Kamis, 26 Maret 2015

Pernyataan Iman Nabi Musa a.s. Kepada Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai "Misal Musa" yang Diutus 2000 Tahun Kemudian di Kalangan Bani Isma'il & Mukjizat Nabi Ibrahiom a.s. Selamat dari Pembakaran "Kobaran Api"




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt


Bab 11

Pernyataan Iman Nabi Musa a.s. Kepada Nabi Besar Muhammad Saw. Sebagai “Misal Musa” yang Diutus 2000 Tahun Kemudian di  Kalangan Bani Isma’il  &   Mukjizat Nabi Ibrahim a.s. Selamat    dari Pembakaran  “Kobaran Api
 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam bagian akhir Bab sebelumnya telah dibahas  mengenai  pengalaman ruhani (kasyaf) Nabi Musa a.s. yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini,  bahwa Nabi Musa a.s. telah menyatakan beriman kepada   Nabi Besar  Muhammad saw.  – yang datang sekitar 2000 tahun kemudian -- yang walau pun dari segi kedudukan kenabian  merupakan misal Nabi Musa a.s.,  tetapi dari segi ketinggian martabat ruhani  Nabi Besar  Muhammad saw.  jauh di atas martabat keruhanian Nabi Musa a.s., karena  beliau saw.  sebagai pembawa syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) mampu menjadi tempat tajjali  (penampakan kekuasaan) sempurna Allah Swt., yang Nabi Musa a.s. sendiri jatuh pingsan ketika Allah Swt. bertajjali   pada sebuah gunung yang kemudian hancur  karena tidak mampu menerima tajjaliyat Allah Swt., firman-Nya:
وَ لَمَّا جَآءَ مُوۡسٰی لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ   اَنۡظُرۡ   اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ  وَ لٰکِنِ  انۡظُرۡ  اِلَی  الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰی رَبُّہٗ  لِلۡجَبَلِ جَعَلَہٗ  دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan  tatkala Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan  Rabb-nya (Tuhan-nya) bercakap-cakap dengannya, ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau tidak akan pernah dapat melihat-Ku  tetapi pandanglah gunung itu, lalu jika ia tetap ada pada tempatnya  maka engkau pasti  akan dapat melihat-Ku.” Maka  tatkala Rabb-nya (Tuhan-nya) menjelmakan keagungan-Nya pada  gunung itu  Dia menjadikannya hancur lebur,  dan Musa pun jatuh pingsan.  فَلَمَّاۤ  اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  -- Lalu tatkala ia sadar kembali  ia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).

Gambaran Kesempurnaan Ruhani Nabi Besar Muhammad Saw.

         Ayat ini memberikan penjelasan mengenai salah satu masalah keagamaan yang sangat penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan  Allah Swt. dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun tidak mendukung pendapat bahwa Allah  swt.  dapat disaksikan oleh mata jasmani, firman-Nya:
لَا تُدۡرِکُہُ  الۡاَبۡصَارُ ۫ وَ ہُوَ یُدۡرِکُ الۡاَبۡصَارَ ۚ وَ  ہُوَ  اللَّطِیۡفُ الۡخَبِیۡرُ ﴿﴾
Penglihatan mata tidak mencapai-Nya tetapi Dia mencapai penglihatan,  dan  Dia Mahahalus, Maha Mengetahui. (An-An’ām [6]:104).
   Abshār adalah jamak dari bashar yang berarti penglihatan atau pengertian, dan lathīf berarti:  yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera; halus (Lexicon Lane & Taj-ul-Arus). Ayat itu berarti, bahwa akal manusia sendiri tanpa pertolongan wahyu Ilahi tidak bisa menghayati pengertian mengenai Allah Swt. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, tetapi Dia menampakkan Diri-Nya kepada manusia, melalui nabi-nabi-Nya atau melalui bekerjanya Sifat-sifat-Nya. Dia pun nampak kepada mata ruhani.
        Karena Allah Swt. merupakan Wujud Yang Maha Gaib, maka jangankan melihat Wujud (Dzat)  Allah Swt.     dengan mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat melihat penjelmaan mereka belaka. Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan) Allah  Swt. sajalah yang dapat disaksikan manusia, tetapi Dzat (Wujud) Allah Swt.  Sendiri tidak. Oleh karena itu tidak dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang besar seperti Nabi Musa a.s.  dengan segala makrifat mengenai Sifat-sifat Allah Swt. akan mempunyai keinginan mengenai hal-hal yang mustahil.
       Nabi Musa a.s.  mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat menyaksikan Tajalli (penampakkan kekuasaan)  Allah Swt. ,  dan bukan Wujud-Nya Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli  Allah Swt.  dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir  bersama keluarganya (QS.28:30). Jadi  apa gerangan maksud Musa a.s. dengan perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampak-kanlah  kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
        Permohonan itu nampaknya mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna Allah Swt. yang kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad saw. beberapa masa kemudian.  Allah Swt.  menjanjikan kepada Nabi Musa a.s.     bahwa dari antara saudara-saudara Bani Israil akan muncul seorang nabi yang di mulutnya Tuhan akan meletakkan Kalam-Nya (Kitab Ulangan 18:18-22; QS.46:11).
        Nubuatan ini berkenaan dengan suatu tajalli Allah Swt. lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s.,   karena itu beliau dengan sendirinya sangat berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt. yang akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan itu melalui  nabi yang seperti diri beliau. Nabi Musa a.s. berharap bahwa Keagungan dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau.
       Tetapi Nabi Musa a.s.  diberi tahu bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya,  tajalli itu tidak akan dapat terjelma pada hati beliau, tetapi Allah Swt.  memilih gunung untuk bertajalli. Gunung itu berguncang dengan hebat  serta nampak  seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s.  karena dicekam oleh pengaruh guncangan itu rebah tidak sadarkan diri (pingsan).

Pernyataan Iman Nabi Musa a.s.  Kepada Nabi Besar Muhammad saw.

       Dengan cara demikian Nabi Musa a.s. menjadi sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian tingginya dalam martabat keruhanian yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya sendiri tempat  Allah Swt.   bertajalli sebagaimana dimohonkan beliau. Sebab hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang  nabi Allah yang martabat ruhaninya  lebih besar daripada beliau, tak lain ialah Khātaman- Nabiyyīn  -- Mahkota segala makhluk Ilahi (QS.33:41), Baginda Nabi Besar Muhammad  saw., sang Insan Kamil hakiki, firman-Nya:
اِنَّا عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya Kami telah  menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ --  tetapi insan  (manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا  -- sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim dan  abai  terhadap di-rinya.  (Al-Ahzāb [33]:73). Lihat pula QS.53:1-19.
        Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s.  itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah  Swt. dengan mata jasmani (QS.2:56). Pengalaman ruhani Nabi Musa a.s.  yang sangat luar biasa itu memberi kesadaran kepada beliau bahwa permohonan beliau itu tidak layak, sehingga dengan serta merta beliau berseru:   سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ  اِلَیۡکَ  وَ اَنَا  اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ  --   Mahasuci Engkau, aku bertaubat  kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”  
        Ucapan tersebut  berarti Nabi Musa a.s. menyadari bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang dijanjikan – yang seperti diri beliau    -- itu dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.) adalah orang yang pertama-tama beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi Besar itu. Keimanan Nabi Musa a.s.   kepada Nabi Besar Muhammad saw.  itu telah disinggung juga dalam QS.46:11 sebelumnya.
         Sebagaimana telah dikemukakan bahwa peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa a.s. tersebut merupakan kasyaf (pengalaman ruhani), karena itu gunung itu sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi itu pada saat Nabi Musa a.s. dan Bani Israil   berada di lereng gunung Thur. Lihat Keluaran 24:18.

Bukti-bukti  Kaum Quraisy adalah Bani Isma’il

        Kembali kepada pembangunan kembali Ka’bah oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il a.s. (QS.2:128-130), untuk  menegaskan bahwa Nabi yang diharapkan dan dijanjikan itu harus seorang dari Bani Isma'il, Al-Quran dengan sangat tepat menuturkan pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim a.s.  dan Nabi Isma'il a.s.  dan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim a.s. untuk keturunan putra sulungnya tersebut.
     Terhadap kesimpulan wajar ini para pengecam Kristen pada umumnya mengemukakan dua kecaman:
     (1) Bahwa Bible tidak menyebut janji  Allah apa pun kepada Nabi Ibrahim a.s. mengenai Isma'il a.s.   dan
      (2) bahwa andaikata diakui bahwa Allah Swt. sungguh-sungguh telah memberikan suatu janji demikian, maka tidak ada bukti terhadap kenyataan bahwa Rasul agama Islam adalah keturunan Nabi Isma'il a.s..
       Adapun tentang keberatan pertama, andaikata pun diperhatikan bahwa Bible tak mengandung nubuatan-nubuatan apa pun mengenai Nabi Isma'il a.s.  maka hal itu tidaklah berarti bahwa nubuatan demikian tidak pernah ada. Tambahan pula bila kesaksian Bible dapat dianggap membenarkan adanya sesuatu janji mengenai Nabi Ishaq a.s. dan putra-putranya, mengapa kesaksian Al-Quran berkenaan dengan anak cucu  Nabi Isma'il a.s. tidak dapat diterima sebagai bukti bahwa janji-janji telah diberikan pula oleh Allah Swt.   kepada Nabi Isma'il a.s.  dan anak-anaknya? Tetapi Bible sendiri mengandung penunjukan mengenai kesejahteraan hari depan putra-putra Nabi Isma'il a.s. seperti dikandungnya mengenai kesejahteraan putra-putra Nabi Ishaq a.s. (Kejadian 16:10-12; 17:6-10; 17:18-20).
        Sebagai jawaban kepada keberatan kedua bahwa seandainya pun perjanjian itu dianggap meliputi keturunan  Nabi Isma'il a.s., masih harus pula dibuktikan bahwa  Nabi Besar Muhammad  saw.  termasuk Bani Isma'il a.s.,.  Butir-butir berikut ini dapat diperhatikan:
      (1) Kaum Quraisy kabilah  Nabi Besar Muhammad  saw.   berasal, senantiasa percaya dan menyatakan diri sebagai keturunan Nabi Isma'il  a.s.  dan pengakuan itu diakui oleh semua bangsa Arab.
      (2) Jika pengakuan kaum Quraisy dan juga pengakuan suku-suku Bani Isma'il lainnya dari tanah Arab sebagai keturunan Nabi Isma'il a.s.  itu tidak benar, maka keturunan Nabi Isma'il a.s. yang sungguh-sungguh tentu akan membantah pengakuan palsu demikian itu, tetapi setahu orang, keberatan demikian tidak pernah diajukan.
        (3). Dalam Kejadian 17:20 Tuhan telah berjanji akan memberkati Nabi Isma'il  a.s. melipatgandakan keturunannya, menjadikannya bangsa besar dan ayah 12  pangeran. Jika bangsa Arab bukan keturunannya, lalu mana bangsa yang dijanjikan itu? Suku-suku Bani Isma'il di tanah Arab sungguh-sungguh merupakan satu-satunya yang mengaku berasal dari  Nabi Isma'il a.s..
        (4) Menurut Kejadian 21:8-14, Siti Hajar terpaksa meninggalkan rumahnya untuk memuaskan rasa angkuh Siti Sarah. Jika beliau tidak dibawa ke Hijaz, di manakah sekarang keturunannya dapat ditemukan dan di manakah tempat pembuangannya?
          (5) Ahli-ahli ilmu bumi bangsa Arab semuanya sepakat bahwa Faran itu adalah nama yang diberikan kepada bukit-bukit Hijaz (Mu’jam al-Buldan).
         (6). Menurut Bible, keturunan Nabi Nabi Isma'il a.s.   menghuni wilayah “dari negeri Hawilah sampai ke Syur” (Kejadian 25:18), dan kata-kata “dari Hawilah sampai ke Syur” menunjukkan ujung-ujung bertentangan negeri Arab (Biblical Cyclopaedia  by J. Eadie, London 1862).
          (7). Bible menyebut Ismail “seorang bagai hutan lakunya” (Kejadian 16:12) dan kata A’rabi (“Penghuni padang pasir”) mengandung arti hampir sama pula.
(8). Bahkan Paulus mengakui adanya hubungan antara Siti Hajar dengan tanah Arab (Galtia 4:25).
      (9). Kedar itu seorang putra Nabi Isma’il a.s. dan telah diakui bahwa keturunannya menduduki wilayah selatan tanah Arab (Biblical Cyclopaedia London 1862).
         (10). Prof. C.C. Torrey mengatakan: “Orang-orang Arab itu Bani Isma’il menurut riwayat bangsa Ibrani ....   Dua belas orang raja" (Kejadian 17:20), yang kemudian disebut dalam Kejadian 25:13-15, menggambarkan suku-suku Arab atau daerah-daerah di negeri Arab, perhatikanlah terutama Kedar, Duma (Dumatul Jandal), Teima. Bangsa besar itu ialah penduduk Arab” (Jewish Foundation of Islam, halaman 83). “Orang-orang Arab menurut ciri-ciri jasmani, bahasa, adat kebiasaan asli .... dan dari persaksian Bible umumnya dan pada dasarnya adalah Bani Isma’il” (Cyclopaedia of Biblical Literature, New York, halaman 685).
        (11). “Marilah kita senantiasa mencela kecenderungan kotor anak-anak Hajar karena terutama kaum (suku) Quraisy, mereka itu serupa dengan binatang” (Leaves from Three Ancient Qur’an, edited by the Rev. Mingana, D.D. Intro. xiii).

Ketinggian Makrifat Ilahi Nabi Ibrahim a.s.

      Kembali kepada Surah Al-Ankabut, selanjutnya Allah Swt. berfirman tentang Nabi Ibrahim a.s.: 
وَ  اِبۡرٰہِیۡمَ   اِذۡ قَالَ  لِقَوۡمِہِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ وَ اتَّقُوۡہُ ؕ ذٰلِکُمۡ  خَیۡرٌ  لَّکُمۡ  اِنۡ  کُنۡتُمۡ  تَعۡلَمُوۡنَ﴿﴾   اِنَّمَا تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ  اَوۡثَانًا وَّ تَخۡلُقُوۡنَ  اِفۡکًا ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ لَا یَمۡلِکُوۡنَ لَکُمۡ رِزۡقًا فَابۡتَغُوۡا عِنۡدَ اللّٰہِ الرِّزۡقَ وَ اعۡبُدُوۡہُ وَ اشۡکُرُوۡا لَہٗ ؕ  اِلَیۡہِ تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾  
Dan ingatlah Ibrahim ketika ia berkata kepada kaumnya: “Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.   Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah adalah ber-hala-berhala, dan kamu membuat-buat kedustaan. Sesungguhnya  apa-apa yang kamu sembah selain Allah  tidak memiliki kekuasaan memberi rezeki kepadamu, maka carilah rezeki di sisi Allah dan sembahlah Dia serta  bersyukurlah kepada-Nya, kepada-Nya kamu akan dikembalikan.   Dan jika kamu mendustakan maka  sungguh   umat-umat sebelum kamu pun telah mendustakan,   dan  kewajiban Rasul sekali-kali tidak lain melainkan menyampaikan dengan jelas. (Al-Ankabut [29]:17-19).
        Dari Al-Quran diketahui bahwa cara menablighkan Tauhid Ilahi  yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya adalah dengan “gaya sindiran” (QS.2:259; QS.6:75-84; QS.2: 52-68), sehingga membuat kaumnya menjadi “bungkam”  dan satu-satunya tindakan yang dapat mereka lakukan adalah berusaha membunuh Nabi Ibrahim a.s.  denganm cara melemparkan beliau ke dalam kobaran api, namun makar buruk mereka  tidak berhasil karena Allah Swt. telah membuat “kobaran api” menjadi “dingin”, firman-Nya:
قَالُوۡا حَرِّقُوۡہُ وَ انۡصُرُوۡۤا اٰلِہَتَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ  فٰعِلِیۡنَ ﴿﴾  قُلۡنَا یٰنَارُ کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا عَلٰۤی اِبۡرٰہِیۡمَ ﴿ۙ﴾  وَ اَرَادُوۡا بِہٖ کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ الۡاَخۡسَرِیۡنَ ﴿ۚ﴾
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu mau melakukan sesuatu!” Kami berfirman: “Hai api, jadilah kamu dingin dan keselamatan  atas Ibrahim!”    Dan mereka bermaksud akan melakukan tipu-daya terhadap dia, tetapi Kami menjadikan mereka orang-orang yang paling rugi. (Al-Anbiya [21]:69-71).
        Bagaimana caranya api itu menjadi dingin kepada kita tidak diterangkan. Boleh jadi hujan yang turun tepat pada waktu itu atau angin badai telah memadamkan api itu. Bagaimana pun Allah Swt.   memang menimbulkan keadaan yang membawa kepada lolosnya Nabi Ibrahim a.s.  dari bahaya.
        Dalam mukjizat-mukjizat Ilahi selamanya terdapat unsur gaib, dan cara Ibrahim a.s. diselamatkan dari kobaran api itu sungguh merupakan mukjizat besar. Bahwa Nabi Ibrahim a.s. telah dilemparkan ke dalam kobaran api diakui bukan saja orang-orang Yahudi, tetapi oleh orang-orang Kristen juga dari Timur, buktinya ialah bahwa tanggal 25 bulan Kanun ke-II atau Januari dikhususkan dalam penanggalan bangsa Siria untuk memperingati peristiwa tersebut (Hyde, De Rel. Vet Pers. p. 73). Lihat pula Mdr. Rabbah on Gen. Per. 17; Schalacheleth Hakabala, 2; Maimon de Idol, Ch. I; dan Jad Hachazakah Vet, 6).
         Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kesinambungan penggantian  “kaum terpilih” dengan “kaum terpilih” berikutnya ketika “kaum terpilih” sebelumnya kemudian melakukan kedurhakaan kepada Allah Swt. dan Rasul Allah yang diutus kepada mereka (QS.7:35-37), firman-Nya:
اَوَ لَمۡ  یَرَوۡا کَیۡفَ یُبۡدِئُ اللّٰہُ  الۡخَلۡقَ ثُمَّ یُعِیۡدُہٗ ؕ اِنَّ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ یَسِیۡرٌ ﴿﴾  قُلۡ سِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَانۡظُرُوۡا کَیۡفَ بَدَاَ  الۡخَلۡقَ ثُمَّ اللّٰہُ یُنۡشِیُٔ النَّشۡاَۃَ الۡاٰخِرَۃَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ  قَدِیۡرٌ ﴿ۚ﴾
Apakah mereka tidak melihat bagaimana Allah  mulai menciptakan makhluk kemudian mengulanginya, sesungguhnya hal itu sangat mudah bagi Allah.  Katakanlah: “Berjalanlah di bumi  dan lihatlah  bagaimana Dia memulai penciptaan makhluk, kemu-dian Allah akan menghidupkan kembali sesudah mati.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Ankabūt [29]:20-21).
       Makna ayat 21   berarti bahwa hukum Ilahi berkenaan dengan penciptaan dan pembiakan akan bekerja dengan cara demikian, bahwa Allah Swt. akan menciptakan melalui Nabi Besar Muhammad saw.  umat manusia baru dan tertib baru di atas puing-puing tertib lama.
       Ungkapan “Berjalanlah di bumi  dan lihatlah  bagaimana Dia memulai penciptaan makhluk, kemudian Allah akan menghidupkan kembali sesudah mati” itu dipergunakan pada beberapa tempat dalam Al-Quran (QS.6:2; QS.12:110; QS.30:10; QS.35:45; QS.40:83), dan hampir di mana-mana disusul dengan sebuah kalimat yang menunjuk kepada kebinasaan suatu bangsa dan kemunculan bangsa lain yang menggantikan tempat mereka.
         Ayat ini tidak menunjuk kepada kebangkitan kembali sesudah mati, melainkan hanya kepada gejala bangkit dan jatuhnya bangsa-bangsa di dunia ini. Dan kebangkitan  suatu bangsa senantiasa melalkui pengutusan Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan sebelumnya, firman-Nya:
وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ  اَجَلٌ ۚ فَاِذَا  جَآءَ  اَجَلُہُمۡ  لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً  وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿﴾  یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾  وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ  اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾   
Dan bagi  tiap-tiap umat ada batas waktu, maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya. یٰبَنِیۡۤ  اٰدَمَ  اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ  --   Wahai Bani Adam,  jika datang kepada kamu  rasul-rasul dari antaramu yang menceritakan  Ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ  اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ --  Dan  orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling  darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-A’rāf [7]:35-37).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28 Maret      2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar