بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 20
Pentingnya Melakukan Bai’at Kepada Rasul Allah
yang Dijanjikan & Persamaan Derajat
Perempuan dengan Laki-laki
Dalam Islam Kecuali Meraih Derajat Kenabian
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai larangan melakukan pernikahan dengan “perempuan-perempuan musyrik” yang erat hubungannya dengan masalah peperangan, sebab selama berlangsung
peperanganlah orang-orang beriman -- karena meninggalkan
rumah selama waktu yang cukup panjang
-- mungkin akan tergoda dan ingin menikah dengan perempuan-perempuan
serupa itu. Hal itu jelas dilarang
oleh Al-Quran, seperti juga dilarang
menikahkan perempuan-perempuan beriman kepada pria
musyrik, firman-Nya:
وَ لَا
تَنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکٰتِ حَتّٰی یُؤۡمِنَّ ؕ وَ لَاَمَۃٌ مُّؤۡمِنَۃٌ خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکَۃٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَتۡکُمۡ
ۚ وَ لَا تُنۡکِحُوا الۡمُشۡرِکِیۡنَ حَتّٰی یُؤۡمِنُوۡا ؕ وَ لَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ
خَیۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِکٍ وَّ لَوۡ اَعۡجَبَکُمۡ ؕ اُولٰٓئِکَ یَدۡعُوۡنَ اِلَی النَّارِ ۚۖ وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ
الۡمَغۡفِرَۃِ بِاِذۡنِہٖ ۚ وَ
یُبَیِّنُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ
لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan
musyrik hingga mereka terlebih dulu beriman, dan niscaya
hamba-sahaya perempuan yang beriman itu lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia mempesona
hati kamu. Dan janganlah kamu
menikahkan perempuan yang beriman dengan laki-laki musyrik hingga mereka
terlebih dulu beriman, dan niscaya
hamba-sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, meskipun ia mempesona hati kamu. اُولٰٓئِکَ
یَدۡعُوۡنَ اِلَی النَّارِ -- Mereka mengajak
ke dalam Api, وَ اللّٰہُ یَدۡعُوۡۤا اِلَی الۡجَنَّۃِ وَ
الۡمَغۡفِرَۃِ بِاِذۡنِہٖ -- sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. وَ یُبَیِّنُ اٰیٰتِہٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَتَذَکَّرُوۡنَ -- dan Dia
menjelaskan Tanda-tanda-Nya kepada manusia
supaya mereka mendapat nasihat. (Al-Baqarah [22]:222).
Hubungan Suami-istri
Lebih Dekat Daripada Hubungan
Persahabatan Lainnya
Sehubungan pentingnya masalah pernikahan berdasarkan kesamaan iman (keimanan) dalam rangka
penciptaan “langit baru dan bumi baru” ruhani
(QS.14:49) – selanjutnya Allah
Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ
اِذَا جَآءَکَ الۡمُؤۡمِنٰتُ
یُبَایِعۡنَکَ عَلٰۤی اَنۡ لَّا یُشۡرِکۡنَ بِاللّٰہِ شَیۡئًا وَّ لَا
یَسۡرِقۡنَ وَ لَا یَزۡنِیۡنَ وَ لَا یَقۡتُلۡنَ اَوۡلَادَہُنَّ وَ لَا یَاۡتِیۡنَ بِبُہۡتَانٍ یَّفۡتَرِیۡنَہٗ بَیۡنَ اَیۡدِیۡہِنَّ وَ اَرۡجُلِہِنَّ وَ لَا
یَعۡصِیۡنَکَ فِیۡ مَعۡرُوۡفٍ
فَبَایِعۡہُنَّ وَ اسۡتَغۡفِرۡ لَہُنَّ اللّٰہَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ﴿﴾
Hai
Nabi, jika datang kepada engkau perempuan-perempuan beriman hendak bai’at kepada engkau bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, mereka tidak akan
mencuri, mereka tidak akan berzina,
mereka tidak akan membunuh anak-anak
mereka, mereka tidak akan
melemparkan suatu tuduhan yang sengaja dibuat-buat
antara tangan dan kaki mereka, dan mereka tidak akan mendurhakai engkau dalam hal-hal
kebaikan, maka terimalah bai’at
mereka dan mintalah ampunan Allah
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Mumtahinah
[60]:13).
Kedekatan hubungan suami-istri melampaui kedekatan
hubungan persahabatan lainnya,
karena dari pasangan suami-istri tersebut akan lahir generasi penerus yang diharapkan memiliki ketakwaan
yang sama – bahkan lebih baik –
daripada ketakwaan kedua orang-tua
mereka (QS.25:75). Itulah sebabnya selanjutnya Allah Swt. berfirman:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا لَا تَتَوَلَّوۡا قَوۡمًا غَضِبَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ
قَدۡ یَئِسُوۡا مِنَ الۡاٰخِرَۃِ کَمَا یَئِسَ الۡکُفَّارُ مِنۡ اَصۡحٰبِ
الۡقُبُوۡرِ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan sebagai sahabat kaum yang Allah murka atas mereka, sesungguhnya mereka telah berputus-asa mengenai akhirat
sebagaimana orang-orang kafir
telah berputus-asa mengenai orang-orang
yang ada di dalam kubur. (Al-Mumtahinah [60]:14).
Kata-kata sesungguhnya mereka telah
berputus asa mengenai alam ukhrawi, berarti bahwa mereka tidak beriman kepada alam
ukhrawi seperti halnya mereka tidak
percaya bahwa orang mati akan
dibangkitkan kembali. Kata “mereka”
dapat secara khusus dikenakan kepada orang-orang
Yahudi karena ungkapan “yang
Allah telah murka atas mereka”, telah dipakai mengenai orang-orang Yahudi dalam beberapa ayat Al-Quran (QS.2:66; QS.7:167-168; QS.5:14, 61, 65, 79-80).
Mengisyaratkan kepada golongan Ahli Kitab itu pulalah makna maghdhub (orang yang dimurkai) dan dhāllīn (sesat) dalam Surah Al-Fatihah
ayat 7.
Pentingnya Melakukan Bai’at Kepada Rasul Allah yang Dijanjikan & Doa Pasangan Suami-istri yang Bertakwa
Sehubungan dengan masalah
pentingnya orang-orang beriman melakukan bai’at
(sumpah-setia) kepada Rasul Allah
yang kedatangannya dijanjikan, Allah
Swt. berfirman kepada Nabi Besar
Muhammad saw.:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یُبَایِعُوۡنَکَ اِنَّمَا یُبَایِعُوۡنَ اللّٰہَ ؕ یَدُ
اللّٰہِ فَوۡقَ اَیۡدِیۡہِمۡ ۚ فَمَنۡ نَّکَثَ فَاِنَّمَا یَنۡکُثُ عَلٰی نَفۡسِہٖ ۚ
وَ مَنۡ اَوۡفٰی بِمَا عٰہَدَ عَلَیۡہُ
اللّٰہَ فَسَیُؤۡتِیۡہِ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿٪﴾
Sesungguhnya
orang-orang yang baiat kepada engkau اِنَّمَا یُبَایِعُوۡنَ اللّٰہَ -- sebenarnya mereka baiat kepada Allah. یَدُ اللّٰہِ فَوۡقَ
اَیۡدِیۡہِمۡ -- Tangan
Allah ada di atas tangan mereka, فَمَنۡ نَّکَثَ فَاِنَّمَا یَنۡکُثُ عَلٰی نَفۡسِہ -- maka barangsiapa
melanggar janjinya maka ia melanggar
janji atas dirinya sendiri, وَ مَنۡ
اَوۡفٰی بِمَا عٰہَدَ عَلَیۡہُ اللّٰہَ
فَسَیُؤۡتِیۡہِ اَجۡرًا عَظِیۡمًا -- dan barangsiapa
memenuhi apa yang telah dia janjikan kepada Allah maka Dia segera akan memberinya ganjaran yang
besar. (Al-Fath [48]:11).
Allah Swt. menghendaki, bahwa penikahan dalam Islam yang atas dasar persamaan
dalam keimanan (QS.2:222) agar pasangan suami-istri tersebut melahirkan
generasi penerus yang
bertakwa, sebagaimana doa yang diajarkan
Allah Swt. berikut ini, firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ یَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَا ہَبۡ لَنَا مِنۡ اَزۡوَاجِنَا وَ
ذُرِّیّٰتِنَا قُرَّۃَ اَعۡیُنٍ وَّ اجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا ﴿﴾
Dan
orang-orang yang mengatakan: “Ya Rabb
(Tuhan) kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami
menjadi penyejuk mata kami, وَّ اجۡعَلۡنَا
لِلۡمُتَّقِیۡنَ اِمَامًا -- dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Furqān [25]:75).
Doa
pasangan suami-istri tersebut,
insya Allah, akan dikabulkan Allah Swt. jika kedua pasangan suami tersebut sejak awal
berusaha membusanai dirinya dengan “pakaian
takwa” (QS.7:27), karena menurut Allah Swt. fungsi pernikahan atas dasar persamaan iman (QS.222) akan membuat
pasangan suami-istri tersebut secara timbal-balik akan menjadi “busana yang baik” bagi pasangannya, firman-Nya: اُحِلَّ لَکُمۡ لَیۡلَۃَ الصِّیَامِ الرَّفَثُ اِلٰی نِسَآئِکُمۡ ؕ ہُنَّ لِبَاسٌ لَّکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لِبَاسٌ لَّہُنَّ -- “dihalalkan bagi kamu bercampur dengan
istri-sitri kamu waktu malam dalam bulan
puasa, mereka bagaikan pakaian bagi kamu dan kamu bagaikan pakaian bagi mereka…” (Al-Baqarah [2]:188).
Persamaan Derajat Antara Perempuan dengan Laki-laki
Itulah sebabnya Allah Swt. menghendaki bahwa pasangan suami-istri melalui
pernikahan yang atas dasar persamaan iman (keimanan) tersebut ketakwaan keduanya secara bertahap mengalami perkembangan akhlak
dan ruhani
yang terus semakin sempurna sebagaimana firman-Nya berikut ini:
اِنَّ الۡمُسۡلِمِیۡنَ وَ الۡمُسۡلِمٰتِ وَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ
وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ وَ الۡقٰنِتِیۡنَ وَ الۡقٰنِتٰتِ وَ الصّٰدِقِیۡنَ وَ
الصّٰدِقٰتِ وَ الصّٰبِرِیۡنَ وَ الصّٰبِرٰتِ وَ الۡخٰشِعِیۡنَ وَ الۡخٰشِعٰتِ وَ
الۡمُتَصَدِّقِیۡنَ وَ الۡمُتَصَدِّقٰتِ وَ الصَّآئِمِیۡنَ وَ الصّٰٓئِمٰتِ وَ
الۡحٰفِظِیۡنَ فُرُوۡجَہُمۡ وَ الۡحٰفِظٰتِ وَ الذّٰکِرِیۡنَ اللّٰہَ کَثِیۡرًا
وَّ الذّٰکِرٰتِ ۙ اَعَدَّ اللّٰہُ لَہُمۡ
مَّغۡفِرَۃً وَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang berserah diri,
laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki
dan perempuan yang patuh,
laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang merendahkan
diri, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kesucian mereka, laki-laki
dan perempuan yang banyak mengingat
Dia, Allah telah menyediakan
bagi mereka itu ampunan dan ganjaran yang
besar. (Al-Ahzāb [33]:36).
Ayat
ini mengandung sangkalan yang paling
jitu terhadap tuduhan, bahwa Islam memberi kedudukan yang rendah terhadap kaum perempuan. Menurut Al-Quran, kaum perempuan berdiri sejajar
dengan kaum laki-laki dan mereka
dapat mencapai ketinggian-ketinggian
ruhani yang dapat dicapai kaum
laki-laki – kecuali menjadi nabi
-- serta menikmati semua hak
politik dan sosial yang dinikmati
kaum laki-laki.
Hanya saja karena lapangan kegiatan mereka (kaum
perempuan) berbeda maka kewajiban-kewajiban mereka pun lain. Perbedaan
dalam tugas kedua golongan jenis kelamin yang berbeda inilah yang
dengan keliru, atau mungkin dengan sengaja telah disalahartikan
oleh pengecam-pengecam Non-Muslim yang
tidak bersahabat terhadap Islam, seolah-olah memberikan kedudukan lebih rendah kepada kaum perempuan dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Mengenai pentingnya masalah pernikahan
atas dasar persamaan iman
tersebut (QS.2:222) selanjutnya Allah
Swt. berfirman:
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴿﴾
Dan sekali-kali tidak layak bagi laki-laki
yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu urusan bahwa mereka menjadikan pilihan sendiri
dalam urusan dirinya. وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا -- Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia
telah sesat suatu kesesatan yang nyata. (Al-Ahzāb
[33]:37).
Istri-istri
Durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. Sebagai Misal
Para Penentang Rasul Allah
Allah Swt. telah mengemukakan contoh
mengenai akibat buruk dari pernikahan yang tidak didasari oleh kesamaan dalam iman (keimanan)
yaitu mengenai rumahtangga Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s., sehingga
Allah Swt. telah menjadikan kedua istri
durhaka Rasul Allah tersebut sebagai
misal (perumpamaan) orang-orang kafir, firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ
عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ
اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا
النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾ وَ ضَرَبَ اللّٰہُ
مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ ۘ اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ وَ
نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ مَرۡیَمَ
ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ ﴿٪﴾
Allah
mengemukakan istri Nuh dan istri
Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ
عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ -- Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami
yang saleh, فَخَانَتٰہُمَا
فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا
-- tetapi keduanya berbuat
khianat kepada kedua suami
mereka, maka mereka berdua
sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, وَّ قِیۡلَ
ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ -- dan
dikatakan kepada mereka: “Masuklah
kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang
yang masuk.” وَ ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
اٰمَنُوا امۡرَاَتَ فِرۡعَوۡنَ -- Dan Allah mengemukakan istri Fir’aun sebagai misal bagi orang-orang beriman, اِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ابۡنِ لِیۡ عِنۡدَکَ
بَیۡتًا فِی الۡجَنَّۃِ -- ketika
ia berkata: “Hai Rabb (Tuhan), buatkanlah
bagiku di sisi Engkau sebuah rumah
di surga, وَ نَجِّنِیۡ مِنۡ فِرۡعَوۡنَ وَ عَمَلِہٖ وَ نَجِّنِیۡ مِنَ الۡقَوۡمِ الظّٰلِمِیۡنَ -- dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim, وَ مَرۡیَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ
اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا -- dan juga mengemukakan misal Maryam putri ‘Imran, yang
telah memelihara kesuciannya, فَنَفَخۡنَا
فِیۡہِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا
وَ کُتُبِہٖ -- maka Kami meniupkan
ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Rabb-nya ( Tuhan-nya) dan Kitab-kitab-Nya, وَ کَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ -- dan ia
termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm [66]:11-13).
Makna
orang-orang kafir diumpamakan
seperti istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan
istri durhaka Nabi Luth a.s. adalah:
(1) pada hakikatnya kedudukan Rasul Allah bagi kaumnya merupakan “suami ruhani” bagi mereka, tetapi
karena kaum-kaum para Rasul Allah
berlaku durhaka
kepada “suami ruhani” mereka yang
sangat suci tersebut, maka Allah Swt.
telah menjadikan istri-istri durhaka
Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal
(perumpamaman) mereka, sehingga akibat kedurhakaan atau pengkhianatan kepada Rasul
Allah tersebut -- baik istri-istri
durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. mau pun kaum-kaum yang melakukan penentangan
kepada Rasul Allah yang dibangkitkan
di kalangan mereka -- bernasib
sama yakni mereka menjadi penghuni neraka jahannam.
(2) Misal
(perumpamaan) tersebut untuk menunjukkan bahwa persahabatan dengan orang bertakwa -- bahkan
dengan Rasul Allah sekalipun -- tidak berfaedah bagi orang-orang yang mempunyai kecenderungan buruk menolak kebenaran,
seperti yang dilakukan oleh kedua istri
durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s.
Demikian juga keberadaan Nabi Besar
Muhammad saw. yang bergelar Khātaman- Nabiyyīn
(QS.33:41) selama 13 tahun berada di Mekkah, tetapi Abu
Jahal dan kaum Quraisy Mekkah tidak berusaha memperoleh manfaat dari suri
teladan terbaik yang diperagakan
beliau saw. (QS.33:22).
Berbeda dengan kedua istri durhaka Nabi Nuh a.s.
dan Nabi Luth a.s., istri Fir’aun justru ia telah
beriman kepada Nabi Musa a.s. dan
Nabi Harun a.s. yang diutus kepada
Fir’aun dan kaumnya, akibatnya ia memperoleh perlakuan zalim dari suaminya
(Fir’aun) yang kafir, namun ia tetap mempertahankan
keimanannya karena menginginkan “rumah” di sisi Allah Swt. dalam
di surga, sekali pun selama itu ia tinggal di dalam istana Fir’aun yang megah.
Atau misal istri Fir’aun tersebut menggambarkan keadaan orang-orang beriman, yang meskipun berkeinginan dan berdoa terus-menerus agar bebas dari dosa, tidak sepenuhnya dapat melepaskan
diri dari pengaruh buruk keadaan nafs-al-Ammarah (QS.12:52) -- yang
dilukiskan dalam wujud Fir’aun yang zalim -- dan setelah sampai kepada
tingkat “jiwa yang menyesali diri sendiri”
(nafs-al-Lawwamah - QS.76:3), mereka kadang-kadang gagal dan kadang-kadang tergelincir
ke dalam dosa karena kelemahannya.
Hakikat Perumpamaan Siti Maryam a.s. dan Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Tanpa Ayah & Empat Martabat Ruhani
Ada pun misal Siti Maryam, ibunda Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. melambangkan
hamba-hamba Allah yang bertakwa, yang karena telah menutup segala jalan dosa karena telah berhasil melampaui keadaan nafs-al-Ammarah
dan nafs-al-Lawwamah -- dan karena
telah berdamai dengan Allah Swt. – yakni meraih keadaan nafs-al-Muthmainnah (jiwa yang tentram – QS.89:28-31) mereka
dikaruniai ilham Ilahi.
Kata pengganti hī (nya) dalam fīhī (ke dalamnya) dalam ayat فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ -- “maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi firman Rabb-nya
(Tuhan-nya) dan Kitab-kitab-Nya” menunjuk
kepada orang-orang beriman dan bertakwa yang bernasib baik serupa itu. Atau, kata pengganti hī itu dapat pula menggantikan kata farj,
yang secara harfiah berarti celah
atau sela, artinya lubang yang dengan melaluinya dosa dapat masuk, baik berupa lubang
kemaluan mau pun lubang-lubang panca indera.
Penggunaan kata qānitīn sebutan
untuk laki-laki, padahal yang
diceritakan dalam ayat tersebut adalah
perempuan -- yakni Siti
Maryam ibunda Nabi Isa a.s. yang seharusnya digunakan kata qānitāt (perempuan-perempuan yang patuh-taat –
QS.33:36) – mengisyaratkan, bahwa
sebelum derajat keruhanian yang dicapai orang-orang yang beriman
dan bertakwa sampai dengan misal Maryam binti ‘Imran di sisi Allah Swt. adalah dalam status perempuan yakni berderajat shidiq
atau shidiqah, tetapi ketika terjadi kehamilan
dan kelahiran ruhani akibat peniupan “ruh” (wahyu) dari Allah Swt., maka kedudukan ruhani hamba-hamba
Allah tersebut bukan lagi sebagai “perempuan”
(shiddiqāt/qānitāt) melainkan sebagai “laki-laki”, sebagaimana
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. yang
dilahirkan oleh Siti Maryam a.s.. dan
memperoleh martabat nabi Allah, derajat
ruhani yang lebih tinggi dari derajat shidiqīn/shadiqāt
ibunya (QS.4:70-71).
Sejak diutusnya Nabi Besar Muhammad saw.
sebagai Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41)
dan diwahyukan-Nya agama Islam (Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna (QS.5:4), satu-satunya cara (jalan) untuk dapat meraih nikmat keruhanian mulai dari martabat shalihin sampai dengan
martabat nabiyyin harus sepenuhnya mentaati
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71), berikut firman-Nya kepada Nabi
Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ
اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ
وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ﴿﴾
Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah
pun akan mencintai kamu dan akan
mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Âli
‘Imran [3]:32).
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa sejak diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. tujuan
memperoleh kecintaan Ilahi tidak mungkin terlaksana kecuali dengan mengikuti beliau saw.. Selanjutnya ayat
ini melenyapkan kesalahpahaman yang
mungkin dapat timbul dari QS.2:63 bahwa iman
kepada adanya Tuhan dan alam akhirat saja sudah cukup untuk
memperoleh najat (keselamatan).
Ada pun hasil dari ketaatan kepada Allah Swt. dan Nabi
Besar Muhammad saw. tersebut Allah Swt. berfirman mengenai martabat-martabat ruhani orang-orang yang mendapat kecintaan-Nya dan pengampunan-Nya tersebut:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ
عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan
termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada
mereka yakni: مِّنَ النَّبِیّٖنَ
وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih, وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا -- dan mereka itulah sahabat yang sejati. ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا -- Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allāh Yang Maha Mengetahui. (An-Nisa [4]:70-71).
Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan
semua jalur kemajuan ruhani yang
terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat
martabat keruhanian — nabi, para shiddiq, syuhada dan shalih ) — semuanya
dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti
Nabi Besar Muhammad saw..
Hal ini
merupakan kehormatan khusus bagi beliau saw. semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dan mengatakan: “Dan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan
saksi-saksi di sisi Rabb (Tuhan) mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca
bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan
tidak lebih tinggi dari itu, tetapi pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad
saw. dapat naik ke martabat nabi juga, yakni nabi ummati.
Kitab “Bahr-ul-Muhit”
(jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman
dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka
empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia
telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat
tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian
itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang
membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum
masih tetap dapat dicapai.”
Demikianlah penjelasan
hakikat misal (perumpamaan) Maryam binti ‘Imran yang berkat “peniupan Ruh” dari Allah Swt.
yakni wahyu Ilahi -- kemudian
melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s. yang
berpangkat nabi, derajat ruhani yang lebih tinggi daripada derajat shidiq
atau shidiqah yang Maryam
binti Imran atau ibu Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. berada pada martabat
ruhani tersebut.
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 6 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar