بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Al-Ankabūt
Bab 111 (Tamat)
Makna Jihad
di Jalan Allah yang Hakiki
Oleh
D
|
alam bagian
akhir Bab sebelumnya telah dibahas
firman Allah Swt. mengenai mengemukakan sikap
buruk dan ketidak-konsekwenan
orang-orang musyrik terhadap kemusyrikannya
ketika menghadapi bencana yang mereka
anggap akan menghabisi mereka: فَاِذَا
رَکِبُوۡا فِی الۡفُلۡکِ دَعَوُا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ ۬ۚ فَلَمَّا نَجّٰہُمۡ اِلَی الۡبَرِّ اِذَا
ہُمۡ یُشۡرِکُوۡنَ
-- “Maka apabila mereka menaiki
bahtera, mereka berdoa kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya,
tetapi tatkala Dia telah menyelamatkan
mereka sampai ke darat tiba-tiba mereka
mulai mempersekutukan-Nya. ” Senada dengan ayat tersebut dalam Surah lain
Allah Swt. berfirman mengenai mereka:
ہُوَ الَّذِیۡ یُسَیِّرُکُمۡ فِی
الۡبَرِّ وَ الۡبَحۡرِ ؕ حَتّٰۤی اِذَا کُنۡتُمۡ فِی
الۡفُلۡکِ ۚ وَ جَرَیۡنَ بِہِمۡ بِرِیۡحٍ طَیِّبَۃٍ وَّ فَرِحُوۡا بِہَا جَآءَتۡہَا رِیۡحٌ عَاصِفٌ
وَّ جَآءَہُمُ
الۡمَوۡجُ مِنۡ کُلِّ
مَکَانٍ وَّ ظَنُّوۡۤا اَنَّہُمۡ اُحِیۡطَ بِہِمۡ ۙ دَعَوُا
اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ ۬ۚ لَئِنۡ اَنۡجَیۡتَنَا مِنۡ ہٰذِہٖ لَنَکُوۡنَنَّ مِنَ
الشّٰکِرِیۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّاۤ اَنۡجٰہُمۡ اِذَا ہُمۡ یَبۡغُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ بِغَیۡرِ الۡحَقِّ ؕ
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اِنَّمَا
بَغۡیُکُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ ۙ
مَّتَاعَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۫ ثُمَّ اِلَیۡنَا
مَرۡجِعُکُمۡ فَنُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ
تَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Dia-lah Yang memperjalankan kamu melalui daratan dan lautan, hingga apabila kamu telah ada di kapal-kapal, dan meluncurlah kapal-kapal itu dengan mereka berkat angin yang baik
dan mereka pun bergembira karenanya lalu datang angin badai melandanya dan gelombang
pun mendatangi mereka dari setiap
tempat serta mereka yakin bahwa
sesungguhnya mereka telah terkepung, دَعَوُا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ -- mereka berseru kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dan
berkata, لَئِنۡ اَنۡجَیۡتَنَا مِنۡ ہٰذِہٖ لَنَکُوۡنَنَّ مِنَ الشّٰکِرِیۡنَ -- “Jika Engkau
benar-be-nar menyelamatkan kami
dari bahaya ini, niscaya kami
akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”
فَلَمَّاۤ اَنۡجٰہُمۡ اِذَا ہُمۡ یَبۡغُوۡنَ فِی الۡاَرۡضِ بِغَیۡرِ الۡحَقِّ -- Tetapi tatkala Dia
menyelamatkan mereka itu tiba-tiba mereka berbuat durhaka di muka bumi
tanpa haq. اِنَّمَا بَغۡیُکُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ ۙ مَّتَاعَ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۫ -- Hai manusia,
sesungguhnya aki-bat kedurhakaan kamu mengejar
kesenangan hidup di dunia akan menimpa kamu, ثُمَّ اِلَیۡنَا مَرۡجِعُکُمۡ فَنُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ تَعۡمَلُوۡنَ -- kemudian kepada Kami-lah tempat kamu kembali, lalu Kami memberitahukan kepadamu mengenai apa yang
senantiasa kamu kerjakan (Yunus [10]:23-24).
Perumpamaan Perjalanan
di Lautan & Dua Macam Perbuatan
Zalim: Pendakwa Dusta dan Orang yang Mendustakan Rasul Allah
Seperti angin sepoi-sepoi basah kadang-kadang berubah menjadi taufan yang
dahsyat dan membawa kehancuran
yang sangat luas jangkauannya, begitu pula kelonggaran
dan penangguhan yang diberikan Allah
Swt. kepada orang-orang kafir mungkin dapat merupakan pendahuluan dari kehancurannya.
Untuk menyadarkan orang-orang kafir mengenai kebenaran
yang nyata ini, maka perhatian mereka ditarik kepada kenikmatan-kenikmatan dan kemudahan
maupun bahaya dalam perjalanan di laut. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
اِنَّمَا
مَثَلُ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا کَمَآءٍ اَنۡزَلۡنٰہُ مِنَ
السَّمَآءِ
فَاخۡتَلَطَ بِہٖ نَبَاتُ الۡاَرۡضِ مِمَّا
یَاۡکُلُ
النَّاسُ وَ الۡاَنۡعَامُ ؕ حَتّٰۤی اِذَاۤ اَخَذَتِ الۡاَرۡضُ
زُخۡرُفَہَا وَ ازَّیَّنَتۡ وَ
ظَنَّ اَہۡلُہَاۤ اَنَّہُمۡ قٰدِرُوۡنَ عَلَیۡہَاۤ ۙ اَتٰہَاۤ اَمۡرُنَا لَیۡلًا اَوۡ نَہَارًا
فَجَعَلۡنٰہَا حَصِیۡدًا کَاَنۡ لَّمۡ تَغۡنَ بِالۡاَمۡسِ ؕ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ
لِقَوۡمٍ یَّتَفَکَّرُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
perumpamaan kehidupan dunia adalah seperti air yang Kami menurunkannya dari langit, lalu bercampur dengannya tumbuh-tumbuhan bumi, yang darinya
manusia dan binatang ternak makan,
حَتّٰۤی اِذَاۤ اَخَذَتِ الۡاَرۡضُ زُخۡرُفَہَا وَ ازَّیَّنَتۡ وَ ظَنَّ اَہۡلُہَاۤ اَنَّہُمۡ قٰدِرُوۡنَ عَلَیۡہَاۤ -- sehingga apabila bumi telah memakai perhiasannya serta nampak keindahannya, dan pemilik-pemiliknya
pun yakin bahwa sesungguhnya mereka berkuasa atasnya, اَتٰہَاۤ اَمۡرُنَا لَیۡلًا اَوۡ نَہَارًا فَجَعَلۡنٰہَا حَصِیۡدًا
کَاَنۡ لَّمۡ تَغۡنَ بِالۡاَمۡسِ -- lalu datang kepadanya perintah Kami di waktu malam atau siang, maka Kami menjadikannya laksana ladang yang
telah disabit, seakan-akan tidak
pernah ada kemarin. کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ لِقَوۡمٍ یَّتَفَکَّرُوۡنَ -- Demikianlah Kami mem-bentangkan Tanda-tanda Kami bagi orang-orang yang berpikir (Yunus [10]:25).
Maksud perumpamaan itu ialah bahwa bila bangsa-bangsa menjadi congkak serta manja, dan hidup di dunia ini dipandang gampang dan ringan, maka detik-detik kemunduran mulai tiba kepada
bangsa-bangsa itu dan mereka ditimpa
oleh nasib yang malang.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai dua macam perbuatan zalim (aniaya), firman-Nya:
وَ مَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَرٰی
عَلَی اللّٰہِ کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ
بِالۡحَقِّ لَمَّا جَآءَہٗ ؕ اَلَیۡسَ
فِیۡ جَہَنَّمَ مَثۡوًی لِّلۡکٰفِرِیۡنَ
﴿﴾
Dan siapakah yang
lebih zalim daripada orang yang
mengada-adakan dusta terhadap Allah, atau yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah dalam
Jahannam ada tempat tinggal bagi orang-orang
kafir? (Al-Ankabūt [29]:69).
Kedua
macam orang-orang zalim tersebut
adalah (1)
orang-orang yang mengaku-aku sebagai rasul Allah atau mendapat wahyu
Ilahi padahal tidak; (2) orang-orang yang mendustakan pendakwaan seorang rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan
kepada mereka (QS.7:35-37). Sehubungan dengan kedua hal tersebut dalam Surah
lain Allah Swt. berfirman:
فَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَرٰی عَلَی
اللّٰہِ کَذِبًا اَوۡ کَذَّبَ بِاٰیٰتِہٖ
ؕ اُولٰٓئِکَ یَنَالُہُمۡ نَصِیۡبُہُمۡ مِّنَ الۡکِتٰبِؕ حَتّٰۤی اِذَا جَآءَتۡہُمۡ رُسُلُنَا یَتَوَفَّوۡ نَہُمۡ ۙ قَالُوۡۤا
اَیۡنَ مَا کُنۡتُمۡ تَدۡعُوۡنَ مِنۡ
دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ قَالُوۡا ضَلُّوۡا عَنَّا وَ شَہِدُوۡا عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ اَنَّہُمۡ
کَانُوۡا کٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Maka
siapakah yang lebih zalim
daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan Ayat-ayat-Nya? اُولٰٓئِکَ یَنَالُہُمۡ نَصِیۡبُہُمۡ
مِّنَ الۡکِتٰبِ -- Mereka akan memperoleh bagian mereka sebagaimana telah
ditetapkan, حَتّٰۤی اِذَا جَآءَتۡہُمۡ رُسُلُنَا یَتَوَفَّوۡ نَہُم -- hingga apabila datang kepada mereka utusan-utusan Kami untuk mencabut nyawa
mereka قَالُوۡۤا اَیۡنَ
مَا کُنۡتُمۡ تَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ
اللّٰہِ seraya berkata: ”Di manakah apa yang biasa kamu seru selain Allah?” قَالُوۡا ضَلُّوۡا عَنَّا وَ شَہِدُوۡا
عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ اَنَّہُمۡ کَانُوۡا کٰفِرِیۡنَ -- Mereka berkata: “Mereka telah lenyap dari kami.” Dan mereka memberi kesaksian terhadap diri mereka sendiri bahwa
sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir
(Al-A‘rāf [7]:38).
Pertengkaran Dalam “Neraka Jahannam” dan Hubungannya dengan Kesaksian “Ruh” Mengenai Tauhid Ilahi
Kata-kata
اُولٰٓئِکَ یَنَالُہُمۡ نَصِیۡبُہُمۡ مِّنَ الۡکِتٰبِ --
“Mereka akan memperoleh bagian mereka sebagaimana
telah ditetapkan”, berarti bahwa mereka
yang menolak rasul-rasul Allah akan melihat dengan mata
kepala sendiri penyempurnaan kabar-kabar
gaib yang meramalkan kekalahan
dan kegagalan mereka. Mereka akan
merasakan hukuman yang dijanjikan
kepada mereka – di dunia mau pun di akhirat
-- karena menentang
utusan-utusan Allah tersebut, sebagaimana
firman-Nya:
قَالَ ادۡخُلُوۡا
فِیۡۤ اُمَمٍ قَدۡ خَلَتۡ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ
مِّنَ الۡجِنِّ وَ الۡاِنۡسِ فِی النَّارِ ؕ کُلَّمَا دَخَلَتۡ اُمَّۃٌ لَّعَنَتۡ اُخۡتَہَا ؕ حَتّٰۤی اِذَا
ادَّارَکُوۡا فِیۡہَا جَمِیۡعًا ۙ قَالَتۡ اُخۡرٰىہُمۡ لِاُوۡلٰىہُمۡ رَبَّنَا ہٰۤؤُلَآءِ اَضَلُّوۡنَا
فَاٰتِہِمۡ عَذَابًا ضِعۡفًا مِّنَ النَّارِ ۬ؕ قَالَ لِکُلٍّ ضِعۡفٌ وَّ
لٰکِنۡ لَّا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ وَ قَالَتۡ اُوۡلٰىہُمۡ لِاُخۡرٰىہُمۡ فَمَا کَانَ
لَکُمۡ عَلَیۡنَا مِنۡ فَضۡلٍ فَذُوۡقُوا الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡسِبُوۡنَ
﴿٪﴾
Dia
berfirman: “Masuklah kamu ke dalam Api
bersama umat-umat jin dan ins (manusia)
yang telah berlalu sebelum kamu.”
Setiap kali suatu umat masuk, umat
itu akan mengutuk saudara-saudaranya
dari umat lain, hingga apabila mereka
semua telah tiba berturut-turut di dalamnya, قَالَتۡ
اُخۡرٰىہُمۡ لِاُوۡلٰىہُمۡ رَبَّنَا
ہٰۤؤُلَآءِ اَضَلُّوۡنَا فَاٰتِہِمۡ عَذَابًا ضِعۡفًا مِّنَ النَّارِ -- maka mereka
yang terakhir berkata mengenai mereka yang terdahulu: “Ya Rabb
(Tuhan) kami, mereka ini telah
menyesatkan kami, karena itu berilah
mereka azab Api
berlipat-ganda.” قَالَ لِکُلٍّ ضِعۡفٌ وَّ لٰکِنۡ
لَّا تَعۡلَمُوۡنَ -- Dia berfirman: “Bagi masing-masing mendapat azab berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui.” وَ قَالَتۡ
اُوۡلٰىہُمۡ لِاُخۡرٰىہُمۡ فَمَا کَانَ لَکُمۡ عَلَیۡنَا مِنۡ فَضۡلٍ فَذُوۡقُوا
الۡعَذَابَ بِمَا کُنۡتُمۡ تَکۡسِبُوۡنَ -- Dan
mereka yang terdahulu berkata kepada
mereka yang terakhir: “Tidak ada
bagi kamu suatu kelebihan atas kami, maka rasakanlah azab itu disebabkan oleh apa yang senantiasa kamu lakukan”
(Al-A‘rāf
[7]:39-40).
Jadi,
pertengkaran di antara sesama penghuni neraka tersebut membuktikan
kebenaran firman-Nya mengenai tujuan
Allah Swt. menanamkan dalam ruh (fitrat) setiap orang
keimanan Tauhid Ilahi (QS.7:173-174), yaitu supaya manusia mereka
tidak memiliki helah (alasan) untuk menolak agama atau menolak rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka atau alasan mereka melakukan kemusyrikan (mempersekutukan Allah
Swt.), firman-Nya:
وَ اِذۡ
اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ
اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ
الۡقِیٰمَۃِ اِنَّا کُنَّا
عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿﴾ۙ اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا
اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ
یَرۡجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil kesaksian dari bani
Adam yakni dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri sambil
berfirman: اَلَسۡتُ
بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا -- ”Bukankah
Aku Rabb (Tuhan kamu?)” Mereka
berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ
اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا
غٰفِلِیۡنَ -- Hal itu
supaya kamu tidak berkata pada Hari
Kiamat: “Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari hal ini.” اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا اِنَّمَاۤ
اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ
-- Atau
kamu mengatakan: ”Sesungguhnya
bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami hanyalah keturunan sesudah mereka. اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ
الۡمُبۡطِلُوۡنَ -- Apakah
Engkau akan membinasakan kami karena
apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat batil
itu?” وَ کَذٰلِکَ
نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ -- Dan demikianlah
Kami menjelaskan Tanda-tanda itu dan supaya mereka kembali kepada yang haq (Al-A’rāf [7]:1173-175).
Ayat
173 menunjukkan kepada kesaksian yang tertanam dalam fitrat
manusia sendiri mengenai adanya Dzat
Mahatinggi yang telah menciptakan seluruh alam serta mengendalikannya (QS.30:31). Atau ayat itu dapat merujuk
kepada kemunculan para nabi Allah
yang menunjuki jalan menuju Allah
Swt.; dan ungkapan “dari sulbi bani
Adam” maksudnya umat dari setiap zaman yang kepada mereka rasul Allah diutus (QS.7:35-36). Pada
hakikatnya keadaan tiap-tiap rasul baru
itulah yang mendorong timbulnya
pertanyaann Ilahi: “Bukankah
Aku Tuhan kamu?”
Perumpamaan “Sarang Laba-laba” & Makna Jihad di Jalan Allah yang Hakiki
Pertanyaan: اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ
شَہِدۡنَا -- ”Bukankah Aku Rabb (Tuhan kamu?)” Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi,” itu
berarti bahwa jika Allah Swt. telah menyediakan perbekalan untuk keperluan jasmani
manusia dan demikian pula untuk kemajuan akhlak dan keruhanian betapa ia dapat mengingkari Ketuhanan-Nya.
Sesungguhnya
karena menolak nabi mereka maka manusia menjadi saksi terhadap diri mereka sendiri, sebab jika demikian
mereka tidak dapat berlindung di balik dalih
bahwa mereka tidak mengetahui eksistensi (keberadaan) Allah Swt. atau syariat-Nya atau Hari Pembalasan.
Ayat
selanjutnya menjelaskan bahwa kemunculan seorang nabi Allah juga menghambat
kaumnya dari mengemukakan dalih seperti
dalam ayat 173 di atas, sebab pada saat itulah
haq (kebenaran) dibuat nyata berbeda dari kepalsuan, dan kemusyrikan
dengan terang benderang dicela.
Pertengkaran dan saling hujat
dalam neraka jahannam antara
golongan jin (para pemuka kaum) dengan
ins (orang-orang awam) yang secara membabi-buta mengikuti golongan jin dalam melakuan pendustaan dan penentangan terhadap para rasul Allah, yang mengajak mereka untuk kembali kepada Tauhid Ilahi secara lurus dan murni (QS.98:1-9), membuktikan benarnya perumpamaan mengenai laba-laba yang membuat rumah (sarang) bagi dirinya, yang menjadi nama surah ini (Al-Ankabūt), firman-Nya:
مَثَلُ
الَّذِیۡنَ اتَّخَذُوۡا مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ اَوۡلِیَآءَ کَمَثَلِ
الۡعَنۡکَبُوۡتِ ۖۚ اِتَّخَذَتۡ بَیۡتًا ؕ وَ اِنَّ اَوۡہَنَ الۡبُیُوۡتِ لَبَیۡتُ الۡعَنۡکَبُوۡتِ
ۘ لَوۡ
کَانُوۡا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ یَعۡلَمُ مَا یَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِہٖ مِنۡ شَیۡءٍ ؕ وَ ہُوَ
الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ وَ تِلۡکَ الۡاَمۡثَالُ نَضۡرِبُہَا لِلنَّاسِ ۚ وَ مَا
یَعۡقِلُہَاۤ اِلَّا الۡعٰلِمُوۡنَ ﴿﴾
Perumpamaan orang-orang yang mengambil penolong-penolong selain Allah adalah seperti perumpamaan laba-laba yang membuat rumah,
dan sesungguhnya selemah-lemah rumah pasti rumah laba-laba, seandainya mereka
itu mengetahui. Sesungguhnya Allah
mengetahui apa pun
yang mereka seru selain-Nya, dan Dia
Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Dan
itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami
kemukakan bagi manusia, dan sekali-kali
tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Al-Ankabūt
[29]:42-44).
Selanjutnya
Allah Swt. – dalam ayat terakhir Surah Al-Ankabūt -- berfirman mengenai pentingnya manusia berusaha
mewujudkan keimanannya pada Tauhid Ilahi yang tertanam dalam ruhnya atau fitratnya tersebut (QS.7:173-175)
dalam bentuk pengamalan berdasarkan petunjuk
syariat yang dibawa oleh rasul pembawa syariat, -- terutama Nabi Besar Muhammad saw, yang
membawa syariat Islam sebagai syariat terakhirdan tersempurna (QS.3:32; QS.5:4) --
firman-Nya:
وَ الَّذِیۡنَ جَاہَدُوۡا
فِیۡنَا لَنَہۡدِیَنَّہُمۡ سُبُلَنَا ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَمَعَ الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿٪﴾
Dan orang-orang
yang berjuang untuk Kami niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan (Al-Ankabūt [29]:62-64).
Jihad
sebagaimana diperintahkan oleh Islam, tidak berarti harus membunuh atau menjadi kurban
pembunuhan -- sebagaimana telah
disalah-tafsirkan di Akhir Zaman ini,
sehingga sangat menodai citra kesempurnaan ajaran Islam (Al-Quran) serta kesempurnaan akhlak dan ruhani Nabi
Besar Muhammad saw. (QS.33:22; QS.68:5) --
melainkan harus berjuang keras guna memperoleh keridhaan
Ilahi, sebab kata fīnā berarti “untuk
menjumpai Kami”, sebagaimana firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿﴾ ارۡجِعِیۡۤ
اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ
فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ
جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai
jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) eng-kau, engkau
ridha kepada-Nya dan Dia pun
ridha kepada engkau. فَادۡخُلِیۡ فِیۡ عِبٰدِیۡ -- Maka masuklah
dalam golongan hamba-hamba-Ku,
وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ -- dan
masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [89]:28-31).
Ayat رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً -- “engkau ridha kepada-Nya dan Dia
pun ridha kepada engkau” merupakan tingkat
perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Rabb-nya (Tuhan-nya) dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia.
Di dunia
inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam
dirinya, dan di dunia inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surge, sebab Allah Swt. telah menjanjikan dua surga bagi hamba-hamba-Nya yang seperti itu
(QS.55:47).
TAMAT
Rujukan:
The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran
Anyar, 1 Agustus 2015