بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 21
Kedatangan Misal
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dari Kalangan Umat
Islam Sebagai As-Sā’ah (Tanda Kiamat) Bagi Bani Isma’il & Tiga Macam Keburukan
yang Dilakukan kaum Nabi Luth a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
mengenai hakikat penggunaan kata qānitīn
sebutan untuk laki-laki,
padahal yang diceritakan dalam
QS.66:13 adalah perempuan -- yakni
Siti Maryam ibunda Nabi Isa a.s. yang seharusnya digunakan kata qānitāt (perempuan-perempuan yang patuh-taat (QS.33:36), firman-Nya: وَ مَرۡیَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِیۡۤ
اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا -- dan juga
mengemukakan misal Maryam putri
‘Imran, yang telah memelihara ke-suciannya, فَنَفَخۡنَا فِیۡہِ مِنۡ
رُّوۡحِنَا وَ صَدَّقَتۡ بِکَلِمٰتِ رَبِّہَا وَ کُتُبِہٖ -- maka Kami meniupkan
ke dalamnya Ruh Kami, dan ia
menggenapi firman Rabb-nya ( Tuhan-nya) dan Kitab-kitab-Nya, وَ کَانَتۡ مِنَ
الۡقٰنِتِیۡنَ --
dan ia termasuk orang-orang yang patuh.
(At-Tahrīm
[66]:13), ayat tersebut mengisyaratkan
bahwa derajat keruhanian yang dicapai
orang-orang yang beriman dan bertakwa
sampai dengan misal Maryam binti ‘Imran di sisi Allah Swt. adalah dalam status perempuan yakni berderajat shiddiqīn/shiddiqāt, tetapi ketika terjadi kehamilan dan kelahiran ruhani akibat peniupan “ruh” (wahyu) dari Allah Swt. ke dalam jiwanya, maka kedudukan ruhani hamba-hamba
Allah pada tingkatan ruhani Maryam
binti ‘Imran tersebut bukan lagi sebagai “perempuan” (shādiqāt/qānitāt) melainkan sebagai “laki-laki”, sebagaimana
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. yang
dilahirkan oleh Siti Maryam a.s. dan memperoleh martabat nabi Allah, yaitu derajat
ruhani yang lebih tinggi daripada derajat shiddiqīn/shadiqāt ibunya (QS.4:70-71), itulah salah satu makna
penggunaan kata qānitīn mengenai misal Maryam binti ‘Imran dalam Surah At-Tahrīm ayat 13: وَ کَانَتۡ
مِنَ الۡقٰنِتِیۡنَ -- dan ia
termasuk orang-orang yang patuh.”
Makna Gelar Khātaman Nabiyyīn &
Empat Macam Nikmat Ruhani
Sejak diutusnya Nabi Besar Muhammad saw.
sebagai Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41)
dan diwahyukan-Nya agama Islam (Al-Quran) sebagai agama terakhir dan tersempurna (QS.5:4), satu-satunya cara (jalan) untuk dapat meraih nikmat keruhanian mulai dari martabat shālihīn sampai dengan
martabat nabiyyīn harus sepenuhnya mentaati
Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71), berikut firman-Nya kepada Nabi
Besar Muhammad saw.:
قُلۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ
اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ
وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ﴿﴾
Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah
pun akan mencintai kamu dan akan
mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Âli
‘Imran [3]:32).
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa sejak diutusnya Nabi Besar Muhammad saw. tujuan
memperoleh kecintaan Ilahi tidak
mungkin terlaksana kecuali dengan mengikuti
beliau saw.. Selanjutnya ayat ini melenyapkan kesalahpahaman yang mungkin dapat timbul dari QS.2:63 bahwa iman kepada adanya Tuhan dan alam akhirat
saja sudah cukup untuk memperoleh najat
(keselamatan).
Ada pun hasil dari ketaatan kepada Allah Swt. dan Nabi
Besar Muhammad saw. tersebut Allah Swt. berfirman mengenai martabat-martabt ruhani orang-orang yang mendapat kecintaan-Nya dan pengampunan-Nya tersebut:
وَ مَنۡ
یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ
عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ
عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan
termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada
mereka yakni: مِّنَ النَّبِیّٖنَ
وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ -- nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid
(syuhada), dan orang-orang shalih,
وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا -- dan mereka itulah sahabat yang sejati. ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ
مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا -- Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisa [4]:70-71).
Ayat ini sangat penting sebab ia menerangkan
semua jalur kemajuan ruhani yang
terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat
martabat keruhanian — nabi, shiddiq,
syahid
dan shalih
— semuanya dapat dicapai hanya dengan jalan mengikuti Nabi Besar Muhammad saw. atau fana fār- rasul, sebab sejak diutusnya
beliau saw. kedatangan nabi mustaqil
(nabi yang mandiri) tidak ada lagi ,
sebab tangkaian kenabian yang mustaqil
(mandiri) telah tertutup, yang ada adalah nabi ummati atau nabi buruzi/zhilli yang
merupakan “bayangan” atau gambar stempel (cap) dari Nabi Besar Muhammad saw.. Itulah sebabnya dari
sekian banyak arti khatam salah satunya adalah stempel atau cap suatu benda yang dapat menghasilkan gambar
atau cap yang sama pada sesuatu yang stempel
(cap) ditempelkan padanya.
Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi beliau saw. semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau saw. dalam perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dan mengatakan: “Dan orang-orang yang beriman
kepada Allāh dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan
saksi-saksi di sisi Tuhan mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini dibaca
bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan
tidak lebih tinggi dari itu, tetapi pengikut
hakiki Nabi Besar Muhammad saw. dapat naik ke martabat nabi juga, yakni nabi ummati.
Kitab “Bahr-ul-Muhit”
(jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib
yang mengatakan: “Tuhan telah membagi
orang-orang beriman dalam empat golongan
dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka empat tingkatan, sebagian di
antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia telah mendorong orang-orang beriman
sejati agar jangan tertinggal dari keempat tingkatan ini.”
Al-Raghib membubuhkan bahwa: “Kenabian itu ada dua macam: umum dan khusus.
Kenabian khusus, yakni kenabian yang membawa syariat, sekarang tidak dapat
dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum masih tetap dapat dicapai.”
Kedatangan Misal Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. dari Kalangan Umat Islam Sebagai As-Sā’ah (Tanda Kiamat) Bagi Bani Isma’il
Demikianlah penjelasan hakikat
misal (perumpamaan) Maryam binti ‘Imran yang
berkat “peniupan Ruh” dari
Allah Swt. yakni wahyu
Ilahi -- kemudian melahirkan Isa Ibnu Maryam a.s. yang berpangkat nabi yaitu derajat ruhani yang lebih tinggi daripada derajat shiddiq
atau shiddiqah yang Maryam
binti Imran berada pada martabat ruhani tersebut.
Di Akhir
Zaman sekarang ini orang Muslim yang mendapat karunia
Ilahi meraih kenaikan ruhani dari derajat
ruhani Maryam binti ‘Imran menjadi derajat
ruhani Isa Ibnu Maryam a.s. adalah Mirza Ghulam Ahmad a.s., Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, yang atas perintah Allah Swt. agar mendakwakan
diri sebagai Al-Masih Mau’ud a.s. (Al-Masih yang dijanjikan) atau sebagai misal Isa Ibnu Maryam a.s., berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad
saw.:
وَ لَمَّا
ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ مَثَلًا اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾ وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا
ضَرَبُوۡہُ لَکَ اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ
﴿﴾ اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ
جَعَلۡنٰہُ مَثَلًا لِّبَنِیۡۤ
اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Dan apabila
Ibnu Maryam dikemukakan sebagai
misal tiba-tiba kaum engkau
meneriakkan penentangan terhadapnya, dan
mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan
kami lebih baik ataukah dia?"
مَا
ضَرَبُوۡہُ لَکَ اِلَّا جَدَلًا -- Mereka
tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata. بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ -- Bahkan mereka adalah
kaum yang biasa berbantah. اِنۡ ہُوَ اِلَّا
عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ جَعَلۡنٰہُ
مَثَلًا لِّبَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ -- Ia tidak lain melainkan seorang hamba yang telah Kami
anugerahi nikmat kepadanya, dan Kami menjadikan dia suatu perumpamaan
bagi Bani Israil. (Az-Zukhruf
[43]:58-60).
Kata shadda (yashuddu) dalam
ayat وَ لَمَّا ضُرِبَ
ابۡنُ مَرۡیَمَ مَثَلًا اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ -- “Dan apabila
Ibnu Maryam dikemukakan sebagai
misal tiba-tiba kaum engkau
meneriakkan penentangan terhadapnya,” berarti: ia
menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia
mengajukan sanggahan (protes) (Aqrab-al-Mawarid).
Kedatangan Al-Masih
a.s. yang dilahirkan tanpa ayah
adalah tanda bahwa orang-orang
Yahudi akan dihinakan dan direndahkan serta akan kehilangan kenabian untuk
selama-lamanya. Karena matsal berarti sesuatu yang semacam dengan atau
sejenis dengan yang lain (QS.6:39), ayat ini, di samping arti yang diberikan
dalam ayat ini, dapat pula berarti bahwa bila kaum Nabi Besar Muhammad saw. — yaitu kaum Muslimin — diberitahu, bahwa orang lain seperti dan merupakan sesama
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. akan dibangkitkan di antara mereka untuk
memperbaharui mereka dan
mengembalikan kejayaan ruhani mereka
yang telah hilang (QS.61:10), maka mereka bukannya bergembira
atas kabar gembira itu malah mereka berteriak mengajukan protes.
Jadi, ayat ini dapat dianggap mengisyaratkan
kepada penggenapan nubuatan kedatangan
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. untuk
kedua kalinya dalam wujud misal
beliau (misal Isa) sebagaimana halnya
Nabi Besar Muhammad saw. adalah misal
Musa (Ulangan 18:18; QS.46:11;
QS.73:16).
Keburukan-keburukan yang Dilakukan Kaum Nabi Luth a.s.
Dalam Surah At-Tahrīm ayat 11 Allah Swt. telah mengemukakan istri-istri durhaka Nabi Nuh a.s. dan
Nabi Luth a.s. sebagai misal bagi orang-orang kafir yang mendustakan dan menentang Rasul Allah yang diutus kepada mereka, firman-Nya:
ضَرَبَ
اللّٰہُ مَثَلًا لِّلَّذِیۡنَ
کَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ
امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ کَانَتَا تَحۡتَ
عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ فَخَانَتٰہُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ
اللّٰہِ شَیۡئًا وَّ قِیۡلَ ادۡخُلَا
النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ ﴿﴾
Allah
mengemukakan istri Nuh dan istri
Luth sebagai misal bagi orang-orang kafir. کَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ
عِبَادِنَا صَالِحَیۡنِ -- Keduanya di bawah dua hamba dari hamba-hamba Kami
yang saleh, فَخَانَتٰہُمَا
فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡہُمَا مِنَ اللّٰہِ شَیۡئًا
-- tetapi keduanya berbuat
khianat kepada kedua suami
mereka, maka mereka berdua
sedikit pun tidak dapat membela kedua istri mereka itu di hadapan Allah, وَّ قِیۡلَ
ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِیۡنَ -- dan
dikatakan kepada mereka: “Masuklah
kamu berdua ke dalam Api beserta orang-orang
yang masuk.” (At-Tahrīm [66]:11).
Kembali kepada pembahasan Surah Al-Ankabūt, setelah mengemukakan Nabi
Ibrahim a.s. dan keturunan beliau yang juga berpangkat nabi, selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Luth a.s. yang hidup sezaman dengan
Nabi Ibrahim a.s. dan merupakan kerabat
beliau namun berada di wilayah yang berbeda dengan Nabi Ibrahim a.s.:
وَ لُوۡطًا
اِذۡ قَالَ لِقَوۡمِہٖۤ اِنَّکُمۡ لَتَاۡتُوۡنَ الۡفَاحِشَۃَ ۫ مَا
سَبَقَکُمۡ بِہَا مِنۡ اَحَدٍ مِّنَ
الۡعٰلَمِیۡنَ﴿﴾ اَئِنَّکُمۡ لَتَاۡتُوۡنَ الرِّجَالَ وَ تَقۡطَعُوۡنَ السَّبِیۡلَ ۬ۙ وَ
تَاۡتُوۡنَ فِیۡ نَادِیۡکُمُ الۡمُنۡکَرَ ؕ فَمَا کَانَ جَوَابَ قَوۡمِہٖۤ اِلَّاۤ اَنۡ
قَالُوا ائۡتِنَا بِعَذَابِ اللّٰہِ
اِنۡ کُنۡتَ مِنَ الصّٰدِقِیۡنَ﴿﴾ قَالَ رَبِّ انۡصُرۡنِیۡ عَلَی الۡقَوۡمِ
الۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan ingatlah
Luth ketika ia berkata kepada
kaumnya: “Sesungguhnya
kamu mengerjakan pekerjaan keji
yang tidak ada seorang pun di antara manusia sebelum kamu melakukannya.
Apakah kamu mendatangi laki-laki serta menyamun di jalan, dan kamu melakukan kemunkaran pada pertemuan-pertemuanmu? Maka tidak
ada jawaban dari kaumnya melainkan mereka berkata: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” Ia, Luth,
berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), tolonglah
aku terhadap kaum yang berbuat kerusakan.” (Al-Ankabūt [29]:29-31).
Karena qata’a
ath-thariqa berarti: ia membuat
jalan itu berbahaya bagi orang-orang musafir, dan melarang mereka
mempergunakannya; ungkapan Al-Quran وَ تَقۡطَعُوۡنَ السَّبِیۡلَ itu berarti: (a) “Kamu merampok di jalan raya”, kaum
Nabi Luth a.s. telah biasa
mencari nafkah dengan merampok di jalan; (b) “Kamu melanggar hukum-hukum
Ilahi yang telah ditetapkan mengenai hubungan kelamin dan melakukan
pelanggaran-pelanggaran secara tidak wajar.”
Tiga
macam dosa telah dituduhkan kepada kaum Nabi Luth a.s. di dalam ayat ini; (1) dosa yang
tidak wajar (homo sexual); (2) merampok dan menyamun di jalan raya; (3)
melakukan keburukan-keburukan secara terbuka tanpa malu-malu di dalam pertemuan-pertemuan mereka.
Itulah sebabnya mereka melarang
Nabi Luth a.s. untuk menerima tamu dari luar kaum mereka karena khawatir
dengan pembalasan dari kaum-kaum lain
yang akan menyerang mereka sebagai
pembalasan atas perbuatan-perbuatan buruk
yang senantiasa mereka lakukan.
Jadi, tidak benar pendapat atau penafsiran
bahwa tujuan kaum Nabi Luth a.s. meminta kepada Nabi Luth a.s. untuk menyerahkan
tamu-tamunya – yang sebelumnya telah
berkunjung kepada Nabi Ibrahim a.s. –
dengan tujuan untuk melakukan homo-sexual terhadap mereka
(QS.11:78-84), karena sudah lazim jika seseorang
atau suatu kaum biasa melakukan kezaliman terhadap orang lain, maka
dalam hatinya senantiasa curiga
atau khawatir terhadap
orang-orang asing yang datang ke
tempat mereka, itulah sebabnya mereka telah melarang
Nabi Luth a.s. menerima para musafir yang biasa beliau lakukan, dan memaksa
Nabi Luth a.s. untuk menyerahkan kepada mereka para tamu yang berkunjung ke
rumah beliau.
Apabila suatu kaum yang diperingatkan Allah Swt. melalui Rasul Allah telah menantang
agar azab Ilahi yang diancamkan kepada mereka dipercepat kedatangannya, berarti
mereka benar-benar telah menutup
hati mereka serta indera-indera
mereka untuk menerima kebenaran dari Allah Swt. yang disampaikan oleh Rasul Allah kepada mereka (QS.11:33;
QS.46:22-27), maka langkah terakhir dari
para Rasul Allah adalah memohon pertolongan Allah Swt.: قَالَ رَبِّ انۡصُرۡنِیۡ عَلَی الۡقَوۡمِ الۡمُفۡسِدِیۡنَ -- “Ia, Luth, berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), tolonglah aku terhadap kaum yang berbuat
kerusakan.” (Al-Ankabūt [29]:31). Lihat pula
doa yang dipanjatkan Nabi Nuh
a.s. dalam QS.71:22-20.
Perbedaan Pendapat Tentang Para “Utusan” yang Datang kepada Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s.
Namun yang menarik adalah dalam Al-Quran tidak
ada ayat yang menerangkan bahwa hal seperti itu dilakukan oleh Nabi
Ibrahim a.s., demikian juga Nabi Besar Muhammad saw. -- yang mengalami perlawanan yang jauh lebih zalim
dibandingkan dengan kaum-kaum purbakala
-- pun benar-benar mengikuti
sepenuhnya milat serta ke-Muslim-an Nabi Ibrahim
a.s.(QS.6:162-164; QS.22:79).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai para utusan (rasul) yang datang bertamu kepada Nabi Ibrahim a.s.:
وَ لَمَّا
جَآءَتۡ رُسُلُنَاۤ اِبۡرٰہِیۡمَ
بِالۡبُشۡرٰی ۙ قَالُوۡۤا اِنَّا مُہۡلِکُوۡۤا اَہۡلِ ہٰذِہِ الۡقَرۡیَۃِ ۚ اِنَّ اَہۡلَہَا کَانُوۡا ظٰلِمِیۡنَ ﴿ۚۖ﴾ قَالَ اِنَّ فِیۡہَا لُوۡطًا ؕ قَالُوۡا نَحۡنُ
اَعۡلَمُ بِمَنۡ فِیۡہَا ٝ۫ لَنُنَجِّیَنَّہٗ
وَ اَہۡلَہٗۤ اِلَّا امۡرَاَتَہٗ
٭۫ کَانَتۡ مِنَ الۡغٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala utusan-utusan Kami datang kepada
Ibrahim membawa kabar gembira mereka
berkata: “Sesungguhnya kami akan
membinasakan penduduk kota ini, karena sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang zalim.” Ia, Ibrahim,
berkata: “Sesungguhnya di dalamnya
ada Luth.” Mereka berkata: “Kami
lebih mengetahui siapa yang ada di dalamnya. Kami sesungguhnya akan menyelamatkan dia dan keluarganya, kecuali istrinya, ia termasuk
orang-orang yang meninggalkan diri di belakang.” (Al-Ankabūt [29]:32-33).
Ada perbedaan pendapat mengenai “utusan-utusan”
yang menjumpai Nabi Ibrahim a.s. tersebut, sebagian mufasir ada yang berpendapat bahwa mereka
itu adalah malaikat dengan alasan:
(1) mereka tidak menyentuh makanan berupa daging sapi yang dibakar yang
dihidangkan Nabi Ibrahim a.s. kepada
mereka (QS.11:70-71; QS.51:25-28).
(2) mereka memberitahukan bahwa istri
Nabi Ibrahim a.s. yang bernama Sarah – yang sekian lama berumahtangga dengan Nabi
Ibrahim a.s. tidak pernah melahirkan bahwa ia akan melahirkan seorang anak --
bahwa ia akan mempunyai seorang anak laki-laki serta seorang cucu (QS.11:72-74;
QS.15:52-57; QS.39:32; QS.51:29-31-38);
(3) mereka memberitahukan mengenai azab Ilahi yang akan menimpa kaum Nabi
Luth a.s. (QS.15:58-67; QS.29:32-33; QS.51:32).
(4) ketika kaum Nabi Luth a.s. hendak menangkap mereka yang berada di rumah Nabi Luth
a.s. tidak berhasil menemukan para “tamu” Nabi Luth a.s. tersebut (QS.11:75-78;
QS.15:68-75).
Alasan yang paling memungkinkan para
penafsir berpendapat bahwa para tamu Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s.
adalah para malaikat adalah ucapan-ucapan
mereka yang seakan-akan Allah Swt. yang berfirman,
sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya
sebelum ini dan firman Allah Swt.
berikut ini ketika mereka
menjumpai Nabi Luth a.s.:
وَ لَمَّاۤ اَنۡ جَآءَتۡ رُسُلُنَا لُوۡطًا سِیۡٓءَ بِہِمۡ
وَ ضَاقَ بِہِمۡ ذَرۡعًا وَّ قَالُوۡا لَا تَخَفۡ وَ لَا تَحۡزَنۡ ۟ اِنَّا
مُنَجُّوۡکَ وَ اَہۡلَکَ اِلَّا
امۡرَاَتَکَ کَانَتۡ مِنَ
الۡغٰبِرِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّا مُنۡزِلُوۡنَ عَلٰۤی اَہۡلِ ہٰذِہِ الۡقَرۡیَۃِ رِجۡزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا
کَانُوۡا یَفۡسُقُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَقَدۡ تَّرَکۡنَا مِنۡہَاۤ اٰیَۃًۢ
بَیِّنَۃً لِّقَوۡمٍ
یَّعۡقِلُوۡنَ﴿﴾
Dan tatkala utusan-utusan Kami datang kepada Luth, ia merasa susah atas kabar mereka, dan hatinya merasa sempit mengenai
kabar dari mereka itu. Dan mereka itu berkata: “Janganlah engkau takut, dan jangan pula bersedih. Sesungguhnya kami pasti akan menyelamatkan engkau dan keluarga engkau kecuali istri
engkau, yang termasuk orang-orang
yang meninggalkan diri di belakang. Sesungguhnya Kami akan menurunkan atas penduduk kota ini siksaan dari langit
disebabkan mereka melakukan kedurhakaan. Dan
sungguh Kami benar-benar telah
meninggalkan darinya suatu Tanda yang nyata bagi kaum yang menggunakan akal. (Al-Ankabūt [29]:34-36).
Nampaknya ayat-ayat Al-Quran berkenaan
para utusan (rasul) yang menjumpai
Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s. termasuk ayat-ayat Al-Quran yang mutasyabihat (QS.3:8) karena itu terdapat perbedaan penafsiran mengenai siapa sebenarnya para tamu misterius Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s. tersebut.
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 7 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar