بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 10
Para Penguasa
Muslim Harus Menjadi “Pengayom”
Umat Manusia & Makna Panjangnya Usia Nabi Nuh a.s. dan Tinggi Tubuh Nabi Adam a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas mengenai
kebebasan menyatakan kata hati
- termasuk dalam hal memeluk agama dan kepercayaan -- merupakan hal
yang tidak kurang pentingnya. Hal ini
merupakan pusaka manusia yang paling
berharga — mungkin lebih berharga
daripada jiwa manusia sendiri.
Al-Quran yang telah memberi kedudukan yang semulia-mulianya kepada kehidupan
manusia, tidak mungkin tidak mengakui, dan menyatakan bahwa kesucian dan haknya yang tidak boleh diganggu, sebagai hak asasi yang paling berharga. Untuk membela milik mereka yang paling berharga itulah, orang-orang Muslim telah diberi izin untuk mengangkat senjata, firman-Nya:
اُذِنَ لِلَّذِیۡنَ یُقٰتَلُوۡنَ بِاَنَّہُمۡ ظُلِمُوۡا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ
عَلٰی نَصۡرِہِمۡ لَقَدِیۡرُۨ ﴿ۙ﴾
Diizinkan berperang bagi mereka yang telah diperangi, karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allāh berkuasa menolong mereka. (Al-Hājj [22]:40).
Menurut kesepakatan di antara para ulama,
ayat inilah yang merupakan ayat pertama, yang memberi izin kepada orang-orang Islam
(Muslim) untuk mengangkat senjata
guna membela diri. Ayat ini
menetapkan asas-asas yang menurut
itu, orang-orang Islam (Muslim) boleh mengadakan perang untuk membela diri,
dan bersama-sama dengan ayat-ayat berikutnya mengemukakan alasan-alasan yang membawa orang-orang Islam yang amat sedikit jumlahnya itu — tanpa persenjataan dan alat-alat
duniawi lainnya — untuk berperang
membela diri.
Tujuan Lainnya Izin
Berperang
Hal itu mereka lakukan sesudah mereka tidak henti-hentinya mengalami penderitaan selama 13 tahun di Mekkah,
dan sesudah mereka dikejar-kejar sampai ke Medinah
dengan kebencian yang tidak ada
reda-redanya dan di sini pun mereka diusik
dan diganggu juga. Alasan pertama
yang dikemukakan dalam ayat ini yaitu
bahwa mereka diperlakukan secara zalim, firman-Nya:
الَّذِیۡنَ
اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ
بِغَیۡرِ حَقٍّ اِلَّاۤ اَنۡ یَّقُوۡلُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ ؕ وَ لَوۡ
لَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ لَّہُدِّمَتۡ صَوَامِعُ وَ
بِیَعٌ وَّ صَلَوٰتٌ وَّ مَسٰجِدُ یُذۡکَرُ فِیۡہَا اسۡمُ اللّٰہِ کَثِیۡرًا ؕ وَ
لَیَنۡصُرَنَّ اللّٰہُ مَنۡ یَّنۡصُرُہٗ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ ﴿﴾
Yaitu orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa haq hanya karena mereka berkata: رَبُّنَا اللّٰہُ -- “Tuhan
kami Allāh.” Dan seandai-nya Allāh
tidak menangkis sebagian manusia oleh sebagian
yang lain niscaya akan hancur biara-biara,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadah, dan masjid-masjid
yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah, dan Allah
pasti akan menolong siapa yang menolong-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa. (Al-Hājj [22]:41).
Ayat
ini memberi alasan kedua, yaitu bahwa
orang-orang Islam telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang adil dan sah,
satu-satunya kesalahan mereka ialah
hanya karena mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diajarkan Nabi
Besar Muhammad saw..
Bertahun-tahun lamanya Nabi Besar
Muhammad saw. dan orang-orang Islam (Muslim)
ditindas di Mekkah, kemudian mereka diusir dari sana (QS.8:31; QS.9:40), dan
tidak pula dibiarkan hidup dengan aman di tempat pembuangan mereka di Medinah.
Islam diancam dengan kemusnahan total oleh suatu serangan gabungan suku-suku Arab (Al-Ahzab) di sekitar Medinah, yang terhadapnya orang
Quraisy mempunyai pengaruh yang besar, mengingat kedudukan mereka sebagai penjaga
Ka’bah. Kota Medinah sendiri menjadi sarang
kekacauan dan pengkhianatan. Orang-orang Yahudi bersatu-padu memusuhi
Nabi Besar Muhammad saw..
Kesulitan beliau saw. dengan hijrah
ke Medinah bukan berkurang, bahkan
makin bertambah. Di
tengah-tengah keadaan yang amat tidak menguntungkan itulah orang-orang Islam (Muslim)
terpaksa mengangkat senjata untuk menyelamatkan diri mereka, agama mereka, dan wujud Nabi
Besar Muhammad saw. dari kemusnahan.
Jadi, jika ada suatu kaum yang
pernah mempunyai alasan yang sah
untuk berperang, maka kaum itu adalah Nabi Besar Muhammad saw. dan para sahabat beliau saw., namun para kritisi
Islam Non-Muslim yang tidak mau mempergunakan akal telah menuduh, bahwa beliau saw. melancarkan peperangan agresi untuk memaksakan agama beliau saw. kepada
orang-orang yang tidak menghendakinya. Padahal dengan tegas Allah Swt. menyatakan dalam Al-Quran
bahwa tidak boleh ada paksaan
dalam masalah agama (QS.2:257; QS.10:100;
QS.11:119; QS.18:30; QS.76:4).
Para Penguasa Muslim
Harus Menjadi “Pengayom” Umat Manusia
Sesudah
memberikan alasan-alasan mengapa orang-orang Islam terpaksa mengangkat senjata, selanjutnya ayat ini
mengemukakan tujuan dan maksud peperangan yang dilancarkan oleh
umat Islam. Tujuannya sekali-kali
bukan untuk merampas hak orang-orang
lain atas rumah dan milik mereka, atau merampas kemerdekaan mereka serta memaksa mereka tunduk kepada kekuasaan
asing, atau untuk menjajagi
pasar-pasar yang baru atau memperoleh
tanah-tanah jajahan baru -- seperti
telah diusahakan oleh kekuasaan
negara-negara kuat dari barat yang beragama Kristen.
Yang dimaksudkan ialah mengadakan perang semata-mata untuk membela diri dan untuk menyelamatkan Islam dari kemusnahan, dan untuk menegakkan kebebasan berpikir; begitu
juga untuk membela tempat-tempat
peribadatan yang dimiliki oleh agama-agama
lain — gereja-gereja, rumah-rumah peribadatan Yahudi, kuil-kuil, biara-biara,
dan sebagainya (QS.2:194; QS.2:257; QS.8:40 dan QS.8:73).
Jadi tujuan pertama dan terutama
dari perang-perang yang dilancarkan
oleh Islam di masa yang lampau dan selamanya
di masa yang akan datang pun ialah menegakkan
kebebasan beragama dan beribadah
dan berperang membela negeri, kehormatan, dan kemerdekaan
terhadap serangan tanpa dihasut. Apakah ada alasan
untuk berperang yang lebih baik
daripada ini?
Selanjutnya Allah Swt. berfirman apabila umat Islam meraih kekuasaan
duniawi dalam kedudukan mereka sebagai “umat
terbaik” yang dijadikan untuk manfaat
seluruh umat manusia (QS.2:144; QS.3:111):
اَلَّذِیۡنَ اِنۡ مَّکَّنّٰہُمۡ فِی الۡاَرۡضِ اَقَامُوا الصَّلٰوۃَ وَ اٰتَوُا
الزَّکٰوۃَ وَ اَمَرُوۡا بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ
نَہَوۡا عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ لِلّٰہِ
عَاقِبَۃُ الۡاُمُوۡرِ ﴿﴾
Orang-orang
yang jika Kami meneguhkannya di bumi
mereka mendirikan shalat, membayar zakat,
menyuruh berbuat kebaikan dan
melarang dari keburukan.1 Dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan.
(Al-Hājj
[22]:42).
Jadi, ayat
ini mengandung perintah bagi
orang-orang Islam bahwa mana-kala mereka memperoleh kekuasaan, maka mereka tidak boleh
mempergunakannya untuk kemajuan bagi kepentingan diri mereka sendiri,
melainkan harus digunakan untuk memperbaiki
nasib orang-orang miskin dan orang-orang
tertindas dan untuk menegakkan keamanan
dan keselamatan di daerah-daerah kekuasaan mereka, dan bahwa mereka harus
menghargai dan melindungi tempat-tempat peribadatan, sebab Nabi Besar Muhammad saw. diutus Allah Swt. sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS.21:108),
demikian pula hendaknya umat Islam yang mendapat gelar sebagai “umat
terbaik” (QS.2:144; QS.3:111).
Janji-janji Muluk Dusta Para Penentang Rasul Allah & Makna
Usia Para Nabi Allah
Kembali kepada Surah Al-Ankabūt, selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai segolongan orang-orang kafir yang sangat ekstrim
dalam melakukan penghadangan terhadap orang-orang yang beriman (QS.7:15-19) agar melepaskan keimanan mereka kepada Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan, firman-Nya:
وَ قَالَ
الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّبِعُوۡا سَبِیۡلَنَا وَ لۡنَحۡمِلۡ
خَطٰیٰکُمۡ ؕ وَ مَا ہُمۡ بِحٰمِلِیۡنَ مِنۡ خَطٰیٰہُمۡ مِّنۡ شَیۡءٍ ؕ
اِنَّہُمۡ لَکٰذِبُوۡنَ ﴿﴾ وَ لَیَحۡمِلُنَّ
اَثۡقَالَہُمۡ وَ اَثۡقَالًا مَّعَ
اَثۡقَالِہِمۡ ۫ وَ لَیُسۡـَٔلُنَّ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ عَمَّا کَانُوۡا
یَفۡتَرُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: اتَّبِعُوۡا سَبِیۡلَنَا وَ لۡنَحۡمِلۡ
خَطٰیٰکُمۡ -- “Ikutilah jalan kami dan
kami akan menanggung dosa-dosa
kamu.” وَ مَا ہُمۡ بِحٰمِلِیۡنَ مِنۡ خَطٰیٰہُمۡ مِّنۡ شَیۡءٍ -- Padahal mereka tidak dapat memikul dosa-dosa mereka itu sedikit pun, اِنَّہُمۡ لَکٰذِبُوۡنَ -- sesungguhnya mereka itu benar-benar pendusta. Dan niscaya mereka akan memikul beban mereka
dan beban orang lain beserta
beban mereka, dan pada Hari Kiamat niscaya mereka
akan ditanyai mengenai apa yang mereka
ada-adakan. (Al-Ankabūt [29]:13-14).
Jadi, selain orang-orang munafik, ada lagi golongan lain yakni gembong-gembong kekafiran yang agresip. Dengan menyalahgunakan kedudukan dalam masyarakat, mereka berusaha menyesatkan orang-orang lain yang tidak
begitu tinggi kedudukannya dalam masyarakat dengan mengatakan kepada mereka,
bahwa mereka akan menanggung segala
kerugian yang akan diderita
mereka itu sebagai akibat mengikuti
pimpinan mereka dan menolak agama
hakiki yang baru itu.
Padahal janji-janji serta berbagai jaminan
yang mereka tawarkan tersebut kedustaan
belaka, sebab cara demikian itulah yang selalu dilakukan syaitan dalam menyesatkan
manusia dari jalan Allah Swt.
yakni selalu mengingkari janji
(QS.14:23), lalu meninggalkan
dan menelantarkan manusia yang berhasil ditipunya (QS.25:26-32).
Dalam rangka mendukung kebenaran firman Allah Swt. dalam
ayat-ayat sebelumnya, selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai kisah Nabi Nuh a.s. yang merupakan salah satu bukti di masa lalu mengenai hal tersebut, firman-Nya:
وَ
لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَا نُوۡحًا اِلٰی قَوۡمِہٖ فَلَبِثَ فِیۡہِمۡ اَلۡفَ سَنَۃٍ
اِلَّا خَمۡسِیۡنَ عَامًا ؕ فَاَخَذَہُمُ
الطُّوۡفَانُ وَ ہُمۡ ظٰلِمُوۡنَ ﴿﴾ فَاَنۡجَیۡنٰہُ
وَ اَصۡحٰبَ السَّفِیۡنَۃِ وَ جَعَلۡنٰہَاۤ اٰیَۃً
لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Kami benar-benar telah mengutus Nuh
kepada kaumnya, dan ia tinggal di antara mereka seribu tahun
kurang lima puluh tahun, lalu
mereka disergap oleh taufan
sedang mereka dalam keadaan zalim. Maka Kami menyelamatkan dia dan penumpang-penumpang bahtera, dan Kami
menjadikan peristiwa itu suatu
Tanda untuk seluruh manusia. (Al-Ankabūt
[29]:16).
Di sini usia
Nabi Nuh a.s. telah disebut
950 tahun. Bible mengatakan 952
tahun. Sukar sekali menetapkan tanggal yang pasti untuk mengetahui kapan dan
berapa lama masa hidup nabi-nabi Allah zaman purba, seperti Nabi Nuh a.s. ,
Nabi Hud a.s., Nabi Shalih a.s., dan nabi-nabi lainnya. “Tidak ada yang mengetahui mereka kecuali Allah,” kata Al-Quran
(QS.14:10).
Masa 950 tahun nampaknya bukan
jangka waktu hidup Nabi Nuh a.s.. dalam jasad pribadinya, melainkan
masa itu masa berlakunya syariat
beliau. Oleh karena itu masa itu
menjangkau pertama-tama sampai masa kenabian
Nabi Ibrahim a.s., sebab Nabi Ibrahim a.s. “adalah dari golongannya” (QS.37:84) dan kemudian menjangkau sampai
masa Nabi Yusuf a.s. dan kemudian bahkan menurun sampai Nabi Musa a.s..
Sungguh pada hakikatnya usia
seorang nabi Allah adalah selama masa berlakunya syariat dan ajarannya. Dalam menggambarkan batas
usia Nabi Nuh a.s.. dua patah kata
sanah dan ‘am, yang dipergunakan. Kalau arti akar kata sanah
mengandung pengertian buruk maka arti
akar kata ‘am mempunyai pengertian
baik.
Agaknya
50 tahun permulaan “usia” ajaran
Nabi Nuh a.s. merupakan tahun-tahun kemajuan
dan peningkatan kehidupan ruhani
kaum, dan sesudah itu datanglah masa
kemerosotan dan kemunduran akhlak,
dan kaum beliau lambat-laun menjadi rusak akhlaknya, sehingga kemunduran mereka menjadi genap dalam
900 tahun.
Makna Tinggi Tubuh Nabi
Adam a.s.
Dengan demikian jelaslah bahwa jika Nabi Besar
Muhammad saw. dalam hadits menyebutkan bahwa usia Nabi Adam a.s. 1000 tahun maka maknanya adalah usia masa berlakunya ajaran atau syariat yang diwahyukan
kepada Nabi Adam a.s., bukan artinya usia Nabi Adam a.s. adalah 1000 tahun,
demikian pula halnya dengan tinggi tubuh
beliau yaitu setinggi 30 meter, sebagaimana diriwayatkan Ibnu
‘Abbas r.a. memiliki makna lain, misalnya sebagai penggambaran atau kiasan
ketinggian martabat ruhani beliau, sehingga orang-orang yang tinggi tubuhnya
sekitar 2 meter harus mendongakkan
kepalanya jika ingin melihat ketinggian
ruhani Nabi Adam a.s..
Terlebih lagi jika ingin melihat ketinggian martabat ruhani Nabi Besar Muhammad saw. – sebagai Khātaman Nabiyyīn (QS.33:41) -- yang pasti jauh lebih tinggi lagi daripada Nabi Adam a.s., yang dalam peristiwa mi’raj ketika Nabi Besar Muhammad
saw. bertemu Nabi Adam a.s. beliau berada
pada tingkatan langit pertama, sedangkan Nabi Besar Muhammad saw. jauh melampaui
martabat Nabi Ibrahim a.s.
yang berada di tingkatan langit ke tujuh dan beliau saw. mencapai Sidratul Muntaha (QS.53:1-19). Wallahu ‘alam.
Ya benar, masalah berapa lama
sebenarnya umur para nabi
Allah dan tinggi serta besarnya postur tubuh mereka bukan masalah penting yang perlu diperdebatkan, karena di akhirat
masalah umur serta besar-kecilnya serta tinggi
rendahnya tubuh manusia bukan masalah penting, sebab menurut Allah Swt. yang akan
menjadi pertimbangan-Nya dalam
menentukan apakah mereka di akhirat akan menjadi penghuni surga ataukah penghuni
neraka jahannam adalah berkaitan dengan masalah
ketakwaan mereka kepada Allah
Swt., firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ
شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ
اَکۡرَمَکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ
﴿﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari laki-laki
dan perempuan, dan Kami
telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
dapat saling mengenal. اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ
عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ -- Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allāh adalah yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
Syu’ub itu jamak dari sya’b, yang berarti: suku
bangsa besar, induk suku-suku bangsa disebut qabilah, tempat mereka
berasal dan yang meliputi mereka; suku bangsa (Lexicon Lane).
Keinginan Sia-sia Orang-orang
Yahudi Berumur Panjang & “Magna
Charta” (Piagam Persaudaraan dan
Persamaan Umat Manusia)
Sehubungan dengan keinginan berumur panjang dalam kehidupan
di dunia ini, Allah Swt. berfirman
mengenai orang-orang Yahudi, berikut firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
وَ
لَتَجِدَنَّہُمۡ اَحۡرَصَ النَّاسِ عَلٰی حَیٰوۃٍ
ۚۛ وَ مِنَ الَّذِیۡنَ اَشۡرَکُوۡا
ۚۛ یَوَدُّ اَحَدُہُمۡ لَوۡ
یُعَمَّرُ اَلۡفَ سَنَۃٍ ۚ وَ مَا ہُوَ بِمُزَحۡزِحِہٖ مِنَ الۡعَذَابِ اَنۡ
یُّعَمَّرَ ؕ وَ اللّٰہُ بَصِیۡرٌۢ بِمَا
یَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Dan niscaya
engkau benar-benar akan mendapati mereka sebagai manusia paling tamak kepada
kehidupan dunia dan bahkan lebih daripada orang-orang musyrik, masing-masing mereka ingin diberi umur seribu tahun, padahal diberi umur selama itu tidak dapat menjauhkannya dari azab,
dan Allah Maha Melihat apa yang mereka
kerjakan. (Al-Baqarah [2]:97).
Orang-orang musyrik tidak begitu lekat ikatan
mereka kepada kehidupan di dunia ini daripada orang-orang
Yahudi, karena -- beda dari kaum Yahudi -- mereka tak
beriman kepada kehidupan sesudah mati
dan oleh karena itu mereka tidak punya
rasa takut akan siksaan sesudah mati.
Jadi, makna ayat tersebut adalah bahwa
orang-orang Yahudi tersebut
baik diberi jangka waktu hidup yang pendek mau pun yang panjang -- sampai 1000
tahun -- tetap saja kedurhakaan yang senantiasa mereka
lakukan kepada Allah Swt. dan para Rasul Allah yang dibangkitkan di
kalangan Bani Israil (QS.2:88-95)
tidak akan dapat melepaskan diri mereka dari azab Ilahi sebagai bentuk kemurkaan Allah Swt. kepada bangsa yang tidak tahu bersyukur tersebut (QS.14:8) sehingga Allah Swt. dalam
Al-Quran telah menyebut mereka sebagai “pohon
terkutuk” ( QS.17:61; QS.5:79-80).
Jadi,
sesudah membahas masalah persaudaraan
dalam Islam pada dua ayat Surah Al
Hujurāt sebelumnya, ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan meliputi seluruh umat manusia. Pada hakikatnya, ayat ini merupakan “Magna
Charta” - piagam persaudaraan dan
persamaan umat manusia, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ
شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ
اَکۡرَمَکُمۡ عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ
﴿﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari laki-laki
dan perempuan, dan Kami
telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
dapat saling mengenal. اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ
عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ -- Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
(Bersambung)
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar