بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 11
Pernyataan Iman Nabi Musa a.s. Kepada Nabi Besar
Muhammad Saw. Sebagai “Misal Musa”
yang Diutus 2000 Tahun Kemudian di
Kalangan Bani Isma’il & Mukjizat Nabi Ibrahim a.s. Selamat dari Pembakaran “Kobaran
Api”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas mengenai
pengalaman ruhani (kasyaf) Nabi
Musa a.s. yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini, bahwa Nabi Musa a.s. telah menyatakan beriman kepada Nabi
Besar Muhammad saw. – yang datang sekitar 2000 tahun kemudian --
yang walau pun dari segi kedudukan kenabian merupakan misal
Nabi Musa a.s., tetapi dari segi ketinggian martabat ruhani Nabi Besar Muhammad saw. jauh di
atas martabat keruhanian Nabi Musa a.s., karena
beliau saw. sebagai pembawa syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) mampu menjadi tempat tajjali (penampakan kekuasaan) sempurna Allah Swt.,
yang Nabi Musa a.s. sendiri jatuh pingsan
ketika Allah Swt. bertajjali pada sebuah gunung yang kemudian hancur karena tidak mampu menerima tajjaliyat Allah Swt., firman-Nya:
وَ لَمَّا
جَآءَ مُوۡسٰی
لِمِیۡقَاتِنَا وَ کَلَّمَہٗ رَبُّہٗ ۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِیۡۤ اَنۡظُرۡ
اِلَیۡکَ ؕ قَالَ لَنۡ تَرٰىنِیۡ
وَ لٰکِنِ انۡظُرۡ اِلَی
الۡجَبَلِ فَاِنِ اسۡتَقَرَّ مَکَانَہٗ فَسَوۡفَ تَرٰىنِیۡ ۚ فَلَمَّا
تَجَلّٰی رَبُّہٗ لِلۡجَبَلِ
جَعَلَہٗ دَکًّا وَّ خَرَّ مُوۡسٰی
صَعِقًا ۚ فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ
سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan tatkala
Musa datang pada waktu yang Kami tetapkan dan Rabb-nya
(Tuhan-nya) bercakap-cakap dengannya,
ia berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), perlihatkanlah kepadaku supaya aku dapat
memandang Engkau.” Dia berfirman: “Engkau
tidak akan pernah dapat melihat-Ku
tetapi pandanglah gunung itu,
lalu jika ia tetap ada pada tempatnya maka engkau
pasti akan dapat melihat-Ku.”
Maka tatkala Rabb-nya (Tuhan-nya) menjelmakan
keagungan-Nya pada gunung itu Dia menjadikannya hancur lebur, dan Musa
pun jatuh pingsan. فَلَمَّاۤ اَفَاقَ قَالَ سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ وَ اَنَا
اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- Lalu tatkala ia sadar kembali ia berkata:
“Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang pertama di antara orang-orang yang beriman kepadanya
di masa ini.” (Al-A’rāf [7]:144).
Gambaran Kesempurnaan Ruhani
Nabi Besar Muhammad Saw.
Ayat ini memberikan penjelasan mengenai salah
satu masalah keagamaan yang sangat
penting, yaitu mungkinkah bagi seseorang menyaksikan Allah Swt. dengan mata jasmaninya? Ayat itu sedikit pun
tidak mendukung pendapat bahwa Allah
swt. dapat disaksikan oleh mata jasmani, firman-Nya:
لَا تُدۡرِکُہُ الۡاَبۡصَارُ ۫ وَ
ہُوَ یُدۡرِکُ الۡاَبۡصَارَ ۚ وَ
ہُوَ اللَّطِیۡفُ الۡخَبِیۡرُ ﴿﴾
Penglihatan mata tidak
mencapai-Nya
tetapi Dia mencapai penglihatan, dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui. (An-An’ām [6]:104).
Abshār adalah jamak dari bashar
yang berarti penglihatan atau pengertian, dan lathīf berarti:
yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera; halus (Lexicon Lane & Taj-ul-Arus).
Ayat itu berarti, bahwa akal manusia
sendiri tanpa pertolongan wahyu Ilahi
tidak bisa menghayati pengertian
mengenai Allah Swt. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, tetapi Dia menampakkan Diri-Nya kepada manusia,
melalui nabi-nabi-Nya atau melalui
bekerjanya Sifat-sifat-Nya. Dia pun
nampak kepada mata ruhani.
Karena Allah Swt. merupakan Wujud
Yang Maha Gaib, maka jangankan
melihat Wujud (Dzat) Allah
Swt. dengan
mata jasmani, bahkan manusia tidak dapat pula melihat malaikat-malaikat, kita hanya dapat
melihat penjelmaan mereka belaka.
Begitu pula hanya tajalli (penjelmaan keagungan) Allah Swt. sajalah yang dapat disaksikan manusia, tetapi Dzat (Wujud) Allah Swt. Sendiri tidak. Oleh karena itu tidak
dapat dimengerti bahwa seorang nabi yang
besar seperti Nabi Musa a.s. dengan
segala makrifat mengenai Sifat-sifat
Allah Swt. akan mempunyai keinginan
mengenai hal-hal yang mustahil.
Nabi Musa a.s. mengetahui bahwa beliau hanyalah dapat
menyaksikan Tajalli (penampakkan
kekuasaan) Allah Swt. , dan bukan Wujud-Nya
Sendiri. Akan tetapi beliau sebelumnya sudah melihat suatu Tajalli Allah Swt. dalam bentuk “api” dalam perjalanan beliau dari Midian ke Mesir bersama keluarganya (QS.28:30). Jadi apa gerangan maksud Musa a.s. dengan
perkataan: “Ya Tuhan-ku, tampak-kanlah
kepadaku supaya aku dapat melihat Engkau?”
Permohonan itu nampaknya
mengisyaratkan kepada tajalli-sempurna
Allah Swt. yang kelak akan menjelma pada diri Nabi Besar Muhammad saw. beberapa masa kemudian. Allah Swt.
menjanjikan kepada Nabi Musa
a.s. bahwa
dari antara saudara-saudara Bani Israil
akan muncul seorang nabi yang di
mulutnya Tuhan akan meletakkan Kalam-Nya
(Kitab Ulangan 18:18-22;
QS.46:11).
Nubuatan ini
berkenaan dengan suatu tajalli Allah Swt. lebih besar daripada yang pernah dilimpahkan kepada Nabi Musa a.s.,
karena itu beliau dengan sendirinya sangat
berhasrat melihat macam bagaimana Keagungan dan Kemuliaan Allah Swt. yang
akan tampak dalam tajalli yang dijanjikan
itu melalui nabi yang seperti diri beliau.
Nabi Musa a.s. berharap bahwa Keagungan
dan Kemuliaan itu, ada yang dapat diperlihatkan kepada beliau.
Tetapi Nabi Musa a.s. diberi
tahu bahwa Tajalli ini berada di luar batas kemampuan beliau untuk menanggungnya, tajalli itu tidak akan dapat terjelma
pada hati beliau, tetapi Allah Swt.
memilih gunung untuk bertajalli.
Gunung itu berguncang dengan
hebat serta nampak seakan-akan ambruk, dan Nabi Musa a.s. karena dicekam oleh pengaruh
guncangan itu rebah tidak sadarkan diri (pingsan).
Pernyataan Iman Nabi
Musa a.s. Kepada Nabi Besar Muhammad
saw.
Dengan cara demikian Nabi Musa
a.s. menjadi sadar bahwa beliau tidak mencapai taraf yang demikian
tingginya dalam martabat keruhanian
yang dapat membuat beliau boleh menyaksikannya
sendiri tempat Allah Swt. bertajalli sebagaimana dimohonkan
beliau. Sebab hak istimewa yang unik itu disediakan untuk seorang nabi
Allah yang martabat ruhaninya lebih besar daripada beliau, tak lain
ialah Khātaman- Nabiyyīn -- Mahkota
segala makhluk Ilahi (QS.33:41), Baginda Nabi Besar Muhammad saw., sang Insan Kamil hakiki, firman-Nya:
اِنَّا
عَرَضۡنَا الۡاَمَانَۃَ عَلَی السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ الۡجِبَالِ فَاَبَیۡنَ
اَنۡ یَّحۡمِلۡنَہَا وَ اَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ ؕ اِنَّہٗ
کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat syariat kepada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung,
tetapi semuanya enggan memikulnya
dan mereka takut terhadapnya, وَ حَمَلَہَا الۡاِنۡسَانُ -- tetapi insan (manusia) memikulnya, اِنَّہٗ کَانَ ظَلُوۡمًا جَہُوۡلًا -- sesungguhnya ia sanggup berbuat zalim
dan abai terhadap di-rinya. (Al-Ahzāb [33]:73). Lihat pula
QS.53:1-19.
Mungkin pula permohonan Nabi Musa a.s. itu karena didesak para pemuka Bani Israil yang menuntut untuk melihat Allah Swt. dengan mata jasmani (QS.2:56). Pengalaman
ruhani Nabi Musa a.s. yang
sangat luar biasa itu memberi kesadaran
kepada beliau bahwa permohonan beliau
itu tidak layak, sehingga dengan
serta merta beliau berseru: سُبۡحٰنَکَ تُبۡتُ اِلَیۡکَ
وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ -- “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau
dan aku adalah orang pertama di antara
orang-orang yang beriman kepadanya di masa ini.”
Ucapan tersebut berarti Nabi Musa a.s. menyadari bahwa beliau tidak dianugerahi kemampuan melihat tajalli-sempurna Keagungan Ilahi yang seharusnya akan menjelma pada hati Nabi Yang
dijanjikan – yang seperti diri beliau -- itu dan bahwa beliau (Nabi Musa a.s.)
adalah orang yang pertama-tama beriman kepada keluhuran kedudukan ruhani yang telah ditakdirkan akan dicapai oleh Nabi
Besar itu. Keimanan Nabi Musa
a.s. kepada Nabi Besar
Muhammad saw. itu telah
disinggung juga dalam QS.46:11 sebelumnya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa
a.s. tersebut merupakan kasyaf
(pengalaman ruhani), karena itu gunung
itu sebenarnya tidak hancur-lebur. Kata-kata itu telah dipergunakan secara majasi (kiasan) untuk menyatakan kehebatan gempa bumi itu pada saat Nabi Musa a.s. dan Bani Israil berada di lereng gunung Thur. Lihat Keluaran
24:18.
Bukti-bukti Kaum Quraisy adalah Bani Isma’il
Kembali kepada pembangunan kembali Ka’bah oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi
Isma’il a.s. (QS.2:128-130), untuk menegaskan bahwa Nabi yang diharapkan dan dijanjikan itu harus seorang dari Bani Isma'il, Al-Quran dengan sangat
tepat menuturkan pembangunan Ka’bah
oleh Nabi Ibrahim a.s. dan
Nabi Isma'il a.s. dan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim
a.s. untuk keturunan putra
sulungnya tersebut.
Terhadap kesimpulan wajar ini para pengecam Kristen pada umumnya
mengemukakan dua kecaman:
(1) Bahwa Bible tidak menyebut janji
Allah apa pun kepada Nabi Ibrahim a.s. mengenai Isma'il a.s. dan
(2) bahwa andaikata diakui bahwa
Allah Swt. sungguh-sungguh telah memberikan suatu janji demikian, maka tidak ada bukti
terhadap kenyataan bahwa Rasul agama
Islam adalah keturunan Nabi
Isma'il a.s..
Adapun tentang keberatan pertama, andaikata pun diperhatikan bahwa Bible tak mengandung nubuatan-nubuatan apa pun mengenai Nabi
Isma'il a.s. maka hal itu
tidaklah berarti bahwa nubuatan
demikian tidak pernah ada. Tambahan pula bila kesaksian Bible dapat dianggap membenarkan adanya sesuatu janji mengenai Nabi Ishaq a.s. dan putra-putranya,
mengapa kesaksian Al-Quran berkenaan dengan anak
cucu Nabi Isma'il a.s. tidak
dapat diterima sebagai bukti bahwa janji-janji
telah diberikan pula oleh Allah Swt. kepada Nabi Isma'il a.s. dan
anak-anaknya? Tetapi Bible sendiri
mengandung penunjukan mengenai kesejahteraan hari depan putra-putra Nabi Isma'il a.s. seperti dikandungnya
mengenai kesejahteraan putra-putra Nabi
Ishaq a.s. (Kejadian
16:10-12; 17:6-10; 17:18-20).
Sebagai jawaban kepada keberatan kedua bahwa seandainya pun perjanjian
itu dianggap meliputi keturunan Nabi Isma'il a.s., masih harus pula
dibuktikan bahwa Nabi Besar Muhammad saw. termasuk Bani Isma'il a.s.,.
Butir-butir berikut ini dapat diperhatikan:
(1) Kaum Quraisy kabilah Nabi Besar Muhammad saw. berasal,
senantiasa percaya dan menyatakan diri sebagai keturunan Nabi Isma'il a.s.
dan pengakuan itu diakui oleh
semua bangsa Arab.
(2) Jika pengakuan kaum Quraisy dan juga pengakuan suku-suku Bani Isma'il lainnya dari tanah Arab
sebagai keturunan Nabi Isma'il a.s.
itu tidak benar, maka keturunan Nabi Isma'il a.s. yang
sungguh-sungguh tentu akan membantah
pengakuan palsu demikian itu, tetapi setahu orang, keberatan demikian tidak pernah diajukan.
(3). Dalam Kejadian 17:20
Tuhan telah berjanji akan memberkati
Nabi Isma'il a.s. melipatgandakan
keturunannya, menjadikannya bangsa besar
dan ayah 12 pangeran. Jika bangsa Arab bukan keturunannya, lalu mana bangsa yang dijanjikan
itu? Suku-suku Bani Isma'il di tanah
Arab sungguh-sungguh merupakan satu-satunya yang mengaku berasal dari Nabi Isma'il
a.s..
(4) Menurut Kejadian 21:8-14, Siti
Hajar terpaksa meninggalkan rumahnya untuk memuaskan rasa angkuh Siti Sarah. Jika beliau tidak dibawa ke Hijaz, di
manakah sekarang keturunannya dapat ditemukan dan di manakah tempat
pembuangannya?
(5) Ahli-ahli ilmu bumi bangsa
Arab semuanya sepakat bahwa Faran itu adalah nama yang diberikan kepada
bukit-bukit Hijaz (Mu’jam al-Buldan).
(6). Menurut Bible, keturunan Nabi Nabi Isma'il a.s. menghuni wilayah “dari negeri Hawilah sampai ke Syur” (Kejadian 25:18), dan kata-kata “dari Hawilah sampai ke Syur” menunjukkan ujung-ujung bertentangan
negeri Arab (Biblical Cyclopaedia
by J. Eadie, London 1862).
(7). Bible menyebut Ismail “seorang bagai hutan lakunya” (Kejadian
16:12) dan kata A’rabi (“Penghuni padang pasir”) mengandung arti hampir
sama pula.
(8). Bahkan Paulus mengakui adanya hubungan antara Siti Hajar dengan tanah Arab (Galtia 4:25).
(9). Kedar itu seorang putra Nabi Isma’il
a.s. dan telah diakui bahwa keturunannya menduduki wilayah selatan tanah
Arab (Biblical Cyclopaedia
London 1862).
(10). Prof. C.C. Torrey
mengatakan: “Orang-orang Arab itu Bani
Isma’il menurut riwayat bangsa Ibrani ....
Dua belas orang raja" (Kejadian
17:20), yang kemudian disebut dalam Kejadian
25:13-15, menggambarkan suku-suku Arab
atau daerah-daerah di negeri Arab, perhatikanlah terutama Kedar, Duma (Dumatul Jandal), Teima. Bangsa besar itu ialah
penduduk Arab” (Jewish Foundation of
Islam, halaman 83). “Orang-orang
Arab menurut ciri-ciri jasmani, bahasa, adat kebiasaan asli .... dan dari
persaksian Bible umumnya dan pada dasarnya adalah Bani Isma’il” (Cyclopaedia of Biblical Literature,
New York, halaman 685).
(11). “Marilah kita senantiasa mencela kecenderungan kotor anak-anak Hajar
karena terutama kaum (suku) Quraisy, mereka itu serupa dengan binatang” (Leaves from Three Ancient Qur’an,
edited by the Rev. Mingana, D.D. Intro. xiii).
Ketinggian Makrifat Ilahi Nabi Ibrahim a.s.
Kembali kepada Surah Al-Ankabut, selanjutnya Allah Swt. berfirman tentang Nabi Ibrahim
a.s.:
وَ اِبۡرٰہِیۡمَ
اِذۡ قَالَ لِقَوۡمِہِ اعۡبُدُوا
اللّٰہَ وَ اتَّقُوۡہُ ؕ ذٰلِکُمۡ خَیۡرٌ لَّکُمۡ
اِنۡ کُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ﴿﴾ اِنَّمَا تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ اَوۡثَانًا وَّ تَخۡلُقُوۡنَ اِفۡکًا ؕ اِنَّ الَّذِیۡنَ تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ
دُوۡنِ اللّٰہِ لَا یَمۡلِکُوۡنَ لَکُمۡ رِزۡقًا فَابۡتَغُوۡا عِنۡدَ اللّٰہِ
الرِّزۡقَ وَ اعۡبُدُوۡہُ وَ اشۡکُرُوۡا لَہٗ ؕ
اِلَیۡہِ تُرۡجَعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
Ibrahim ketika ia berkata kepada
kaumnya: “Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah adalah ber-hala-berhala, dan kamu
membuat-buat kedustaan. Sesungguhnya
apa-apa yang kamu sembah
selain Allah tidak memiliki kekuasaan
memberi rezeki kepadamu, maka carilah
rezeki di sisi Allah dan sembahlah
Dia serta bersyukurlah kepada-Nya, kepada-Nya
kamu akan dikembalikan. Dan jika
kamu mendustakan maka sungguh umat-umat
sebelum kamu pun telah mendustakan, dan
kewajiban Rasul sekali-kali tidak
lain melainkan menyampaikan dengan
jelas. (Al-Ankabut [29]:17-19).
Dari Al-Quran diketahui bahwa cara
menablighkan Tauhid Ilahi yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. kepada
kaumnya adalah dengan “gaya sindiran” (QS.2:259; QS.6:75-84; QS.2: 52-68),
sehingga membuat kaumnya menjadi “bungkam”
dan satu-satunya tindakan yang dapat mereka lakukan adalah berusaha
membunuh Nabi Ibrahim a.s. denganm cara melemparkan beliau ke dalam kobaran api, namun makar buruk mereka tidak
berhasil karena Allah Swt. telah membuat “kobaran api” menjadi “dingin”,
firman-Nya:
قَالُوۡا
حَرِّقُوۡہُ وَ انۡصُرُوۡۤا اٰلِہَتَکُمۡ
اِنۡ کُنۡتُمۡ فٰعِلِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡنَا یٰنَارُ کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا عَلٰۤی
اِبۡرٰہِیۡمَ ﴿ۙ﴾ وَ اَرَادُوۡا بِہٖ
کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ الۡاَخۡسَرِیۡنَ ﴿ۚ﴾
Mereka
berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu mau melakukan sesuatu!” Kami
berfirman: “Hai api, jadilah kamu dingin dan keselamatan atas Ibrahim!” Dan mereka
bermaksud akan melakukan tipu-daya terhadap dia, tetapi Kami menjadikan mereka orang-orang yang
paling rugi. (Al-Anbiya [21]:69-71).
Bagaimana caranya api itu menjadi dingin
kepada kita tidak diterangkan. Boleh jadi hujan
yang turun tepat pada waktu itu atau angin
badai telah memadamkan api itu.
Bagaimana pun Allah Swt. memang menimbulkan keadaan yang membawa
kepada lolosnya Nabi Ibrahim a.s. dari
bahaya.
Dalam mukjizat-mukjizat Ilahi
selamanya terdapat unsur gaib, dan
cara Ibrahim a.s. diselamatkan dari kobaran
api itu sungguh merupakan mukjizat besar. Bahwa Nabi Ibrahim a.s.
telah dilemparkan ke dalam kobaran
api diakui bukan saja orang-orang Yahudi, tetapi oleh orang-orang Kristen
juga dari Timur, buktinya ialah bahwa tanggal 25 bulan Kanun ke-II atau Januari
dikhususkan dalam penanggalan bangsa Siria untuk memperingati peristiwa
tersebut (Hyde, De Rel. Vet Pers. p. 73). Lihat
pula Mdr. Rabbah on Gen. Per.
17; Schalacheleth Hakabala,
2; Maimon de Idol, Ch. I; dan
Jad Hachazakah Vet,
6).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman
mengenai kesinambungan penggantian “kaum terpilih” dengan “kaum terpilih”
berikutnya ketika “kaum terpilih” sebelumnya kemudian melakukan kedurhakaan kepada Allah Swt. dan Rasul Allah
yang diutus kepada mereka (QS.7:35-37), firman-Nya:
اَوَ
لَمۡ یَرَوۡا کَیۡفَ یُبۡدِئُ
اللّٰہُ الۡخَلۡقَ ثُمَّ یُعِیۡدُہٗ ؕ
اِنَّ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ یَسِیۡرٌ ﴿﴾ قُلۡ سِیۡرُوۡا فِی الۡاَرۡضِ فَانۡظُرُوۡا کَیۡفَ
بَدَاَ الۡخَلۡقَ ثُمَّ اللّٰہُ یُنۡشِیُٔ
النَّشۡاَۃَ الۡاٰخِرَۃَ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿ۚ﴾
Apakah
mereka tidak melihat bagaimana Allah
mulai menciptakan makhluk kemudian mengulanginya, sesungguhnya
hal itu sangat mudah bagi Allah. Katakanlah: “Berjalanlah di bumi dan
lihatlah bagaimana Dia
memulai penciptaan makhluk, kemu-dian
Allah akan menghidupkan kembali sesudah mati.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Ankabūt
[29]:20-21).
Makna ayat
21 berarti bahwa hukum Ilahi berkenaan dengan penciptaan
dan pembiakan akan bekerja dengan
cara demikian, bahwa Allah Swt. akan menciptakan melalui Nabi Besar Muhammad
saw. umat manusia baru dan tertib
baru di atas puing-puing tertib lama.
Ungkapan “Berjalanlah di bumi dan
lihatlah bagaimana Dia memulai penciptaan makhluk,
kemudian Allah akan menghidupkan kembali sesudah mati” itu dipergunakan
pada beberapa tempat dalam Al-Quran (QS.6:2; QS.12:110; QS.30:10; QS.35:45;
QS.40:83), dan hampir di mana-mana disusul dengan sebuah kalimat yang menunjuk
kepada kebinasaan suatu bangsa dan kemunculan bangsa lain yang menggantikan
tempat mereka.
Ayat
ini tidak menunjuk kepada kebangkitan
kembali sesudah mati, melainkan hanya kepada gejala bangkit dan jatuhnya bangsa-bangsa di dunia ini. Dan kebangkitan suatu bangsa
senantiasa melalkui pengutusan Rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan
sebelumnya, firman-Nya:
وَ لِکُلِّ
اُمَّۃٍ اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَآءَ
اَجَلُہُمۡ لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ
سَاعَۃً وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿﴾ یٰبَنِیۡۤ
اٰدَمَ اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ
رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ
فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾ وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ
اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ
اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan
bagi tiap-tiap umat ada batas waktu,
maka apabila telah datang batas
waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula
dapat memajukannya. یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ
اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ
ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ -- Wahai Bani
Adam, jika datang kepada
kamu rasul-rasul dari antaramu yang menceritakan Ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri,
tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih
hati. وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا
خٰلِدُوۡنَ -- Dan orang-orang yang mendustakan
Ayat-ayat Kami dan dengan takabur
berpaling darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-A’rāf
[7]:35-37).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 28 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar