ عَذَابًا شَدِیۡدًا ؕ قَالُوۡا مَعۡذِرَۃً اِلٰی رَبِّکُمۡ وَ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ﴿﴾ فَلَمَّا نَسُوۡا مَا ذُکِّرُوۡا بِہٖۤ اَنۡجَیۡنَا
الَّذِیۡنَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ السُّوۡٓءِ وَ اَخَذۡنَا الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا بِعَذَابٍۭ
بَئِیۡسٍۭ بِمَا کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾
Dan ketika segolongan di antara mereka
berkata kepada golongan lain: لِمَ تَعِظُوۡنَ
قَوۡمَۨا -- “Mengapa kamu menasihati kaum اللّٰہُ
مُہۡلِکُہُمۡ اَوۡ مُعَذِّبُہُمۡ عَذَابًا شَدِیۡدًا -- yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang sangat keras?” قَالُوۡا
مَعۡذِرَۃً اِلٰی رَبِّکُمۡ وَ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ -- Mereka berkata: “Agar kami punya dalih
di hadapan Rabb (Tuhan) kamu, dan supaya
mereka bertakwa.” فَلَمَّا نَسُوۡا مَا ذُکِّرُوۡا بِہٖۤ اَنۡجَیۡنَا الَّذِیۡنَ یَنۡہَوۡنَ
عَنِ السُّوۡٓءِ
-- Maka tatkala
mereka melupakan yang telah dinasihatkan kepadanya, Kami menyelamatkan orang-orang yang melarang
berbuat keburukan, وَ اَخَذۡنَا الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا بِعَذَابٍۭ بَئِیۡسٍۭ بِمَا
کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ -- dan Kami menghukum orang-orang zalim dengan siksaan yang sangat buruk
karena mereka senantiasa berbuat fasik.
(Al-A’rāf [7]:165-166).
Jadi, betapa pentingnya keberadaan satu golongan di kalangan orang-orang
beriman yang selalu melakukan amar-ma’ruf dan nahi-munkar (QS.3:105) -- termasuk di Akhir Zaman ini -- sebab jika tidak ada
pihak yang melakukan hal tersebut maka semua orang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt.,
sebagaimana halnya para Rasul Allah dan dan kaum-kaum yang kepada mereka para Rasul Allah diutus akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah
Swt., (QS.5:110 & 117-119; QS.7:7-8; QS.28:66-67), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اسۡتَجِیۡبُوۡا لِلّٰہِ
وَ لِلرَّسُوۡلِ اِذَا دَعَاکُمۡ لِمَا یُحۡیِیۡکُمۡ ۚ وَ
اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ
یَحُوۡلُ بَیۡنَ
الۡمَرۡءِ وَ قَلۡبِہٖ وَ اَنَّہٗۤ اِلَیۡہِ تُحۡشَرُوۡنَ ﴿﴾ وَ اتَّقُوۡا فِتۡنَۃً
لَّا تُصِیۡبَنَّ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡکُمۡ خَآصَّۃً ۚ وَ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ
شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ ﴿﴾
Hai
orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila ia menyeru kamu supaya ia menghidupkanm kamu,
dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghalang di antara manusia dan keinginan
hatinya dan bahwa sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dihimpun. وَ اتَّقُوۡا فِتۡنَۃً لَّا تُصِیۡبَنَّ الَّذِیۡنَ ظَلَمُوۡا مِنۡکُمۡ خَآصَّۃً -- Dan takutilah fitnah yang tidak
khusus hanya menimpa orang-orang
zalim di antara kamu, وَ
اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ شَدِیۡدُ
الۡعِقَابِ -- dan
ketahuilah sesungguhnya siksaan Allah
sangat keras. (Al-Anfāl [8]:25-26).
Menghidupkan Kematian Ruhani & Makna Dijadikan “Kera” yang Hina
Kata
ganti orang ketiga “ia” dalam
ayat اسۡتَجِیۡبُوۡا لِلّٰہِ وَ لِلرَّسُوۡلِ اِذَا دَعَاکُمۡ لِمَا یُحۡیِیۡکُمۡ -- “sambutlah
seruan Allah dan Rasul-Nya apabila ia menyeru kamu
supaya ia menghidupkanm kamu” menunjuk kepada Rasul, sebab Rasul itulah
yang sebenarnya menyeru, sebab seruan dari Allah Swt. pun melalui Rasul-Nya. Atau kata “ia” boleh juga diartikan mengacu
kepada Allah Swt. atau Rasul secara mandiri yaitu, “bila Allah menyeru kamu atau bila Rasul menyeru kamu.” Menghidupkan yang mati apabila disifatkan kepada seorang rasul Allah harus diartikan secara kiasan atau secara ruhani,
yakni menghidupkan orang yang ruhaninya telah mati.
Kata-kata “Allah menghalang di antara manusia dan hatinya” dalam kalimat
وَ اعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یَحُوۡلُ بَیۡنَ الۡمَرۡءِ وَ قَلۡبِہٖ وَ اَنَّہٗۤ اِلَیۡہِ تُحۡشَرُوۡنَ -- “dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghalang
di antara manusia dan keinginan hatinya dan bahwa sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu
akan dihimpun” maknanya adalah bahwa
manusia (atau akunya) tidak berkuasa
atas hatinya, oleh sebab itu ia tidak dapat membuat hatinya tunduk kepada
perintah-perintahnya.
Kata-kata itu dapat pula berarti bahwa hendaknya manusia segera menanggapi dan menyambut seruan Allah Swt., sebab jika ia menangguh-nangguh atau bertindak lamban maka keadaan-keadaan yang tidak disangka-sangka dapat timbul sewaktu-waktu dan membuat hatinya keras atau berkarat sehingga ia enggan
mendengarnya.
Makna ayat
selanjutnya: وَ اتَّقُوۡا فِتۡنَۃً لَّا تُصِیۡبَنَّ الَّذِیۡنَ
ظَلَمُوۡا مِنۡکُمۡ خَآصَّۃً -- Dan
takutilah fitnah yang tidak
khusus hanya menimpa orang-orang
zalim di antara kamu,”, arti lain fitnah
adalah hukuman (azab). Hanya
membuat diri kita sendiri baik tidaklah cukup. Kita belum aman
sebelum kita membenahi juga keadaan di sekitar kita. Sebab sebuah rumah yang di sekelilingnya ada api
menyala-nyala, setiap saat boleh jadi, dapat menjadi umpan api itu.
Kembali kepada masalah pelanggaran yang dilakukan orang-orang
Yahudi pada hari Sabat, selanjutnya Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا عَتَوۡا عَنۡ مَّا نُہُوۡا عَنۡہُ قُلۡنَا لَہُمۡ کُوۡنُوۡا
قِرَدَۃً خٰسِئِیۡنَ ﴿﴾
Maka tatkala
mereka melanggar apa yang dilarang untuk mengerjakannya, Kami
berfirman kepada mereka: کُوۡنُوۡا قِرَدَۃً خٰسِئِیۡنَ -- ”Jadilah kamu kera-kera yang hina!” (Al-A’rāf [7]:167).
Firman-Nya
lagi:
وَ لَقَدۡ عَلِمۡتُمُ الَّذِیۡنَ اعۡتَدَوۡا مِنۡکُمۡ فِی
السَّبۡتِ فَقُلۡنَا لَہُمۡ کُوۡنُوۡا قِرَدَۃً خٰسِئِیۡنَ ﴿ۚ﴾
Dan sungguh kamu benar-benar mengetahui orang-orang
di antara kamu yang melanggar dalam hal Hari Sabat, lalu Kami berfirman kepada mereka: کُوۡنُوۡا قِرَدَۃً خٰسِئِیۡنَ -- ”Jadilah kamu kera yang hina!”
(Al-Baqarah
[2]:66).
Kata “kera” telah dipakai secara kiasan, artinya orang-orang Bani Israil (Yahudi) menjadi nista dan hina seperti kera,
perubahannya tidak dalam wujud dan bentuk melainkan dalam watak
dan jiwa. “Mereka tidak sungguh-sungguh diubah menjadi kera, hanya hatinya yang
diubah” (Mujahid). “Allah Swt. telah memakai ungkapan itu secara kiasan”
(Tafsir
Ibnu Katsir).
Mereka yang Secara Kiasan
Dijadikan Kera, Babi dan Penyembah Thaghut
Bila Al-Quran memaksudkan perubahan wujudnya menjadi kera maka kata yang biasa dipergunakan
adalah khashi'ah, bukan khasi’in, yang dipakai untuk wujud-wujud berakal. Penggunaan kata kiradatan (kera) itu dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa sebagaimana kera itu
binatang hina, begitu pula
orang-orang Bani Israil (Yahudi) senantiasa
akan dihinakan di dunia ini dan
sungguh pun mereka mempunyai sumber-sumber
daya besar dalam harta dan pendidikan, mereka tidak akan memiliki
suatu kubu pertahanan (negara) di
bumi secara permanen, arti akar kata qiradatan menunjukkan kenistaan dan kehinaan
dan pula kerendahan martabat.
Sehubungan dengan kenyataan tersebut berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ یٰۤاَہۡلَ
الۡکِتٰبِ ہَلۡ تَنۡقِمُوۡنَ مِنَّاۤ اِلَّاۤ اَنۡ اٰمَنَّا بِاللّٰہِ وَ
مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَیۡنَا وَ مَاۤ اُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اَنَّ اَکۡثَرَکُمۡ
فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ قُلۡ ہَلۡ اُنَبِّئُکُمۡ بِشَرٍّ مِّنۡ ذٰلِکَ
مَثُوۡبَۃً عِنۡدَ اللّٰہِ ؕ مَنۡ لَّعَنَہُ اللّٰہُ وَ غَضِبَ عَلَیۡہِ وَ جَعَلَ
مِنۡہُمُ الۡقِرَدَۃَ وَ الۡخَنَازِیۡرَ
وَ عَبَدَ الطَّاغُوۡتَ ؕ اُولٰٓئِکَ شَرٌّ مَّکَانًا وَّ اَضَلُّ
عَنۡ سَوَآءِ السَّبِیۡلِ ﴿﴾
Katakanlah:
“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu membenci serta mencela kami hanya karena kami telah beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelum ini, padahal sesungguhnya kebanya-kan kamu orang-orang durhaka?” Katakanlah: “Maukah aku beritahukan kepada kamu yang lebih buruk daripada itu mengenai
pem-balasan dari sisi Allah? مَنۡ
لَّعَنَہُ اللّٰہُ وَ غَضِبَ عَلَیۡہِ وَ جَعَلَ مِنۡہُمُ الۡقِرَدَۃَ وَ الۡخَنَازِیۡرَ وَ عَبَدَ الطَّاغُوۡتَ -- Yaitu orang-orang yang dilaknati Allah, dan kepadanya Dia murka dan menjadikan sebagian dari mereka kera-kera,
babi-babi dan yang
menyembah syaitan. اُولٰٓئِکَ
شَرٌّ مَّکَانًا وَّ اَضَلُّ عَنۡ
سَوَآءِ السَّبِیۡلِ -- Mereka
itu berada di tempat yang buruk dan
tersesat jauh dari jalan lurus.
(Al-Maidah
[5]:60-81).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar