Senin, 06 April 2015

Kedatangan "Misal" nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dari Kalangan Umat Islam Sebagai "As-Saa'ah" (Tanda Kiamat) Bagi Bani Isma'il & Tiga Macam Keburukan yang Dilakukan Kaum Nabi Luth a.s.





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 21

Kedatangan Misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dari Kalangan Umat Islam Sebagai As-Sā’ah  (Tanda Kiamat) Bagi Bani Isma’il & Tiga Macam Keburukan yang Dilakukan kaum Nabi Luth a.s.
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai hakikat penggunaan kata qānitīn  sebutan  untuk laki-laki, padahal yang diceritakan  dalam QS.66:13  adalah perempuan  -- yakni  Siti Maryam  ibunda Nabi Isa a.s.   yang seharusnya digunakan  kata qānitāt  (perempuan-perempuan yang patuh-taat  (QS.33:36), firman-Nya:  وَ مَرۡیَمَ  ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ  الَّتِیۡۤ  اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا    -- dan juga mengemukakan misal Maryam putri ‘Imran,  yang telah memelihara ke-suciannya,  فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ  مِنۡ  رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ -- maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia menggenapi firman Rabb-nya ( Tuhan-nya) dan Kitab-kitab-Nya, وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ  -- dan ia termasuk orang-orang yang patuh. (At-Tahrīm [66]:13), ayat tersebut mengisyaratkan  bahwa   derajat keruhanian yang dicapai orang-orang  yang beriman dan bertakwa sampai dengan misal Maryam binti ‘Imran  di sisi Allah Swt. adalah dalam status perempuan yakni berderajat    shiddiqīn/shiddiqāt, tetapi ketika terjadi kehamilan dan kelahiran ruhani  akibat peniupanruh” (wahyu) dari Allah Swt. ke dalam jiwanya, maka kedudukan ruhani  hamba-hamba Allah pada tingkatan ruhani Maryam binti ‘Imran tersebut bukan lagi sebagai “perempuan” (shādiqāt/qānitāt) melainkan sebagai “laki-laki”,   sebagaimana   Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. yang dilahirkan oleh Siti Maryam a.s.   dan memperoleh martabat nabi Allah, yaitu derajat ruhani yang lebih tinggi daripada derajat shiddiqīn/shadiqāt ibunya (QS.4:70-71), itulah salah satu makna penggunaan kata  qānitīn   mengenai misal Maryam binti ‘Imran dalam Surah At-Tahrīm ayat 13:   وَ کَانَتۡ مِنَ  الۡقٰنِتِیۡنَ  -- dan ia termasuk orang-orang yang patuh.”  

Makna Gelar Khātaman Nabiyyīn  & Empat  Macam Nikmat Ruhani

   Sejak diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. sebagai Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41) dan diwahyukan-Nya agama Islam (Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna (QS.5:4), satu-satunya cara (jalan) untuk dapat meraih nikmat  keruhanian  mulai dari martabat shālihīn sampai dengan  martabat nabiyyīn  harus sepenuhnya  mentaati Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71), berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
قُلۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ﴿﴾
Katakanlah:  Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah  aku,  Allah pun akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Âli ‘Imran [3]:32).
      Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa  sejak diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. tujuan memperoleh kecintaan Ilahi    tidak mungkin terlaksana kecuali dengan mengikuti beliau saw.. Selanjutnya ayat ini melenyapkan kesalahpahaman yang mungkin dapat timbul dari QS.2:63 bahwa iman kepada adanya Tuhan dan alam akhirat saja sudah cukup untuk memperoleh najat (keselamatan).
      Ada pun hasil dari ketaatan kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. tersebut Allah Swt. berfirman mengenai martabat-martabt ruhani orang-orang yang mendapat kecintaan-Nya dan pengampunan-Nya tersebut:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾  ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara  orang-orang  yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni:  مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid (syuhada), dan orang-orang shalih,  وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا  -- dan mereka  itulah sahabat yang sejati. ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا  --  Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisa [4]:70-71).
        Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian  nabi,  shiddiq,  syahid dan   shalih   semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti Nabi Besar Muhammad saw. atau fana fār- rasul, sebab sejak diutusnya beliau saw. kedatangan nabi   mustaqil (nabi yang mandiri)  tidak ada lagi , sebab  tangkaian kenabian   yang mustaqil  (mandiri) telah tertutup,  yang ada adalah nabi ummati atau nabi buruzi/zhilli  yang merupakan “bayangan” atau gambar stempel (cap) dari Nabi Besar Muhammad saw.. Itulah sebabnya dari sekian banyak arti khatam  salah satunya adalah stempel atau  cap  suatu benda yang dapat menghasilkan gambar  atau cap  yang sama pada sesuatu   yang   stempel (cap) ditempelkan padanya.
          Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi  beliau saw.   semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang membicarakan nabi-nabi secara umum dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman kepada Allāh dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, tetapi pengikut hakiki Nabi Besar Muhammad saw.   dapat naik ke martabat nabi juga, yakni nabi ummati.
          Kitab “Bahr-ul-Muhit” (jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman  dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.”
        Al-Raghib membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”

Kedatangan Misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dari  Kalangan Umat Islam Sebagai As-Sā’ah (Tanda Kiamat) Bagi Bani Isma’il

        Demikianlah penjelasan  hakikat  misal  (perumpamaan) Maryam binti ‘Imran yang  berkat “peniupan Ruh” dari Allah Swt.  yakni  wahyu Ilahi  -- kemudian melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s. yang berpangkat nabi yaitu derajat ruhani  yang lebih tinggi daripada  derajat shiddiq atau shiddiqah   yang Maryam binti Imran   berada pada martabat ruhani  tersebut.
        Di Akhir Zaman sekarang ini  orang Muslim yang  mendapat karunia Ilahi  meraih kenaikan ruhani dari derajat ruhani Maryam binti ‘Imran menjadi derajat ruhani Isa Ibnu Maryam a.s. adalah  Mirza Ghulam Ahmad a.s., Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, yang atas perintah Allah Swt. agar mendakwakan diri sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. (Al-Masih yang dijanjikan) atau sebagai misal Isa Ibnu Maryam a.s.,  berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾  وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا ضَرَبُوۡہُ  لَکَ  اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ ﴿﴾  اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ جَعَلۡنٰہُ  مَثَلًا   لِّبَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnya,   dan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?" مَا ضَرَبُوۡہُ  لَکَ  اِلَّا جَدَلًا --  Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata. بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ -- Bahkan mereka adalah kaum yang biasa berbantah.  اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ جَعَلۡنٰہُ  مَثَلًا   لِّبَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ --  Ia tidak lain melainkan seorang hamba yang telah Kami  anugerahi nikmat kepadanya, dan Kami menjadikan dia suatu perumpamaan  bagi Bani Israil.  (Az-Zukhruf [43]:58-60).
        Kata  shadda (yashuddu)  dalam ayat  وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ -- “Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnya, berarti: ia menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes) (Aqrab-al-Mawarid).
       Kedatangan Al-Masih a.s. yang dilahirkan tanpa ayah  adalah tanda bahwa orang-orang Yahudi akan dihinakan dan direndahkan serta akan kehilangan kenabian untuk selama-lamanya. Karena matsal berarti sesuatu yang semacam dengan atau sejenis dengan yang lain (QS.6:39), ayat ini, di samping arti yang diberikan dalam ayat ini, dapat pula berarti bahwa bila kaum  Nabi Besar Muhammad saw.   — yaitu kaum Muslimin — diberitahu,  bahwa orang lain seperti dan merupakan sesama Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  akan dibangkitkan di antara mereka untuk memperbaharui mereka dan mengembalikan kejayaan ruhani mereka yang telah hilang (QS.61:10), maka mereka bukannya  bergembira atas kabar gembira itu malah mereka berteriak  mengajukan protes.
        Jadi, ayat ini dapat dianggap mengisyaratkan kepada penggenapan nubuatan kedatangan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.   untuk kedua kalinya dalam wujud misal beliau  (misal Isa) sebagaimana halnya Nabi Besar Muhammad saw. adalah misal Musa  (Ulangan 18:18; QS.46:11; QS.73:16).

Keburukan-keburukan yang Dilakukan Kaum Nabi Luth a.s.

         Dalam Surah At-Tahrīm ayat 11 Allah Swt. telah mengemukakan istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai misal bagi orang-orang kafir yang mendustakan dan menentang Rasul Allah yang diutus kepada mereka, firman-Nya:
ضَرَبَ اللّٰہُ  مَثَلًا  لِّلَّذِیۡنَ  کَفَرُوا امۡرَاَتَ  نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ  لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ   فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾   
Allah mengemukakan istri Nuh  dan istri Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir.  کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ  -- Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami yang saleh,  فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا  -- tetapi keduanya berbuat khianat kepada kedua suami mereka, maka mereka berdua sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا  النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ  --  dan dikatakan kepada mereka: Masuklah kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang yang masuk.”    (At-Tahrīm [66]:11).
       Kembali kepada pembahasan Surah Al-Ankabūt, setelah mengemukakan Nabi Ibrahim a.s. dan keturunan beliau yang juga berpangkat nabi, selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Luth a.s. yang hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim a.s. dan merupakan kerabat beliau namun berada di wilayah yang berbeda dengan Nabi Ibrahim a.s.:
وَ لُوۡطًا اِذۡ قَالَ لِقَوۡمِہٖۤ  اِنَّکُمۡ  لَتَاۡتُوۡنَ الۡفَاحِشَۃَ ۫ مَا سَبَقَکُمۡ  بِہَا مِنۡ اَحَدٍ مِّنَ الۡعٰلَمِیۡنَ﴿﴾ اَئِنَّکُمۡ لَتَاۡتُوۡنَ الرِّجَالَ وَ تَقۡطَعُوۡنَ السَّبِیۡلَ ۬ۙ وَ تَاۡتُوۡنَ فِیۡ نَادِیۡکُمُ الۡمُنۡکَرَ ؕ فَمَا کَانَ  جَوَابَ قَوۡمِہٖۤ  اِلَّاۤ اَنۡ  قَالُوا ائۡتِنَا بِعَذَابِ اللّٰہِ  اِنۡ  کُنۡتَ مِنَ الصّٰدِقِیۡنَ﴿﴾  قَالَ رَبِّ انۡصُرۡنِیۡ عَلَی الۡقَوۡمِ الۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan ingatlah Luth ketika ia berkata kepada kaumnya:  “Sesungguhnya kamu mengerjakan pekerjaan keji yang  tidak ada seorang pun di antara manusia sebelum kamu melakukannya.  Apakah kamu mendatangi laki-laki serta menyamun di jalan, dan kamu melakukan kemunkaran pada pertemuan-pertemuanmu?  Maka tidak ada jawaban dari kaumnya melainkan mereka berkata: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.”     Ia, Luth, berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku),  tolonglah aku terhadap kaum yang berbuat kerusakan.” (Al-Ankabūt [29]:29-31).
       Karena qata’a ath-thariqa berarti:  ia membuat jalan itu berbahaya bagi orang-orang musafir, dan melarang mereka mempergunakannya; ungkapan Al-Quran وَ تَقۡطَعُوۡنَ السَّبِیۡلَ  itu berarti:     (a) “Kamu merampok di jalan raya”, kaum Nabi Luth a.s.   telah biasa mencari nafkah dengan merampok di jalan;  (b) “Kamu melanggar hukum-hukum Ilahi yang telah ditetapkan mengenai hubungan kelamin dan melakukan pelanggaran-pelanggaran secara tidak wajar.”
         Tiga macam dosa telah dituduhkan kepada kaum Nabi Luth a.s.  di dalam ayat ini; (1) dosa yang tidak wajar (homo sexual); (2) merampok dan menyamun di jalan raya; (3) melakukan keburukan-keburukan secara terbuka tanpa malu-malu di dalam pertemuan-pertemuan mereka.
         Itulah sebabnya mereka melarang Nabi Luth a.s. untuk menerima  tamu dari luar kaum mereka karena khawatir dengan pembalasan dari kaum-kaum lain yang akan menyerang mereka sebagai pembalasan atas perbuatan-perbuatan buruk yang senantiasa mereka lakukan.
         Jadi, tidak benar pendapat atau penafsiran bahwa  tujuan kaum Nabi Luth a.s. meminta kepada Nabi Luth a.s. untuk menyerahkan tamu-tamunya  – yang sebelumnya telah berkunjung kepada Nabi Ibrahim a.s.   – dengan tujuan untuk melakukan  homo-sexual terhadap mereka (QS.11:78-84), karena sudah lazim  jika  seseorang atau suatu kaum  biasa melakukan kezaliman terhadap orang lain, maka dalam hatinya senantiasa  curiga atau   khawatir  terhadap orang-orang asing yang datang ke tempat mereka, itulah sebabnya mereka telah melarang Nabi Luth a.s.  menerima para musafir  yang biasa beliau lakukan, dan memaksa  Nabi Luth a.s. untuk menyerahkan  kepada mereka para tamu  yang berkunjung ke rumah  beliau.
        Apabila  suatu kaum yang diperingatkan Allah Swt. melalui Rasul Allah telah  menantang agar azab Ilahi yang diancamkan  kepada mereka dipercepat kedatangannya, berarti  mereka benar-benar telah menutup hati mereka serta indera-indera mereka untuk menerima kebenaran  dari Allah Swt. yang disampaikan oleh Rasul Allah kepada mereka (QS.11:33; QS.46:22-27), maka  langkah terakhir dari para Rasul Allah  adalah memohon pertolongan Allah Swt.:    قَالَ رَبِّ انۡصُرۡنِیۡ عَلَی الۡقَوۡمِ الۡمُفۡسِدِیۡنَ -- “Ia, Luth, berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku),  tolonglah aku terhadap kaum yang berbuat kerusakan.” (Al-Ankabūt [29]:31). Lihat pula  doa yang dipanjatkan Nabi Nuh a.s. dalam QS.71:22-20.

Perbedaan Pendapat Tentang Para “Utusan” yang Datang kepada Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s.

         Namun yang menarik adalah dalam Al-Quran tidak ada ayat yang menerangkan bahwa hal seperti itu dilakukan oleh  Nabi Ibrahim a.s., demikian juga Nabi Besar Muhammad saw.   -- yang mengalami perlawanan  yang jauh  lebih  zalim   dibandingkan dengan kaum-kaum purbakala  -- pun  benar-benar mengikuti sepenuhnya milat serta ke-Muslim-an Nabi Ibrahim a.s.(QS.6:162-164; QS.22:79).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai para utusan (rasul) yang datang bertamu kepada Nabi Ibrahim a.s.:
وَ لَمَّا جَآءَتۡ رُسُلُنَاۤ  اِبۡرٰہِیۡمَ بِالۡبُشۡرٰی ۙ قَالُوۡۤا اِنَّا مُہۡلِکُوۡۤا اَہۡلِ ہٰذِہِ  الۡقَرۡیَۃِ ۚ اِنَّ  اَہۡلَہَا کَانُوۡا ظٰلِمِیۡنَ ﴿ۚۖ﴾  قَالَ اِنَّ فِیۡہَا لُوۡطًا ؕ قَالُوۡا نَحۡنُ اَعۡلَمُ بِمَنۡ فِیۡہَا ٝ۫ لَنُنَجِّیَنَّہٗ  وَ اَہۡلَہٗۤ  اِلَّا امۡرَاَتَہٗ ٭۫ کَانَتۡ مِنَ  الۡغٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala utusan-utusan Kami datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira mereka berkata: Sesungguhnya kami akan membinasakan penduduk kota ini, karena sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang zalim.”   Ia, Ibrahim, berkata: “Sesungguhnya di dalamnya ada Luth.” Mereka berkata: “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di dalamnya. Kami sesungguhnya akan menyelamatkan dia dan keluarganya,  kecuali istrinya, ia termasuk orang-orang yang meninggalkan diri di belakang.” (Al-Ankabūt [29]:32-33).
       Ada perbedaan pendapat mengenai  utusan-utusan” yang menjumpai Nabi Ibrahim a.s. tersebut, sebagian  mufasir ada yang berpendapat bahwa mereka itu  adalah malaikat dengan alasan: 
        (1) mereka tidak menyentuh makanan  berupa daging sapi yang dibakar yang dihidangkan  Nabi Ibrahim a.s. kepada mereka (QS.11:70-71; QS.51:25-28).
         (2) mereka memberitahukan bahwa istri Nabi Ibrahim a.s. yang bernama Sarah – yang sekian lama berumahtangga dengan Nabi Ibrahim a.s. tidak pernah melahirkan bahwa ia akan melahirkan seorang anak  --  bahwa ia akan mempunyai seorang anak laki-laki serta seorang cucu (QS.11:72-74; QS.15:52-57; QS.39:32; QS.51:29-31-38);
         (3) mereka memberitahukan mengenai azab Ilahi yang akan menimpa kaum Nabi Luth a.s. (QS.15:58-67; QS.29:32-33; QS.51:32).
         (4) ketika kaum Nabi Luth a.s.  hendak menangkap   mereka yang berada di rumah Nabi Luth a.s.  tidak berhasil menemukan para “tamu” Nabi Luth a.s. tersebut (QS.11:75-78; QS.15:68-75).
        Alasan yang paling memungkinkan para penafsir berpendapat bahwa para tamu  Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s. adalah  para malaikat adalah ucapan-ucapan mereka  yang  seakan-akan Allah Swt. yang berfirman, sebagaimana dikemukakan dalam  firman-Nya sebelum ini dan firman Allah Swt.  berikut ini ketika mereka  menjumpai Nabi Luth a.s.:
وَ لَمَّاۤ  اَنۡ جَآءَتۡ رُسُلُنَا لُوۡطًا سِیۡٓءَ بِہِمۡ وَ ضَاقَ بِہِمۡ ذَرۡعًا وَّ قَالُوۡا لَا تَخَفۡ وَ لَا تَحۡزَنۡ ۟ اِنَّا مُنَجُّوۡکَ وَ اَہۡلَکَ  اِلَّا امۡرَاَتَکَ  کَانَتۡ  مِنَ  الۡغٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّا مُنۡزِلُوۡنَ عَلٰۤی اَہۡلِ ہٰذِہِ  الۡقَرۡیَۃِ رِجۡزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَقَدۡ تَّرَکۡنَا مِنۡہَاۤ  اٰیَۃًۢ  بَیِّنَۃً  لِّقَوۡمٍ یَّعۡقِلُوۡنَ﴿﴾
Dan tatkala utusan-utusan Kami datang kepada Luth,  ia  merasa susah atas kabar mereka, dan hatinya merasa sempit mengenai kabar dari mereka itu. Dan mereka itu berkata: “Janganlah engkau takut, dan jangan pula bersedih.  Sesungguhnya kami pasti akan menyelamatkan engkau dan keluarga engkau kecuali istri engkau, yang termasuk orang-orang yang meninggalkan diri di belakang.  Sesungguhnya Kami akan menurunkan atas penduduk kota ini siksaan dari langit disebabkan mereka   melakukan kedurhakaan.  Dan  sungguh Kami benar-benar telah meninggalkan darinya suatu Tanda yang nyata bagi kaum yang menggunakan akal. (Al-Ankabūt [29]:34-36).
         Nampaknya ayat-ayat Al-Quran berkenaan para utusan (rasul) yang menjumpai Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s. termasuk ayat-ayat Al-Quran yang mutasyabihat (QS.3:8) karena itu  terdapat perbedaan penafsiran mengenai  siapa sebenarnya para tamu misterius  Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s. tersebut.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 April   2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar